Sabtu, 06 Juli 2013

Bebeapa Kiat Menghadapi Bulan Suci Ramadhan



BEBERAPA KIAT MENGHADAPI BULAN SUCI RAMADHAN
Agar Puasa Kita Lebih Berwarna
Bismillahirrohman nirrohim
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an kepada Rasul-Nya Muhammad Saw. di bulan Ramadhan, sebagai petunjuk (al-huda) bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil (al-furqon).
Alhamdulillah, tamu agung Ramadhan sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Mungkinkah ini Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap kepada Allah Yang Maha Kuasa. Betapa saudara kita yang pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat tarawih dan Iedul Fithri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?
Dalam dua buah hadits, Rasulullah Saw. menggambarkan dua golongan kondisi manusia yang saling bertolak belakang dalam menunaikan ibadah berpuasa dan melewati bulan suci Ramadhan ini. Golongan pertama digambarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya, yaitu :
مَنَ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Golongan kedua digambarkan oleh beliau Saw. dalam sabdanya, yaitu :
رُبَّ صَائِمٍ حَظَّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ
“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah).
Pertanyaannya, golongan manakah kita ini ? apakah termasuk golongan yang pertama atau yang kedua. Tentunya sangat tergantung amal dan usaha kita dan juga petunjuk, taufik dan inayah dari Allah Swt.
Bulan Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu even sebagai media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia yang senantiasa berharap ampunan dan rahmat Allah Swt. Karena itu, agar kita benar-benar merasakan indah dan nikmatnya bulan suci ini, seyogyanya kita memahami betul, kiat-kiat apa saja yang harus kita persiapkan dalam menyongsong musim limpahan rahmat dan kebaikan ini. Adapun kiat-kiat yang telah banyak diajarkan oleh para ulama dan guru-guru kita itu, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.      Menunaikan Ibadah Puasa Berdasarkan Ilmunya.
Dalam perspektif ajaran Islam, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat berharga yang menentukan kualitas seseorang atau suatu bangsa. Suatu bangsa akan menjadi bangsa yang maju, modern, dan berperadaban, manakala masyarakatnya mencintai ilmu, antara lain, ditandai dengan kebiasaan bertanya dan menulis.
Orang yang diberi berkesempatan oleh Allah untuk mencari ilmu, tetapi tidak mau memanfaatkannya, sehingga ia tetap berada dalam kebodohannya, maka dianggap orang yang paling akan merugi kelak di kemudian hari. Terlebih lagi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ibadah-ibadah (khusus) yang kita lakukan dalam rangka melaksanakan kewajiban kita pada Allah Swt. seperti shalat, puasa, zakat dan ibadah haji. Karena ibadahnya orang yang bodoh (sama sekali tidak memiliki pengetahuan terhadap apa yang dikerjakannya) bukan saja akan ditolak oleh Allah Swt. tetapi juga dianggap sebagai penyakit agama yang sangat berbahaya.
Apalagi kesalahan yang dilakukannya secara sadar dan sengaja, dan disebarkan kepada orang lain. Misalnya, khutbah Jumat yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan mengatasnamakan persamaan gender dan emansipasi, dan bacaan dalam shalat yang disertai terjemahannya dengan mengatasnamakan untuk kekhusyukan dan kesyahduan, mencerminkan kebodohan para pelakunya terhadap kegiatan ibadah khusus tersebut. Maka tugas kita dalam bidang ibadah adalah sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami mena'ati) dan ittiba' (mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Saw).
Dalam hal shalat misalnya, Rasulullah Saw.bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
''Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat". (HR. Bukhari)
Jika seseorang atau sekelompok orang mengerjakan ibadah khusus seperti shalat, menyalahi tata cara (kaifiyat) yang telah diajarkan dan dicontohkan Rasulullah Saw, para sahabat Nabi yang mulia, dan para Ulama Ahlussunnah yang terpercaya keilmuannya, maka dianggap telah melakukan perusakan dan penyelewengan dalam agama,  sebagaimana dinyatakan dalam oleh Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah r.a. (istri Rasulullah Saw), bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
''Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan ibadahku ini, maka hukumnya tertolak".
Begitu juga dalam menunaikan ibadah puasa, maka ilmu tentang 'seluk beluk' puasa harus kita pelajari dan pahami terlebih dahulu. Sahabat Nabi Mu’adz bin Jabal r.a. pernah mengatakan:
اَلْعِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Lihat kitab Qawaidul Muhimmah Fii al Amru bi al- Ma’ruf wan Nahyu ‘an al-Mungkar, karya Dr. Hamud bin Ahmad Ar-Rahily, 1/15)
Ulama di bidang hadits terkemuka, Al-Imam Al-Bukhari pernah berkata, “Al-‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu itu Sebelum Berkata dan Berbuat)”.
Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah Swt. yaitu:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah) ! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad/47 : 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Imam Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al-Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Sedangkan niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Lihat kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, karya Ibnu Hajar Al-Ashqalani, 1/108)
"Saha jalma-saha jalma ibadah teu jeung elmuna, eta tangtu-eta tangtu amalna moal ditarima", uangkapan orang tua kita dengan bahasa sunda ini ternyata sangat dalam maknanya. Dengan pengertian 'tidak ada amal tanpa ilmu'. Namun sangat kita sayangkan, jika kita cermati dengan jujur, hampir semua tatacara ibadah masyarakat kita –khususnya masyarakat awwam- termasuk di dalamnya ibadah puasa Ramadhan dari hulu sampai ke hilir, sarat dengan berbagai kesalahan yang sudah mendarang-mendaging menjadi fenomena setiap bulan Ramadhan tiba.
Contoh dari kekeliruan itu misalnya jika tiba waktu shalat tarawih, bacaan fatihahnya cepat sekali, bahkan seringkali satu tarikan napas, kemudian bacaan 'amin'nya kencang dan teriak keras sekali. Jika 'amin'nya tidak kencang dan teriak keras, tidak dianggap shalat tarawih namanya, tetapi dianggap shalat biasa. Tidak lucu kalau tarawih 'amin'nya lembut seperti shalat biasa. Pada gilirannya, shalat tarawih itu identik dengan shalat main-main dan senang-senang. Sampai ada anak remaja yang berkata kepada temannya: "kamu mah tarawih kaya shalat aja, serius amat...." Maksudnya koq tarawihnya ga sambil bercanda… (subhanallah).
Padahal shalat tarawih merupakan ibadah  yang sangat besar pahalanya. Pahala akan kita dapatkan, makanala dalam pelaksanaannya kita mengikuti dan mencontoh tuntunan Rasulullah Saw, bukan 'malah' menyalahi atau menyelesihinya. Karena tidak pernah ada keterangan dari beliau Saw. yang menyuruh para sahabatnya yang mulia melaksankan tarawih seperti itu. Oleh karena itu, tidak ada jalan yang paling selamat dalam beribadah kepada Allah selain kembali kepada ajaran, tuntunan dan contoh dari Rasulullah Saw. para sahabat rahimakumullah maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (para ulama Ahlussunnah).
Di sinilah haad (batas) agama Islam yang tidak boleh diusik dan ditoleransi oleh unsur luar manapun yang menyimpang dari risalah (agama) Allah Swt. dan Rasul-Nya. Semoga kita semua terus-menerus mau belajar menambah ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Agama (Ilmu Syari'at), sehingga kita terhindar dari pekerjaan dan ibadah yang dianggap sia-sia dan ditolak oleh Allah Swt. dan membahayakan kita, keluarga kita, dan kehidupan kaum Muslimin-muslimat secara luas.
2.      Bertawakal kepada Allah Swt.
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat, salah satu indikasi taufik Allah Swt. kepada hamba-Nya adalah pertolongan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Dan sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.
Maka menghadirkan rasa tawakal kepada Allah Swt. adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah Swt. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah Swt. agar dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan dan supaya Allah Swt. berkenan membantu kita dalam memperbanyak amal sholeh di dalamnya.
Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik dari Allah Swt. dalam menjalani bulan suci Ramadhan. Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah Swt. ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:
وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(Q.S. An-Nisaa/4:28)
Maka jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.
Di saat mengerjakan amalan ibadah, hal yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan ittiba' (mengikuti petunjuk Rasulullah Swt. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya: Firman Allah Swt.
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah/98 : 5)
Dan sabda Rasulullah Saw.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)
Demikian pula setelah usai beramal, kita membutuhkan banyak istigfar atas kurang sempurnanya dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal.  Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istighfar, maka dengan izin Allah Swt. amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun. Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan:
“Hai fulan, kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan suci… Kau telah mengeluarkan banyak shadaqah/infak dan telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…”
Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang mengantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa tawadhu' (rasa rendah diri) dan rasa tunduk dan takut kita kepada Allah Swt.
Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya. Maka berhati-hatilah dengan tipu daya setan yang telah bersumpah dan Allah Swt. abadikan dalam firman-Nya:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأقْعُدَنَّ لَهمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. (QS. Al-A’raf/7 : 16-17)
3.      Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba
Banyak sekali keterangan yang shohih dari agama (dalil) yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah Swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim/66 : 8)
Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul Saw. pernah mengingatkan dalam sebuah sabdanya:
كُلَّ بَنىِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرَ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Ketahuilah, bahwa dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik dan hidayah Allah Swt., sehingga dia tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat. Namun apabila ternyata seorang hamba mau bertaubat kepada Allah Swt. maka prahara itu akan sirna dan Allah akan menganugerahi taufik, inayah dan hidayah kembali kepadanya.
Adapun hakikat dari Taubat Nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya, adalah: bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi rahimahullah menjabarkan taubat yang sempurna adalah taubat yang memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
-          Meninggalkan maksiat.
-          Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
-          Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
-          Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain (haqqul adamiy), maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat kitab Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi, hal. 37-38).
Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai, sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis Hari Raya Iedul Fithri (Na'udzubillah).
Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan melepaskan diri dari maksiat, harus tetap menyala dan berkobar baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.
4.      Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Kesempurnaan Puasa dan Keutuhan Pahalanya.
Sisi lain yang harus mendapatkan perhatian kita adalah bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang dapat mengurangi kesempurnaan puasa dan keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini mengandung konsekueansi yang sangat berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya. Rasulullah Saw. mengingatkan kita melalui sabdanya:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ  ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman. (Maksudnya: Allah tidak membutuhkan puasanya). (HR. Bukhari)
Orang yang menahan lisannya dari ghibah (berkata dusta) dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika menunaikan puasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi. Diakui atau tidak, inilah realita mayoritas masyarakat; kita yang ketaatannya kepada Allah Swt. bercampur dengan kemaksiatan.
5.      Memprioritaskan Amalan yang Wajib
Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah Swt. adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah Saw. pernah menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, yaitu:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari).
Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Kemuliaan ini telah diuraikan dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ اْلأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ
“Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi)
Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah Azza wa Jalla.
Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih. Ini jelas-jelas merupakan suatu kekeliruan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban.
Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah mata shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih. (Pembahasan secara tuntas  hal ihwal Shalat Tarawih, apakah bilangannya yang 11 raka'at atau yang 23 raka'at dan atau bahkan ada yang 36 raka'at, telah dibahas dengan disertai dalil-dalilnya dari para ulama di buku Mutiara Ramadhan, karya Abd. Wahid Al-Faqier, 2010). 

6.      Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar
Di bulan Ramadhan yang penuh berkah kita harus berusaha sekuat tenaga untuk bisa meraih lailatul qadar.  Betapa informasi dari Allah Swt. dan Rasul-Nya juga para sahabat yang mulia—yang  sampai ke pendengaran kita—, terdapat segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, sepantasnya kita memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.
Di malam ke berapakah lailatul qadar akan jatuh? Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Demikian sabda Rasulullah Saw. menjelaskan. Kemudian Rasulullah Saw. menambahkan bahwa lailatul qadar terdapat di malam-malam yang ganjil.
Tapi di malam manakah di antara malam-malam yang ganjil itu ? Apakah di malam 21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam 29. Untuk mendapatkan jawaban yang tuntas berikut penjelasan-penjelasan dari para ulama tentang masalah tersebut, kita akan mendapatkannya di buku Mutiara Ramadhan sebagaimana telah disebutkan di atas.
7.      Menjadikan Ramadhan Sebagai Madrasah
Bulan suci Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita menjadi alumni madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada Allah Swt. Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai keyakinan (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr/15 : 99)
Ketika seorang ulama besar bernama al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ لِعَمَلِ الْمُؤْمِنِ أَجَلاً دُوْنَ الْمَوْتِ
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”
Maka jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan suci ini, kita budayakan dan tingkatkan di luar bulan suci Ramadhan. Perhatikan hadits Nabi Saw. di bawah ini :
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ, وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang ulama terdahulu pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:
بِئْسَ الْقَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ إِلاَّ فِي رَمَضَانَ
“Alangkah buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!”
Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar keberhasilan meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.
Wallahu 'alam bishshowwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar