Minggu, 11 Desember 2011

MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN PADA TINGKAT DASAR DAN MENENGAH

MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN PADA TINGKAT DASAR DAN MENENGAH [1]

(Telaah Standar Nasional Dikdasmen; Sebuah Pergulatan Antara Realita,

Tantangn dan Harapan)


A. Muqaddimah

Pendidikan adalah segala usaha yang ditujukan agar manusia dapat mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.[2] Proses tersebut merupakan kegiatan yang mulia dan selalu mengandung kebajikan, dan selalu berwatak netral.[3] Pembangunan di bidang pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.[4] Dengan demikian, peranan penting pendidikan dalam membangun karakteristik manusia yang unggul dan tangguh. Pendidikan dapat digunakan sarana untuk membina jati diri bangsa dan identitas kita, memupuk karakter bangsa, dan memperkuat wawasan kebangsaan.

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen). Permasalahan tersebut bukan hanya pada peserta didik, tetapi juga pada tenaga kependidikan, sarana-dan prasarana, kurikulum, dan faktor pendukung pendidikan lainnya. Berpijak pada fakta tentang rendahnya mutu pendidikan di atas, Departemen pendidikan dan seluruh punggawa-nya melakukan usaha peningkatan mutu pendidikan tingkat dasar dan menengah melalui langkah-langkah yang prospektif. Peningkatan kualitas pendidikan tersebut merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencapai standar nasional pendidikan sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Pasal 2 tersebut diatur bahwa ruang lingkup standar nasional pendidikan terdiri dari 8 ruang lingkup, yakni: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian.

Semua langkah tersebut ditujukan pada upaya penciptaan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu yang dapat menuju pada aktualisiasi hakikat pendidikan. Baedhowi, mengemukakan bahwa pendidikan bermutu akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung komitmen yang tinggi dan perencanaan yang baik, dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.[5] Berkaitan dengan upaya tersebut, dalam makalah ini akan diulas mengenai langkah-langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang didasarkan pada fakta dan harapan.

B. Standar Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah Sebagai Sistem

Sistem adalah satuan yang terdiri atas beberapa subsistem, antara satu dengan lainnya saling terkait sehingga jika ada salah satu subsistem yang terganggu maka sistem tersebut tidak berproses secara optimal. Standar nasional pendidikan pada hakikatnya adalah harapan negara, dalam hal ini adalah pemerintah sebagai representasi dari rakyat. Dalam rangka mendekatkan tujuan pendidikan dengan tujuan negara, maka pemerintah menetapkan Standar Nasional Pendidikan. Pengertian Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan tersebut terdiri atas Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian Pendidikan. Sedangkan Fungsi Standar Pendidikan adalah sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Tujuan Standar Nasional Pendidikan adalah menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa standar nasional pendidikan merupakan suatu sistem standarisasi, sehingga jika semua subsistem terstandar maka secara otomatis mutu pendidikan akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Fungsi standar pendidikan adalah sebagai pemandu sekaligus sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan.

A. Pendidikan Dasar dan Menengah di Indonesia: Potret, Tantangan, Dan Harapan

Mutu pendidikan, mutu lululusan, keterserapan lulusan dalam lapangan pekerjaan, kepuasan pengguna lulusan masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini didasarkan pada beberapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga internasional menunjuukan bahwa prestasi siswa Indonesia pada posisi yang kurang bergengsi. Hasil survei TIMSS 2003 (Trends in International Mathematics and Sciencies Study) di bawah payung International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA), misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia ada pada posisi ke-34 untuk bidang matematika dan pada posisi ke-36 untuk bidang sains, dari 45 negara yang disurvei.[6] Laporan dari UNDP tentang Indeks Pembangunan Manusia tahun 2006 juga masih menempatkan Indonesia pada ranking ke-108 dari 177 negara, hal ini jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Singapura (ranking 25), Brunei Darussalam (ranking 34), dan Malaysia (ranking 61).[7] Dalam praktik, di Jawa Timur, dalam seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri (Capaeg), dilaporkan bahwa banyak formasi yang tidak terisi karena tidak satu pun calon yang mengikuti ujian tersebut memenuhi nilai standar (passing grade) yang ditetapkan.[8] Selama ini ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara tetangga Asia pada ujian-ujian internasional di tahun 2001. Telihat cukup jelas bahwa ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan kualitas.[9]

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berlangsung selama ini dinilai sebagian kalangan sebagai overloaded dan para siswa dibawa untuk "tahu sedikit tentang hal yang banyak". Secara sentralistis, muatan pelajaran dan jam pelajaran ditentukan seragam untuk seluruh wilayah.[10] Kurikulum pendidikan dasar dan menengah selama ini masih sering berubah-ubah sehingga dalam pelaksanaan seringkali terjadi keraguan, kegundahan, dan kegalauan baik bagi siswa, orang tua siswa, dan guru serta pengelola satuan pendidikan. Perubahan kurikulum yang terlalu cepat dapat menimbulkan kegoncangan pada pelaksanaan pendidikan. Struktur dan muatan kurikulum yang ada juga belum sepenuhnya mencerminkan asas keterpaduan dan keterpadanan, begitu pula peninjauan dan pengembangan kurikulum masih terkesan dipaksakan dan tidak didasarkan pada paradigma yang jelas.

Beberapa penyebab lain tentang masih rendahnya mutu pendidikan di Indoensia adalah kurangnya jumlah dan kwalitas tenaga kependidikan yang meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan juga belum optimal, baik jumlah maupun kualitasnya. Khusus tentang pengawas satuan pendidikan, Dewanto mengemukakan bahwa selama ini citra pengawas pendidikan tidak baik. Mereka lebih bersikap sebagai polisi daripada pengawas. Juga pengawasan pendidikan menengah oleh Bawasda, yang umumnya tidak punya pengalaman di bidang pendidikan dan sumber daya manusia mereka kurang.[11] Dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma 4. Dari jumlah itu, 1 juta guru mengajar di Sekolah Dasar dan 173 ribu mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta.[12] Di Jawa Timur, jumlah guru yang pendidikan terakhirnya belum S-1 atau D-4, sebanyak 205.147 orang, yang meliputi lulusan SLTA sebnayak 90.570 orang, D-1 sebanyak 5.688 orang, D-2 sebanyak 90.814 orang, D-3 sebanyak 18.075 orang. Guru PNS yang banyak menjajdi guru di SD dan MI berusia antara 41 sampai dengan 50 tahun.[13]

Selama ini sebaran guru yang kompeten juga masih sporadis, hanya terkonsentrasi di kawasan perkotaan (Urban School), dan di sekolah-sekolah terpencil (Rural School) masih banyak yang belum mempunyai guru profesional. Penghargaan berupa materi maupu non-materi kepada para pendidik yang berprestasi masih perlu ditingkatkan, sanksi terhadap guru atau tenaga kependidikan yang “nakal” juga belum tegas. Pengharagaan kepada para pendidik di daerah “pinggiran” juga masih belum optimal.

Secara kelembagaan, Kantor Dinas Pendidikan di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga belum mampu berperan sebagaimana diharapkan. Fekrynur mengemukakan bahwa Kantor Dinas Pendidikan kabupaten/kota dan provinsi, dianggap relatif mubazir, apabila keberadaannya tidak mampu memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan di lingkup daerahnya masing-masing. Dana habis milliaran rupiah untuk membiayai ‘kegiatan kantor’ [sebagai ilustrasi, pada tahun 2006, hampir satu trilliun rupiah dianggarkan untuk dikelola Kantor Disdik Sumatera Barat) namun mutu pendidikan terus saja semakin terpuruk (tertinggal). Gejala penurunan efektifitas pembinaan ini sejalan dengan dimulainya otonomi daerah di awal tahun 2001.[14]

Dari sisi biaya pendidikan, pendidikan di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Sungguh kasihan anak-anak Indonesia saat ini yang orang tuanya tidak mampu. Padahal pendidikan merupakan kunci kelak di saat mulai terjun ke dunia kerja. Ironisnya, belum tentu juga dengan biaya yang makin mahal berarti pendidikan yang makin bagus. Salah satu penyebab mahalnya pendidikan tersebut adalah karena banyak pihak yang mulai membisniskan pendidikan ini.[15]

Dari sisi layanan, berdasarkan Data Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menunjukkan bahwa secara kuantitatif fasilitas layanan pendidikan sudah cukup baik dengan rasio murid per ruang kelas sebesar 26 untuk SD/MI, 37 untuk SMP/MTs, dan 39 untuk SMA/SMK/MA. Pada saat yang sama, rasio murid per guru adalah 20 untuk SD/MI, 14 untuk SMP/MTs, dan 13 untuk SMA/ SMK/MA. Meskipun demikian, kualitas layanan pendidikan masih terbatas karena dukungan fasilitas yang belum memadai. Sampai dengan tahun 2004, kualitas pendidikan juga dinilai masih rendah karena belum sepenuhnya mampu memberikan kompetensi sesuai dengan tahap pendidikan yang dijalani peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh (i) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, (ii) kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (iii) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan (iv) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.[16]

Pada pendidikan menengah kejuruan, beberapa permasalahan yang masih dihadapi dewasa ini adalah sebagai berikut: (1) penyelenggaraan pendidikan kejuruan membutuhkan biaya pendidikan yang tinggi dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan pendidikan umum lainnya, namun ternyata belum dapat memberikan tingkat balikan (rate of return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan umum; (2) kurikulum yang selama ini dipakai kurang mempunyai tingkat keluwesan dan terlalu terstruktur sehingga kurang peka terhadap tuntutan kebutuhan lapangan kerja secara luas, selain itu materi pengajaran yang disampaikan masih belum memenuhi kaidah profesionalisme dan kurang berorientasi ke pasar kerja; (3) pendidikan kejuruan seringkali mengalami hambatan dalam perluasannya karena berbagai ketentuan birokrasi, seperti proses perijinan dan ijazah yang dikeluarkan oleh pemerintah.[17] Padahal, kurikulum sekolah mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengelolaan pendidakan dalam suatu satuana pendidikan.[18] Unsur utama penentu arah pendidikan dalam suatu satuan pendidikan adalah kurikulum. Karena itu, komponen yang sangat penting karena kualitas lulusan juga ditentukan oleh kurikulum an efektifitas pelaksanaananya.[19] Hal ini dapat dimengerti, karena kurikulum merupakan pemandu untuk mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan. Namun demikian, secara umum Winanrno Surachmad menyatakan, pola pendidikan di Indonesia tidak disusun oleh kaum profesional melainkan oleh politisi sehingga visi pendidikan menjadi tidak jelas dan tidak ada kontinuitas sistem guna mewujudkannya.[20]

Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pendidikan menengah kejuruan untuk kurun waktu lima tahun ke depan adalah sebagai berikut.

a. Tantangan dalam kaitannya dengan perluasan dan pemerataan pendidikan, adalah bagaimana meningkatkan angka partisipasi terutama di tingkat kabupaten/kota yang secara kuantitatif cukup signifikan dalam mengembangkan dan mengolah potensi wilayah, sehingga struktur tenaga kerja menurut jenjang pendidikan bergeser ke arah bentuk belah ketupat (mengecil di tingkat SD/SLTP dan membesar di tingkat menengah).

b. Tantangan dalam kaitannya dengan kualitas dan relevansi adalah: (1) bagaimana mengubah kurikulum pendidikan dari berbasis sekolah ke berbasis ganda, hal ini akan memberikan pengetahuan, keterampilan dan proses transfer sistem nilai yang ada di dunia kerja lebih cepat antara lain melalui pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, kepedulian kepada pelanggan dan pembentukan etos kerja; (2) bagaimana mengubah pola penyelenggaraan pendidikan yang selama ini cenderung berorientasi kepada dirinya sendiri ke arah yang lebih berorientasi ke dunia luar yaitu antisipatif pada perkembangan kebutuhan pasar kerja atau mengubah pola kerja dari supply driven menuju demand driven; (3) bagaimana mengubah sistem pengajaran dari berbasis mata pelajaran menuju model pengajaran berbasis kompetensi; model pengajaran berbasis mata pelajaran mengakibatkan terjadinya kesulitan untuk mensinergikan materi bahan ajar menjadi suatu kemampuan/kompetensi utuh. Model pengajaran berbasis kompetensi secara langsung berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan; (4) bagaimana mengubah dari sistem pendidikan formal yang kaku, ke sistem yang luwes dan menganut prinsip multy entry, multy exit (peserta didik dapat keluar masuk sistem pendidikan sesuai kebutuhan dan kemampuan} ;untuk ini diperlukan kurikulum yang luwes yang memungkinkan pelaksanaan praktek kerja Industri disesuaikan dengan jadwal ketersediaan tempat magang di Industri, di samping memungkinkan bagi peserta didik untuk meninggalkan sekolah untuk bekerja, kemudian masuk kembali sesuai kebutuhan yang bersangkutan; (5) bagaimana memberikan pengakuan terhadap kemampuan awal yang dimiliki peserta didik, (priorlearning recognition); sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki seseorang sebagai bekal awal untuk menempuh pendidikan selanjutnya; (6) bagaimana mengemas bentuk paket-paket kompetensi kejuruan sehingga lebih memudahkan pengakuan dan penghargaan terhadap program pelatihan yang berbasis kompetensi (competency based training) antara program pelatihan dan program pendidikan.

c. Tantangan dalam kaitannya dengan manajemen pendidikan, adalah bagaimana mengembangkan prinsip desentralisasi dan pola manajemen mandiri; dengan maksud memberi peluang kepada pengelola sekolah untuk menentukan kebijakan operasional serta melakukan inprovisasi dan inovasi dengan prinsip akuntabilitas dengan tetap mengacu pada kebijakan Nasional. Kunci utama untuk memandirikan manajemen sekolah adalah dengan mencari, menyiapkan dan menempatkan manajer yang berkualitas unggul.[21]

Pendidikan dasar dan menengan diharapkan menjadi fondasi pola pikir peserta didik, baik dalam rangka melanjutkan studi maupun menjadi pekerja. Pendidikan dasar dan mengengah lebih mengutamakan penanaman dan penguasaan kecerdasar intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Namun, khusus untuk jenjeng pendidikan menengah kategori SMK, maka pendidikan kecakapan hidup (life skill), vacational, dan keterampilan motorik juga menajdi titik tekan utama.

Berpijak pada uraian di atas dapat dipahami, bahwa pendidikan dasar dan menegah di Indonesia masih mempunyai banyak kelemahan, dibandingkan dengan keuanggulan. Di era global ini, pendidikan Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat, apalagi dengan lahirnya Word Trade Organization (WTO) yang memungkinkan satuan pendidikan luar negeri beroperasi di Indonesia.

B. Langkah-Langkah Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah

Untuk menguraikan permasalahan pendidikan, begitu pula mencari langkah-langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menegah di Indonesia, perlu melakukan pendekatan dengan model sistem input-proses-output. Melalui pendekatan tersebut permasalahan yang terjadi dapat diurai secara cepat, tepat, dan teliti. Dalam pendekatan, agar diperoleh output yang bermutu, yang perlu diperhatikan tidak hanya input-nya melainkan harus memusatkan perhatian pada proses. Melalui perhatian yang serius pada komponen proses, akan sangat menentukan kualitas output pendidikan. Karena itu, langkah strategis yang dapat dilakukan juga meliputi peserta didik, pendidik, dan proses pendidikan.

Pengertian mutu adalah derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya), baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks mutu pendidikan, maka pengertian mutu, mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan harian, ujian semester, Ujian Nasional). Dapat pula prestasi di bidang non-akademik misalnya prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan.[22]

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Pendidikan dapat dikategorikan bermutu, apabila dapat diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO (1996) mampu moulding the character and mind of young generation.

Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu: kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak consisten; 2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; 3) peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim[23]. Berpijak pada pendapat tersebut maka langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah antara lain sebagai berikut.

1. Penciptaan Kepastian Hukum yang Mengatur tentang Kependidikan yang Responsif

Agar penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat dan pemerintah, diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur kependidikan secara jelas, tegas, dan pasti. Selama ini meskipun peraturan perundang-undangan sudah ada, namun dalam impelematsinya masih sering adanya inkonsistensi. Tenaga kependidikan dan para pegawai di lingkungan Depdiknas kadang masih ragu dalam mengambil langkah-langkah konkret dalam menyelesaikan permaslaahan pendidikan. Misalnya, jika suatu bangunan sekolah atau sarana sekolah tidak layak pakai dan dalam keadaan darurat, dewan sekolah, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan “kurang berani” melakukan upaya pembangunan gedung secara cepat, karena harus menunggu proses pengurusan perizinan yang panjang, belum lagi banyak pihak yang takut dengan pengawas, BPK, Polisi, Jaksa, KPK. Dalam bidang kepangkatan, banyak pegawai yang kerepotan melakukan pengurusan kenaikan pangkat, apalagi untuk mencapai pangkat Pembina Tingkat I (Golongan IVB). Sistem sertifikasi guru yang saat ini juga masih dirasakan belum sepenuhnya fair, karena yang dinilai oleh assesor adalah berkas, bukan assesi (guru). Ketentuan tentang penyebaran tenaga kependidikan yang kompeten juga belum transparan. Ketentuan hukum tentang kurikulum juga sering berubah sehingga para guru sering kesulitan mengadakan penyesuaian.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 72 Ayat (1) diatur, "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus Ujian Nasional". Dalam praktik, kriteria kelulusan siswa hanya ditentukan oleh nilai UN. Pada pasal 72 ayat (2), diatur "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Dalam praktik, justru pememrintah yang menentukan standar kelulusan. Jika dikaitkan dengan KTSP, sebenarnya pihak yang menentukan kelulusan adalah Satuan Pendidikan. Di sini nampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggungjawab kepada pihak sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. adalah apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pihak pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Apakah dari segi standar isi (SI) telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama.[24]

Berpijak pada beberapa fakta di atas, maka pembuat Undang-Undang (Legislator) maupun pembuat peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis ada di bawah UU (Regulator) hendaknya lebih memperhatikan kepentinggan para stake holder pendidikan. Paradigma pendidikan dasar dan menengah harus jelas, dan mengarah pada ide dan hakikat pendidikan yang matang, mislanya konsepsi yang dapat mengembangkan kecerdasar emosional, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan spriritual secara terpadu. Hal ini selars dengan paradigma baru pendidikan, tujuan pembelajaran bukan hanya untuk merubah perilaku siswa, tetapi membentuk karakter dan sikap mental profesional yang berorientasi pada global mindset. Fokus pembelajarannya adalah pada ‘mempelajari cara belajar’ (learning how to learn) dan bukan hanya semata pada mempelajari substansi mata pelajaran. Sedangkan pendekatan, strategi dan metoda pembelajarannya adalah mengacu pada konsep konstruktivisme yang mendorong dan menghargai usaha belajar siswa dengan proses enquiry & discovery learning. Dengan pembelajaran konstruktivisme memungkinkan terjadinya pembelajaran berbasis masalah. Siswa sebagai stakeholder terlibat langsung dengan masalah, dan tertantang untuk belajar menyelesaikan berbagai masalah yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan skenario pembelajaran berbasis masalah ini siswa akan berusaha memberdayakan seluruh potensi akademik dan strategi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah secara individu/kelompok. Prinsip pembelajaran konstruktivisme yang berorientasi pada masalah dan tantangan akan menghasilkan sikap mental profesional, yang disebut researchmindedness dalam pola pikir siswa, sehingga kegiatan pembelajaran selalu menantang dan menyenangkan.[25]

2. Penciptaan Kurikulum yang Mantap dan Prospektif

Kurikulum merupakan kerangka acuan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di suatu satuan pendidikan yang akan dilaksanakan oleh sumberdaya pendidikan. Kurikulum dirancang oleh peerintah dan pihak-pihak terkait dalam rangka mencapai tujuan instruksional, kemudian dapat menopang tujuan institusional, dan selanjutnya dapat mengarah pada tujuan kurikuler, dan dapat menyokong tujuan pendidikan nasional, yang akhirnya bermuara pada pencapaian tujuan pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.

Saat ini, reformasi pendidikan merupakan dasar utama untuk menghindari disorganisiasi massal, dan merupakan landasan reformasi politik dan reformasi hukum.[26] Walapun kurikulum telah disusun secara terencana, kemungkinan mengalami kegagalan dalam proses implementasinya merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Kegagalan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi antara lain kurang pemahaman terhadap konsep kurikulum dan cara melaksanakannya, kurang tersedianya sarana pembelajaran yang mendukung, maupun kekuranglayakan tenaga pendidik.[27]

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kurikulum, Fullan menegaskan para guru merupakan penentu arah pengembangan kurikulum, karena sebagai pelaksana proses pembelajar dan pembelajaran siswa. Bahkan ditegaskan bahwa educational change depends on what teachers do and think—it’s as simple and as complex as that”.[28] Inilah yang menjadi ruh dari KTSP di Indonesia.

Di beberapa negara maju, untuk mengatasi kesenjangan muatan kurikulum sekolah dengan lapangan pekerjaan, maka dilakukan kerjasama dengan pihak industri memungkinkan pihak perusahaan mengirim para staf yang berkualitas untuk membantu dalam proses pembelajaran di sekolah kejuruan atas dasar kerja paruh-waktu.[29] Langkah seperti ini sudah dilakukan di tingkat pendidikan tinggi, misalnya mendatangkan Dosen Tamu untuk melakukan Kuliah Tamu (sekitar 6 bulan), atau bahkan jika sudah memenuhi persyaratan akan menjadikan staf dari perusahaan (praktisi) sebagai dosen tidak luar biasa. Seyogyanya SMK juga melakukan langkah yang sama, yaitu menjadikan praktisi tersebut sebagai guru tidak tetap (instruktur).

Kurikulum pendidikan formal sebagaimana ada saat ini banyak diintervensi oleh kepentingan birokratis sehingga masih banyak muatan politis yang dipaksakan. Untuk menyempurnakan kurikulum tersebut perlu dibentuk jaringan kerjasama atau aliansi strategis antara pendidikan tinggi, termasuk pendidikan dasar dan menengah dengan kaum intelektual, profesional, stake holder, tokoh masyarakat dan anggota masyarakat. Kerjasama tersebut diupayakan untuk makin membuat keterbukaan lembaga pendidikan formal terhadap perkembangan masyarakat[30] Karena itu, Perlu dicatat bahwa aspirasi vokasional tidak ditumbuhkan oleh sekolah, tetapi sebagai akibat dari kuasa pasar kerja, observasi terhadap orang tua dan lingkungan, dan dari ambisi pribadi. Terkait dengan hal ini, gagasan link and match yang digagas oleh mantan Mendiknas Wardiman masih relevan untuk dipertimbangkan. Karena itu perlu adanya peninjauan kurikulum.

Peninjauan kurikulum melalui pengadopsian kurikulum perlu dioperasionalkan melalui 3 tahap adopsi materi kurikulum sebagaimana dikemukakan Meredith Gall, yaitu identifikasi kebutuhan (Identify Your Needs), mendapatkan bahan kurikulum (Acces to Curiculum Materials), dan Analisis Bahan (Analyze the Materials) Untuk menilai kelayakan bahan untuk pengajaran maka perlu dilakukan penilaian bahan kurikulum (appraisal of curriculum materials), yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan bahan kurikulum, pemeriksaan bahan di lapangan, dan pembuatan keputusan adopsi bahan (make an adoption decision). Langkah ini dapat dilakukan oleh pemegang kebijakan kurikulum di tingkat nasional maupun daerah, termasuk satuan pendidikan.[31]

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan Permendiknas No 23 Tahuan 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan, mengantar kemunculan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006. Setiap satuan pendidikan dasar dan menengah diberikan peluang mengembangkan dan menetapkan KTSP. Kecenderungan KTSP mengarah pada kurikulum pendidikan yang menekankan less is more, yaitu jumlah bahan mengajar dikurangi supaya siswa dapat meneliti secara mendalam. Pengurangan jumlah bahan pelajaran dilakukan agar siswa mempunyai banyak waktu luang untuk lebih mendalami bahan itu (Suparno, dkk, 2002). Siswa tak diburu waktu, tetapi mempunyai kesempatan untuk berpikir kritis dan berefleksi. Model kurikulum less is more adalah menghilangkan substansi pelajaran yang berulang-ulang; menghilangkan pokok bahasan yang tak esensial yaitu pokok bahasan yang sekadar "kosmetik"; menawarkan ketuntasan belajar; menyediakan materi terapan yang dapat digunakan siswa untuk meningkatkan mutu kehidupannya; membiasakan pola berbudi pekerti, disiplin, tertib, menerapkan hak asasi manusia, kewajiban serta kepedulian sosial; menyajikan kurikulum pilihan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya daerah.[32]

Dalam mengimplementasikan kurikulum, E. Mulyasa (2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan Kurikulum misalnya (1) Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi pembelajaran inkuiri (inquiry). Hal ini diharapkan dapat mencapai konndisi yang menurut Sagala, S. terjadinya pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.[33]

Pendekatan Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).[34]

Pendekatan di atas menunjang pelaksanaan KTSP. Melalui semangat otonomi dan desentralisasi, KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum sendiri sehingga sekolah diberikan otonomi untuk berdiskusi terkait dengan standar kompetensi yang dikembangkan. Meskipun demikian, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model kurikulum. Selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yakni kurikulum yang dibuat dari pusat. Implementasi KTSP membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Karena itu, Guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten. Penerapan KTSP tersebut berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru. Penerapan KTSP mengandaikan guru bisa membuat kurikulum untuk tiap mata pelajaran, padahal, selama ini guru sudah terbiasa mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Kendala lain dalam pelaksanaan KTSP, kualitas guru yang kurang merata di setiap daerah, begitu pula daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat sendiri kurikulum. Selama ini pemberdayaan guru belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda). Misalnya, pemda belum melakukan evaluasi pendidikan yang baik dan benar, termasuk evaluasi guru. Ini yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun bisa melambat. Karena itu, Pemda sebaiknya agresif dalam melakukan percepatan penerapan KTSP.[35]

3. Penetapan Baku Mutu/Standar Pendidikan yang Tegas

Baku mutu pendidikan dasar dan menengah sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Standar Nasional Pendidikan, bahkan sudah dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Untuk mencapai baku mutu yang ditentukan, perlu adanya Sistem jaminan Mutu baik internal maupun eksternal. Penjaminan mutu internel misalnya dapat dilakukan dengan cara membentuk unit penjaminan mutu di sekolah, sedangkan penjaminan mutu eksternal dapat dibentuk oleh Kantor Diknas.

Salah satu cara melakukan standarisasi pendidikan adalah melakukan Monitoring dan Evaluasi. Moitoring dan evaluasi (Monev) merupakan langkah pengawasan (control) terhadap pelaksanaan suatu kegiatan. Hal ini dimakksudkan agar pencapaian tujuan dapat berjalan secara efisien dan efektif. Melalui langkah ini maka semua program pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan menengah kejuruan dapat diketahui secara terbuka oleh Dinas Pendidikan Propinsi, SMK, Pemerintah Kab/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, serta pihak terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan program bimbingan teknis dalam rangka untuk lebih memberikan pemahaman secara teknis kemajuan pembangunan pendidikan kejuruan di setiap wilayah akan dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

Monev dilakukan secara berjenjang, yaitu pada tingkat satuan pendidikan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan tingkat nasional dengan mendayagunakan institusi yang sudah ada. Khusus untuk “Unit Penjaminan Mutu” masih perlu dibentuk berdasarkan perhitungan yang matang. Sedangkan materi yang dimonitor dan dievaluasi adalah semua aspek administrasi pendidikan. Langkah Strategis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Pada tingkat satuan pendidikan perlu dibentuk “Gugus Kendali Mutu” atau “Unit Penjaminan Mutu” yang berfungsi melakukan evaluasi dan monitoring secara jujur dan transparan terhadap pelaksanaan adiministrasi pendidikan di suatu sekolah. Hasil Monev ini dapat digunakan sebagai sarana evaluasi diri.

b. Sebagai langkah pengendalian selanjutnya, di setiap kabupatan/kota dibentuk Tim Monitoring dan Evaluasi (Tim Monev) dan bekerjasama dengan tim school mapping yang membantu Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam melakukan pemantauan kemajuan kegiatan, permasalahan yang timbul, dan memberi rekomendasi tindak lanjut sebagai solusi terhadap permasalahan dalam implementasi program. Tim ini diharapkan dapat bekerja dan mengirim informasi melalui infrastruktur teknologi informasi yang tersedia, sehingga secara cepat dan akurat dapat dilakukan antisipasi oleh berbagai pihak terkait.

c. Pada tingkat pusat dan propinsi juga ditetapkan Konsultan Penjamin Mutu Pelaksanaan Pembangunan SMK, yang diharapkan dapat membantu perencana, pengawas, dan pelaksana pembangunan sarana dan prasarana pendidikan kejuruan yang dibangun dengan dana imbal swadaya di Kab/Kota. Peranan penting dari konsultan ini adalah agar setiap pekerjaan pembangunan yang dilakukan secara swakelola oleh SMK memenuhi kualitas yang dipersyaratkan.

d. Koordinasi dengan Dinas Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi serta unsur Pemerintah Kabupaten/Kota baik pada tahap perencanaan, persiapan implementasi, dan evaluasi program diharapkan mampu menciptakan sinergi, khususnya komitmen pemerintah daerah dalam mensukseskan program pengembangan sumber daya manusia di wilayahnya, antara lain dalam penyediaan dana pendamping. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa untuk merealisasikan dana pendamping melalui APBD yang telah disepakati untuk setiap program bukanlah hal yang mudah untuk dipenuhi. Oleh sebab itu forum-forum koordinasi ini diharapkan dapat mensinergikan berbagai program baik yang ada di pusat maupun pemerintah daerah demi keberhasilan program.

e. Pemberdayaan Sistem Informasi Manajemen (SIM) dalam pengelolaan subsidi dan imbal swadaya diharapkan pula dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan, antara lain dimulai dengan pemberlakuan sistem kodefikasi kegiatan.

4. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Tenaga Kependidikan, Khususnya Guru.

Peningkatan kualitas tenaga kependidikan diperlukan untuk merubah secara mendasar tentang perilaku tenaga kependidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Lefrançois (2000:358) "Meeting the these goal, note Banks and Banks, requires major changes not only curriculum and teaching methods, but also in curriculum in teacher and administrators' attitudes."[36] Dibutuhkan perubahan secara mendasar tidak saja menyangkut kurikulum dan metode pembelajaran tetapi juga dalam hal perilaku guru dan tenaga adminsitrasi. Hal ini diperlukan karena selama ini masih ada tingkah laku yang kurang profesional yang dilakukan oleh guru dengan siswa, guru dengan guru, dan siswa dengan siswa.

Penciptaan guru yang berkualitas dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah sertifikasi guru. Hasil sertifikasi guru sebaiknya juga digunakan untuk melakukan pemetaan (mapping) terhadap kompetensi guru baik secara nasional maupun regional agar diketahui sebaran guru-guru yang benar-benar kompeten di bidangnya. Berdasarkan pemetaan tersebut, pihak yang berwenang dapat melakukan pemertanaan atau sebaran yang proporsional terhadap guru-guru yang berkualitas. Selama muncuk kesan bahwa guru-guru berkualitas banyak tersebar di sekolah-sekolah favorit (effective schools) di perkotaan. Untuk melakukan sebaran tersebut, pemerintah perlu juga memperhatikan aspek kesejahteraan yang dapat memberikan kompensasi pada guru-guru di “pinggiran”, misalnya melalui penambahan tunjangan , penyediaan perumahan dan fasilitas pendukung lainnya. Hal ini sudah biasa dilakukan dalam sistem pembinaan karier model militer di Indonesia dan beberapa negara lainnya, yaitu kader-kader terbaik harus ditempa terlebih dahulu di daerah-daerah yang penuh tantangan yang tidak mudah (contexts of stringency), kemudian dididik dan akhirnya dapat mengembangkan kompetensinya secara optimal.

Selain itu, penciptaan guru yang profesional juga harus diawali dengan penciptaaan Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan (LPTK) yang berkualitas (mulai dari perekrutan mahahsiswa, kurikulum, penyelenggaraan perkuliahan, dan ujian), pengawasan terhadap guru dalam jabatan yang memadai, serta sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishement) yang fair.

5. Pengelolaan Satuan Pendidikan yang Didasarkan pada Asas “Good Governance”

Pengelolaan satuan pendidikan yang didasarkan pada asas Good Governance tersebut bukan hanya meliputi pengelolaan administrasi pendidikan, tetapi juga beraitan erat dengan anggaran, Sarana dan Prasarana. Bukan itu saja, semua pihak yang berkepentingan dengan sekolah agar mengerahkan segala sumber daya untuk mendukung terlaksananya proses pengajaran sebagai kunci untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Berkaitan dengan pengelolaan, Creemers mengemukakan agar segala sumber daya untuk mendukung terlaksananya proses pembelajaran,[37] yaitu tidak hanya terbatas 3-M (Man, Money, Materiel) sebagaimana selama ini kita ketahui, melainkan juga sebagaimana dikemukakan oleh Caldwell&Spink: knowledge (pengetahuan -kurikulum, tujuan sekolah dan pengajaran), technology (media, teknik, dan alat pembelajaran), power ( kekuasaan, wewenang), materiel (fasilitias, supplies, peralatan), people (tenaga kependidikan, adminisirotif, dan staf pendukung lainnya), time ( alokasi waktu pertahun, perminggu, perhari, perjam pelajaran), dan finance (alokasi dana).[38]

Kata governance merupakan perubahan dari kata govern, dan goverenmen. Government (pemerintah), merupakan suatu sturuktur lembaga formal (organisasi atau badan atau lembaga) yang menyelenggarakan tugas kenegaraan. Dalam Balck’s Dictionary, Government didefinisikan antara lain sebagai “… an organization through which a body of people exercise political authority: the machinery by which sovereign power is exercised…”.[39] Harkristuti Harkrisnowo mengemukakan bahwa pada pertengahan tahun 1980-an telah berkembang konsep governance, yang dirumuskan oleh World Bank sebagai ”….the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resource for development…” sedangkan konsep Good Governance (GG) kemudian banyak dikembangkan oleh berbagai penulis, dengan masing-masing argumentasi dan justifikasi, sehingga disebut sebagai ‘a rather confusing variety of catchword, sebagai suatu konsep yang ‘has come to mean too many different things. Walaupun demikian, pada pokoknya ada suatu kesamaan, atau common denominator dalam semua definisi tentang GG, yaitu bahwasannya pembangunan harus’…. to a great extent rely on good administrative and law processes, within which each country must find its own pragmatic consensus between the various development goals… Adapun tiga aspek Governance mencakup (a) the form of political regime, (b) the process by which authority is exercised in the mana-gement of a country’s economic and social resources for development, and (c) the capacity of governments to design, formulate, and implement policies and discharge functions.[40] Dalam bidang menajerial, Governance didefinisikan dengan ‘the process of decision-making and the process by which decisions are implemented (or not implemented)’ (UN ESCAP). Sehingga Good governance merupakan standar dalam manajemen mutu sebuah korporatif (perusahaan) atau pemerintahan atau semua aktor pembuat kebijakan publik dalam process penyelenggaraan manajerial dan pengambilan keputusan/kebijakan strategis secara proporsional dan orientasi positif.[41]

Berdasarkan konsep dasar di atas, pengertian good governance dalam konteks ini adalah pengelolaan yang didasarkan pada asas keterbukaan, pertanggungjawaban, dan partisipasi dari stake holder. Dengan demikian, kualitas pengelolaan pelayanan pendidikan dengan penerapan prinsip good governance mencakup penerapan asas transparansi, akuntablitas, dan partisipatif, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya pendidikan.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam pengelolaan satuan pendidikan, misalnya SMK (Sekolah Negeri atau Sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat subsidi dari pemerintah), khusus pada pengelolaan dana, maka perlu merujuk ketentuan hukum, yaitu Undang-Undang 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pengelolaan keuangan perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD. Sesuai dengan amanat Pasal 23 C 1945, UU Keuangan Negara menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD tersebut ke dalam azas-azas umum yang meliputi baik azas-azas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan Negara, seperti azas tahunan, azas universalitas, azas kesatuan dan azas spesialitas maupun azas-azas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan Negara antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara; pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mendiri. Hal ini perlu dilakukan agar penegakkan good governance dalam pengelolaan SMK makin efisien, produktif serta akuntabel, misalnya penyelesaian sejumlah indikasi penyalahgunaan wewenang di lingkungan suatu satuan pendidikan.

6. Penciptaan Suasana yang Kondusif melalui Learning Habits & Learning Community untuk Mendukung Keberhasilan Pembelajaran.

Suasana pembelajaran mempunyai peranan penting dalam menunjang keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Karena itu setiap stake holder perlu mendorong terciptanya lingkungan yang mendidik dan mendukung pembelajaran (learning habits) dan masyarakat yang gemar belajar (learning community), bukan kumpulan para pembelajar (communities of learners).

Berkaitan dengan hal ini, Soedjiarto berpendapat bahwa saat ini pada semua jenjang pendidikan perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Sebagai lawan dari penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana untuk memilih dan memilah. Atas dasar ini pula, negara maju yang demokratis, seperti Amerika Serikat dan Jerman, tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.[42]

Melalui penciptaan situasi pembelajaran yang kondusif (academic atmostphire), maka peserta didik dapat lebih enjoy dalam mengikuti pembelajaran. Masyarakat yang mendukung pendidikan tentu akan selalu memberikan sokongan pada proses pembelajaran di masyarakat, misalnya orang tua sangat peduli dengan prposes pembelajaran siswa di luar sekolah, dan ikut mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.

ooo000OOO000ooo

C. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, meskipun nilai Ujian Nasional (UN), bukan merupakan satu-satunya tolok ukur mutu pendidikan, maka pemerintah, tenaga kependidikan, LPTK, masyarakat, dan stake hoder lain perlu bergerak bersama-sama secara profesional dan proporsional untuk mencapai standar nasional pendidikan. Langkah strategis tersebut antara lain penciptaan kepastian hukum yang mengatur tentang kependidikan, penataan kurikulum, Penetapan Baku Mutu/Standar Pendidikan, peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan (khususnya guru), pengelolaan satuan pendidikan yang berdasarkan asas good governance, Penciptaan Suasana yang Kondusif melalui Learning Habits & Learning Community untuk Mendukung Keberhasilan Pembelajaran.

Untuk menghadapi pergulatan antara fakta dengan harapan dalam pencapaian standar nasional pendidikan, pemerintah sebagai penanggungjawab pendidikan seyogyanya menerapkan konsep-konsep pendidikan modern dan menjauhkan penataan pendidikan dari muatan-muatan politis, sehingga anggaran pendidikan sebesar 20% dapat dialokaksikan secara proporsional, dikelola secara profesional berdasarkan asas good governance. Guru sebagai salah satu ujung tombak peningkatan mutu pendidikan perlu terus meningkatkan kompetensi di segala bidang, termasuk terus belajar dan mengabdi sesuai dengan komnpetensinya masing-masing. Masyarakat sebagai salah satu unsur utama dalam pendidikan perlu memberikan apresiasi kepada penyelenggara pendidikan dan tidak menutup mata terhadap kendala-kendala teknis yang mungkin terjadi di lingkungan pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Buku:

Badrun, 1999. Bambang Tri Cahyono: Pejuang Pendidikan Alternatif. (Jakarta: IPWI),

Caldwell, B„ & Spink, J.M. 1988. The self management. London: Taylor & Francis Ltd.Basingstoke.

Creemers, B. 1992. School effectiveness, effective instruction and school improvement in the Nederland. Dalam D. Reynold & R Cuttance (Eds.). School effectiveness: Research, policy and practice. New York: Cassell.

Dyankov, A, 1996. Current issues and trends in TVE. UNEVOC, International Project on TVE, Paris.

Fullan, F.G. 2001. The new meaning of educational change. London: Routledge Falmer.

Ganner, Bryan A. 1999 Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Publishing Co. St Paul Minn.

Husaini, Usman, 2001. Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju Sistem Desentralistik, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid 8, Nomor 1.

Lefrançois, Guy R., 2000. Psychology for Teaching. United States: Wadsworth Thomson Learning.

Nurgiyantoro. Burhan, 1988. Dasar-Dasar Pengambangan Kurikulum Sekolah. (Yogyakarta: BPFE).

O’ Neil, William F. , 1981. Ideologi-Ideologi Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka pelajar).

Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rikena Cipta), 2004,

Sagala, S. 2004. Manajemen Berbasis sekolah dan Masyarakat. Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. (Jakarta: PT Rakasta Samasta), 2004.

Tim Dosen IKIP Malang, 1989. Dasar-Dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Suranaya.

Welker, D.F. & J.F. Soltis. 1992. Curriculum and aims. New York: Teachers College, Columbia University.

2. Koran

Anwar Fuady, Paradigma Baru dalam Pendidikan dan Pembelajaran Learning Is Fun,Suara Pembaharuan, 27 April 27 2008

Harian Kompas, “Mutu Pendidikan Indonesia Terus Turun”,Tanggal 12 April 2006.

Kartono, “KTSP Menuju Kurikulum ‘Less is More” Harian Kompas, 24 Juni 24, 2008

Kurnadi, “KTSP Membuat Guru Kreatif”, Suara Pembaharuan, 25 Juni 2008

3. Internet/Web

Baedhowi, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Http:www.Lpmpjateng.go.id.

Bapennas, http://www.bappenas.go.id/index.php

Data dan Analisa tentang Peningkatan Kualifikasi Guru Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 (www.Lpnp-Jatim.org.)

Dewanto, Standar Pendidikan Tidak Jelas, Timbulkan Kebijakan yang Berorientasi Proyek, http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0308/13/dikbud/488911. htm,

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/education. pdf,

Fekrynur, Peran Disdik Provinsi dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, http:// groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/1735,

Fredrik Kande, Membedah Kekuatan dan Kelemahan KTSP (Antara Globalisasi Lokal dan Ancaman Disintegrasi Bangsa), diakses dari Pendidikan Network.

Hendarman, “Persepsi Guru Dan Institusi Pasangan Tentang Kendala-Kendala Implementasi Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Kelompok Pariwisata “, http:www.depdiknas.go.id/Jurnal,

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/03/00594729

http://diknas.malangkota.go.id/e-learning/mod/forum/discuss.php?d=11

http://www.komisihukum.go.id/article

Linda Oktavia Dewi , Kesejahteraan faktor peningkatan mutu pendidikan, http://re-searchengines.com/linda6-07.html.

Marsudi Budi Utomo, “Selangkah menuju Good Governance”, Kamis, 10 Februari 2005 – Sorotan, http://kammi-jepang.net/sorotan.php,

“Presiden: Indonesia Tak Akan Maju Jika Standar Pendidikan Lunak,” Senin, 28 Mei 2007,http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2007/05/26/1873.html.

“Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pelayanan Pendidikan yang Lebih Berkualitas”, http:www.bappenas.go.id .,

“Program Pendidikan Menengah”, http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/ Renstra/bab-IV.htm,

“Program Pendidikan Menengah”, http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/ Renstra/bab-IV.htm,

Soedijarto,http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/28/Didaktika/1579467. htm,

Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan, http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/ item/5,



[1] Tugas makalah Mata Kuliah TQM, disusun Abd. Wahid (NIM: 140101010) dan Agung Sholeh (140101001) PPs IAIN/PAI SMH Banten, di bawah bimbingan Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Encep Syarifudin, M.Pd dan Dr. Hj. Eneng Muslihah, Ph.D.

[2] Tim Dosen IKIP Malang, Dasar-Dasar Kependidikan, Usaha Nasional, (Suranaya 1989), hal. 35.

[3] William F. O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan. Pustaka Pelajar, (Yogyakarta, 1981), hal. x

[4] Bapennas, http:www.bappenas.go.id/index.php.,

[4] Presiden: Indonesia Tak Akan Maju Jika Standar Pendidikan Lunak,” dan http://www. presidensby. info/index.php/fokus/2007/05/26/1873.html.,

[5] Baedhowi, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Http:www.Lpmpjateng.go.id.

[6] Harian Kompas, tanggal 22 Desember 2004.

[8] Linda Oktavia Dewi , Kesejahteraan faktor peningkatan mutu pendidikan, http://re-searchengines.com/linda6-07.html.

[10] Kartono, KTSP Menuju Kurikulum “Less Is More”, Harian Kompas, 24 Juni 24, 2008

[11] Dewanto, Standar Pendidikan Tidak Jelas, Timbulkan Kebijakan yang Berorientasi Proyek, http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0308/13/dikbud/488911.htm

[12] Linda Oktavia Dewi, Kesejahteraan Faktor Peningkatan Mutu Pendidikan, http://re-searchengines.com/linda6-07.html

[13] Data dan Analisa tentang Peningkatan Kualifikasi Guru Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 (www.Lpmp-jatim.org.)

[14] Fekrynur, Peran Disdik Provinsi dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, http://groups. yahoo.com/group/pakguruonline/message/1735

[16]Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pelayanan Pendidikan yang Lebih Berkualitas”, http:www.bappenas.go.id .

[18] D.F. Walker & J.F. Soltis. Curriculum and aims. New York: Teachers College, Columbia University, 1992. p 342..

[19] Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rikena Cipta, 2004), hal. 147.

[20] Harian Kompas, “Mutu Pendidikan Indonesia Terus Turun”,Tanggal 12 April 2006.

[23] Usman, Husaini, Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju Sistem Desentralistik, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid 8, Nomor 1.

[24] Fredrik Kande Membedah Kekuatan dan Kelemahan KTSP (Antara Globalisasi Lokal dan Ancaman Disintegrasi Bangsa), diakses dari Pendidikan Network.

[25] Anwar Fuady , Paradigma Baru dalam Pendidikan dan Pembelajaran Learning Is Fun, Suara Pembaharuan, 27 April 27 2008

[26] Badrun. Bambang Tri Cahyono: Pejuang Pendidikan Alternatif. Badan (Jakarta: IPWI), 1999, hal. 113.

[27] Hendarman, “Persepsi Guru Dan Institusi Pasangan Tentang Kendala-Kendala Implementasi Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Kelompok Pariwisata “, http:www.depdiknas.go.id/Jurnal

[28] M. G. Fullan, The new meaning of educational change. London: Routledge Falmer, 2001, p. 121.

[29] A. Dyankov, 1996. Current issues and trends in TVE. Paris: UNEVOC, International Project on TVE, 1996, 45.

[30] Badrun. Op.cit. 1999, hal. 53.

[31] Burhan Nurgiyantoro. Dasar-Dasar Pengambangan Kurikulum Sekolah. (Yoryakarta: BPFE, 1988), hal. 87.

[32] Kartono, “KTSP Menuju Kurikulum ‘Less is More” Harian Kompas, 24 Juni 24, 2008

[33] Sagala, S. Manajemen Berbasis sekolah dan Masyarakat. Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. (Jakarta: PT Rakasta Samasta), 2004.

[34] Direktorat Pembinaan SMP, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

[35] Kurnadi, “KTSP Membuat Guru Kreatif”, Suara Pembaharuan, 25 Juni 2008

[36] Lefrançois Guy R. Psychology for Teaching. United States: Wadsworth Thomson Learning. 2000.

[37] Creemers, B. 1992. School effectiveness, effective instruction and school improvement in the Nederland. Dalam D. Reynold & R Cuttance (Eds.). School effectiveness: Research, policy and practice. New York: Cassell.

[38] Caldwell, B„ & Spink, J.M. 1988. The self management. London: Taylor & Francis Ltd.Basingstoke.

[39] Bryan A. Ganner. Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Publishing Co. St Paul Minn, 1999.

[40] http://www.komisihukum.go.id/article,

[41] Marsudi Budi Utomo, “Selangkah menuju Good Governance”, Kamis, 10 Februari 2005 – Sorotan, http://kammi-jepang.net/sorotan.php,

1 komentar: