Kamis, 15 Desember 2011

POLA KEPRIBADIAN; Konstruksi Dasar Pendidikan Islam

POLA KEPRIBADIAN

(KONSTRUKSI DASAR PENDIDIKAN ISLAM)

Abunabiel Al-Faqier

A. Iftitah

Memperhatikan kondisi dunia pendidikan kita saat ini cukup memperihatinkan, mengingat realita pendidikan yang dihasilkan belum mampu melahirkan pribadi-pribadi muslim yang mandiri dan berkepribadian. Akibatnya banyak tercipta pribadi-pribadi yang berjiwa lemah, sengsara hidupnya, tidak profesional dan proporsional (amanah/ahsanu amala). [1]

Belum lagi generasi tua yang menyaksikan kaum muda berperilaku menyimpang dalam kehidupan yang telah mencapai puncak keprihatinan. Masalah ini telah banyak dikupas secara mendalam oleh para pakar betapa pentingnya pendidikan karakter[2] (baca: kepribadian) suatu bangsa. Selama ini praktik pendidikan kepribadian baik di lingkup pendidikan formal, informal, maupun non formal masih 'jauh panggang dari api'. Pro kontra keberadaan pendidikan kepribadian telah banyak menyita waktu. Yang pasti dalam jenjang formal, pendidikan kepribadian telah dititipkan pada berbagai mata pelajaran dengan harapan siswa akan memiliki bekal kepribadian yang baik dalam kehidupannya.

Ranah pendidikan yang ideal mencakup kognitif (pengetahuan), psikomotorik (keterampilan), dan afektif (sikap). Ketiga ranah ini seharusnya dikembangkan secara optimal dan proporsional. Yang pantas dipertanyakan, sudahkah dunia pendidikan mengembangkan secara maksimal ? Realitanya, di setiap akhir tahun pelajaran dunia pendidikan sibuk menyukseskan kelas akhir untuk menyongsong ujian nasional. Saking takutnya akan kegagalan UN sekolah berupaya semaksimal mungkin dengan segala daya untuk menggapai nilai setinggi-tingginya. Sayangnya, upaya yang berdarah-darah tersebut baru mampu mengembangkan ranah pengetahuan belaka (itu pun oleh sebagian kalangan masih dipertanyakan validitasnya). Demikian juga aspek sikap begitu mudah dilupakan dan dipinggirkan secara tidak sadar.

Lalu aspek apa saja yang harus dibenahi untuk membentuk pribadi muslim. Syaikh Hasan Al-Banna [3] menawarkan konsep untuk membentuk kepribadian Islam meliputi 10 aspek, yaitu Salim Al-Aqidah (bersihnya akidah), Shahih Al-Ibadah (lurusnya ibadah, Mantin Al-Khuluq (kukuhnya akhlak), Qadir ‘ala Al-Kasb (mampu mencari penghidupan), Mutsaqaf Al-Fikr (luas wawasan berpikirnya), Qawiy Al-Jism (kuat fisiknya), Mujahid linafsih (pejuang diri sendiri), Munazham fi syu’unih (teratur urusannya), Haris ‘ala Waqtih (memperhatikan waktunya), Naafi’ li Ghairih (bermanfaat bagi orang lain). Setiap individu harus menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain. [4]

Sebagai makhluk ciptaan Allah manusia memiliki dua dimensi, yaitu dimensi spiritual dan dimensi biologis. Dalam dimensi biologi (basyar), manusia merupakan unsur tanah, hal ini selaras dengan “sesungguhnya aku mencipta basyar dari tanah” (QS. Shaad/38:71). Dalam dimensi biologis tersebut terkandung tritunggal hayat (hidup), hawa (keinginan) dan jasad. Tetapi manusia tidak semata-mata bio-fisik, karena “ketika sudah Ku sempurnakan kejadiannya lalu kutiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. Shaad/38:72). Dengan demikian ada dimensi ruhiah/ ilahiah dalam diri manusia dan itulah yang membuatnya memiliki spiritualitas.

Maka dalam perjalanannya, kepribadian manusia yang terkandung sifat-sifat hewan dan sifat-sifat malaikat yang terkadang timbul pergulatan antara dua aspek kepribadian manusia tersebut. Adakalanya, manusia tertarik oleh kebutuhan dan syahwat tubuhnya, dan adakalanya ia tertarik oleh kebutuhan spiritualnya.

Al-Qur’an mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada godaan-godaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia tersebut terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan dan kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara aspek material dan aspek spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan keselarasan di antara keduanya. [5]

B. Pengertian Pola Kepribadian

Kata pola berarti gambar, desain atau konfigurasi [6] dan kepribadian berbeda dari kata ”pribadi”. Kata yang disebut terakhir artinya ”person” (individu, diri). Sedangkan kepribadian adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris ”personality” yang mulanya berasal dari kata bahasa Latin ”per” dan ”sonare”–yang kemudian berkembang menjadi kata ”persona”– yang berarti topeng. Pada zaman Romawi kuno, seorang aktor drama menggunakan topeng itu untuk menyembunyikan identitas dirinya agar memungkinkannya bisa memerankan karakter tertentu sesuai dengan tuntutan skenario permainan dalam sebuah drama.[7]

Para psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup.[8] Dalam masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.[9]

Karenanya kepribadian manusia selalu menjadi tema yang menarik untuk dicari tahu, apalagi kepribadian kita sendiri. Rasa ingin tahu tersebutlah yang lantas membuat banyak orang pergi ke psikolog untuk menjalani tes-tes kepribadian. Semua ini dilakukan demi mengetahui “seperti apa sesungguhnya diri kita ini?”

Manusia adalah mahluk yang “berkeyakinan” yaitu meyakini adanya benar dan salah. Ia dibekali beberapa sifat untuk mendekati kekuatan yang paling sempurna, ditandai dengan adanya rasa takut, cinta dan tunduk. Ketiganya biasa disebut “perangai”, dan mungkin merupakan perangai paling awal yang ditanamkan dalam jiwa manusia.

Ketika Al-Qur’an menjelaskan contoh manusia yang beragam dari sisi dimensi akidah pada awal surat Al-Baqarah, kata mukminin disebut sebanyak 4 ayat, sedang lawannya, al-kuffar, disebut sebanyak 2 kali. Kemudian Al-Qur’an mengupas perihal kelompok yang kehilangan kemanusiaan –karena tidak memiliki jati diri—dalam 13 ayat. Ayat-ayat tersebut mengungkapkan kontradiksi manusia yang terdehumanisasi ini dengan diri dan masyarakatnya. Al-Qur’an menyebut kelompok ini dengan sebutan al-munafiqun­. Dengan demikian, Al-Qur’an telah menerangkan model kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya. Di antaranya adalah Surah al-Baqarah/2 ayat 1-20. Rangkaian ayat ini menggambarkan tiga model kepribadian manusia, yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik. [10]

Berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang dijelaskan dalam rangkaian ayat tersebut.

C. Tiga Model Kepribadian Manusia dalam Al-Qur'an

1. Kepribadian Orang Beriman (Mu’minun)

Kepribadian merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali dan ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Kepribadian orang yang beriman ini Allah Subhanahuwata'alaa abadikan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 1-5, Allah Subhanahuwata'alaa berfirman:

Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS. Al-Baqarah/2 : 1-5).

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang beriman dan bertakwa itu menjadikan Al-Quran sebagai tuntunan/bimbingan dalam hidupnya dan tidak mempunyai keraguan sedikitpun terhadap Al-Quran itu. Mereka beriman kepada yang ghaib, menegakkan shalat dan menginfakkan rezki yang dikurniakan Allah kepada mereka. Mereka juga beriman kepada Al-Quran, Taurat, Injil dan Zabur serta meyakini kedatangan Hari Akhir. Mereka inilah yang memperoleh petunjuk dan merekalah yang akan memperoleh kemenangan.[11]

Dikatakan beriman bila percaya pada rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah swt., iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, percaya pada Hari Akhir, dan percaya pada ketentuan Allah (qadar/takdir). Rasa percaya yang kuat terhadap rukun iman tersebut akan membentuk nilai-nilai yang melandasi seluruh aktivitasnya. Dengan nilai-nilai itu, setiap individu seyogianya memiliki kepribadian yang lurus atau kepribadian yang sehat.

Kepribadian yang lurus dan sehat itu adalah, sikap tidak pernah bersikap sombong dan berbicara dengan kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka (QS. Al-Furqan/25: 63)

"Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

Rasulullah Saw telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau Saw,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”[12]

Inilah yang membedakan takabbur dari sifat ‘ujub (membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga meremehkan orang.

bagimu bahwa manusia tidak akan takabbur kepada orang lain sampai dia terlebih dahulu merasa ‘ujub (membanggakan diri) terhadap dirinya, dan dia memandang dirinya memiliki kelebihan dari orang lain. Maka dari ‘ujub ini muncul kesombongan. Dan ‘ujub merupakan perkara yang membinasakan, berdasarkan sabda Nabi Saw,

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.[13]

Nabi Saw juga bersabda,

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Ketika seorang laki-laki sedang bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat.”[14]

Dan orang-orang yang sombong adalah para penduduk neraka Jahannam, berdasarkan sabda Nabi Saw,

إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ

Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan.[15]

Mereka akan merasakan berbagai macam siksaan di dalam Jahannam, akan diliputi kehinaan dari berbagai tempat, dan akan diminumi nanah penduduk neraka. Nabi Saw bersabda,

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ

Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan).”[16]

Kesombongan memiliki berbagai bahaya seperti ini; maka tidak heran jika ia merupakan dosa terbesar. Nabi Saw bersabda,

لَوْ لَمْ تَكُوْنُوْا تُذْنِبُونَ لَخِفْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبُ الْعُجْبُ

Jika kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhawatirkan kamu pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu ‘ujub, ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri).[17]

Kepribadian yang lurus adalah kepribadian orang-orang Mukmin, sebagian sifatnya-sifatnya adalah sebagaimana digambarkan di QS. Al-Furqan/25:64-66:

"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.

Kepribadian yang lurus adalah pertengahan antara sikap berlebihan dan terlalu hemat (kikir) di dalam membelanjakan harta (QS. Al-Furqan/25: 67)

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan, tidak pula kikir, dan adalah pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian.

Dalam sebuah hadits Nabi bersabda:

لاَ تَزُولَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga ditanyakan tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa? ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya? harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan? badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?” (HR. at-Tirmidzy, ath-Thabrany dan dishahihkan oleh al-Albani).

Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang taat, yang tidak menyembah selain Allah, dan tidak pula menyembah kebanyakan tuhan yang disembah manusia (QS. Al-Furqan/25: 68),"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain selain Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina.

Dari sahabat Muadz bin Jabbal, aku membonceng di belakang Rasulullah di atas keledai, Rasulullah berkata, Ya Muadz, tahukah engkau apa haknya Allah terhadap hamba-Nya, dan apa haknya hamba terhadap Allah (tatkala hamba sudah menunaikan haknya Allah) ?, jawab Muadz, Wallahu ta’ala a’lam. Jawab Rasullah, Hak Allah terhadap hamba-Nya (kewajiban hamba terhadap Allah) yaitu agar mereka hanya menyembah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun dalam beribadah. Dan haknya hamba terhadap Allah (Apa yang Allah balas tatkala hamba sudah mengerjakan kewajibannya terhadap Allah) yaitu Allah tidak akan mengadzab mereka yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun. Kemudian Muadz berkata kepada Rasulullah, Ya Rasulullah, Apakah boleh aku sampaikan kabar gembira kepada untuk manusia ?, Jawab Rasulullah, Jangan engkau kabarkan, karena manusia akan meninggalkan berlomba-lomba memperbanyak amalan. (HR Bukhari Muslim)

Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang gemar bertaubat dan tidak dibelenggu oleh berbagai macam kesalahan dan dosanya (QS. Ali Imran/3: 134-135),

"Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang jujur, tidak suka berbohong dan tidak melakukan berbagai perbuatan maksiat yang diharamkan Allah SWT (QS An-Nisaa'/4: 114)

"Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka (lalui saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.

Kepribadian yang lurus akan bersikap moderat dalam segala aspek kehidupan. Rendah hati di hadapan Allah Subhanahuwata'alaa dan juga terhadap sesama manusia, Senang menuntut ilmu. Sabar, Jujur, dan lain-lain. [18]

Gambaran manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Qur’an ini merupakan gambaran manusia paripurna (insan kamil) dalam kehidupan ini, dalam batas yang mungkin dicapai oleh manusia. Allah menghendaki kita untuk dapat berusaha mewujudkannya dalam diri kita.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah membina generasi pertama kaum mukminin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah kepribadian mereka secara total serta membentuk mereka sebagai mukmin sejati yang mampu mengubah wajah sejarah dengan kekuatan pribadi dan kemuliaan akhlak mereka. [19] Singkatnya, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain.

Hasil gemilang pendidikan kepribadian Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah Allah akui dan diabadikan dalam Al-Qur'an:

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.S. At-Taubah/9 : 100)

2. Kepribadian Orang Kafir (Kaafirun)

Ciri-ciri orang kafir yang diungkapkan dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. Al-Baqarah/2 : 6 - 7)

Ayat diatas menjelaskan bahwa orang kafir, tidak ada pengaruh baginya peringatan, diberi peringatan atau tidak sama saja mereka tidak beriman. Hal itu karena Allah telah mendisfungsionalisasi mata, telinga dan hati mereka. Karena kekufurun mereka dengan Allah dan akherat maka peringatan terhadap mereka dengan surga dan neraka tidak efektif, Ditakuti-takuti dengan neraka dan kemurkaan Allah tidak takut, diimingi-imingi dengan surga tidak rindu kepadanya.

Allah menggunakan kata khatama, menunjukkan bahwa Allah telah menutup dan menstempel hati mereka dan pendengaran mereka, sehingga menghalangi masuknya segala peringatan. Kufur yang menghalangi fungsi peringatan itu ada empat macam, kufur inkar yaitu mengingkari Allah dan tidak mengakuinya sama sekali. Kufr juhud mengenal Allah dengan hatinya tapi mengingkari dengan lisannya, seperti kufurnya Fir’aun. Ketiga, Kufur ‘anad mengenal dengan hati mengakui dengan lisan, tapi tidak mau memeluknya dan menerimanya dan Kufur nifak, mengakui dengan lisan tapi mengingkari dengan hatinya.

Segala bentuk kekufuran diatas menghalangi penerimaan kebenaran, sehingga apapun nasehat dan peringatan tidak bermanfaat baginya. Hal itu karena Allah telah mengunci hatinya, dan pendengarannya, sehingga cahaya iman tidak bisa masuk ke dalamnya. Dan di matanya ada sumbatnya sehingga tidak bisa melihat kebenaran. Inilah kondisi orang kafir yang karena pilihannya sendiri dan kedhalimannya mati dalam kekukuran.

Tapi apakah makna ini kita tidak mendakwahi orang kafir ? Jawabannya Tidak boleh ayat ini dijadikan alasan tidak menyampaikan kebenaran kepada orang kafir. Kecuali kita telah menyampaikan kebenaran dengan argumentasi yang kuat dan keterangan yang jelas dan setelah itu kita mengetahui apakan obyek termasuk orang yang dimasukkan dalan golongan orang kafir yang celaka. Sehingga tidak beriman walaupun sudah mengetahui kebenaran atau termnasuk orang kafir karena kebodohan. Kemudian setelah mengetahui kebenaran ia mau beriman dan mengikutinya. Alasan lainnya karena da’wah wajib disampaikan, nasehat tetap disampaikan karena banyak orang belum masuk Islam. Karena belum mengenalnya, atau karena syhubhat yang ada pada dirinya dalam memahami Islam.

Ayat di atas memberikan pelajaran bahwa pelajaran dan nasehat yang baik bermanfaat bagi orang beriman, bertambah imannya jika dibacakan ayat-ayat Allah, sebagaimana firman Allah :

“Tiada lain orang beriman yaitu orang orang yang jika disebut Allah gemetar hati mereka, dan jika dibacakan atas mereka ayat ayatNya menambahkan mereka keimanan, dan hanya kepada rabb mereka, mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfal/8 : 2)

“Dan jika diturunkan surat, sebagian mereka ada yang mengatakan, siapa diantara kalian yang surat ini menambahinya keimanan, maka adapun orang yang beriman surat ini menambahinya mereka keimanan dan mereka bergembira”. (QS. At-Taubah/9 : 124)

Ayat di atas menunjukkan fungsi hakiki mata, pendengaran, dan hati bukan hanya untuk mengenal hal-hal materi. Tetapi untuk mengenal Allah, kebenaran, kebaikan dan mengikutinya. Bisa membedakan antara yang haq dan batil. Di mana secara materi mata dan telinga orang kafir biasa berfunsi untuk mengenal materi, mengenal harta, wanita, jabatan dan lain lainnya. Tapi mereka hanya mengenal sisi materi saja, adapun hal halal haram, haq dan batilnya mereka tidak dapat membedakannya, dalam pergaulan, bisnis, maupun politik. Bersikap pragmatis materialistik, tidak kenal apakah hal tersebut diharamkan Allah yang membawa ke neraka, atau halal yang membawa keberkahan dan sorga. Dan inilah yang Allah katakan:

“Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lantas mereka punya hati dengannya berakal, atau pendengaran dengannya mereka melihat, sesunggunya tidaklah mereka buta mata kepala akan tetapi mereka buta hati yang ada dalam hati. (QS. Al-Haaj/22 : 46)

Tidak memfungsikan mata, telinga dan hati untuk mengenal kebenaran dan mengimaninya merupakan tindak pidana yang mengantarkan kepada kekufuran, dan menyebabkan adzab yang besar dunia dan akherat. Merendahkan derajat sampai pada level lebih derajad daripada binatang, Allah berkata :

“Sungguh Kami penuhi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka punya hati tapi tidak memahami dengannya, mereka punya mata tapi tidak melihat dengannya, mereka punya telinga tidak mendengar dengannya, mereka seperti binatang bahkan lebih sesat, mereka dalah orang yang lalai (QS Al’AraAf/7 : 179).

Tidak memfungsikan panca indra dan hati karena kufur kepada Allah dan akherat akan menjadikan kerusakan yang tak terbatas. Tidak membedakan halal dan haram, tidak takut akan menimpakan kedhaliman kepada semua orang. Bahkan tega mengorbankan nyawa semua manusia demi kepuasan hawa nafsu.

  1. Suka putus asa,

b. Tidak menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupannya,

c. Tidak percaya pada rukun iman yang selama ini menjadi pedoman keyakinan umat Islam,

d. Mereka tidak mau mendengar dan berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum Muslim,

e. Mereka sering tidak setia pada janji, bersikap sombong, suka dengki, cenderung memusuhi orang-orang beriman,

f. Mereka suka kehidupan hedonis, kehidupan yang serba berlandaskan hal-hal yang bersifat material. Tujuan hidup mereka hanya kesuksesan duniawi, sehingga sering kali berakibat ketidakseimbangan pada kepribadian,

g. Mereka pun tertutup pada pengetahuan ketauhidan, dan lain-lain.

Ciri-ciri orang kafir sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an tersebut menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan kepribadian, yang akibatnya mereka mengalami penyimpangan ke arah pemuasan syahwat serta kesenangan lahiriah dan duniawi. Hal ini membuat mereka kehilangan satu tujuan tertentu dalam kehidupan, yaitu beribadah kepada Allah dan mengharap rida-Nya untuk mengharap magfirah serta pahala-Nya di dunia dan akhirat.[20]

Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda : “Aku melihat surga, dan kudapati ternyata sebagian besar penghuninya adalah orang-orang fakir. Kemudian, aku melihat neraka, dan kudapati neraka sebagian penghuninya wanita”. (HR. Bukhari Muslim).

Sedangkan Abdullah in Amru ra. dengan lafal : “Aku melihat neraka, dan kudapati para penghuninya adalah kebanyakan orang-orang kaya dan wanita”.

Riwayat dari Abi Waqid Al Laitsi, ia berkata: “Kami keluar kota Madinah bersama Rasulullah menuju perang Hunain, maka kami melalui sebatang pohon, aku berkata: “Ya Rasulullah jadikanlah bagi kami pohon “dzatu anwaath” (pohon yang dianggap keramat) sebagaimana orang kafir mempunyai “dzatu anwaath”. Dan adalah orang-orang kafir menggantungkan senjata mereka di pohon dan beri’tikaf di sekitarnya. Maka Rasulullah menjawab: “Allah Maha Besar, permintaanmu ini seperti permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa: (`Jadikanlah bagi kami suatu sembahan, sebagaimana mereka mempunyainya`), sesungguhnya kamu mengikuti kepercayaan orang sebelum kamu.” (HR Ahmad dan Al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, hadits no 267).

Kami telah meriwayatkan dari Anas ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mendhalimi orang mukmin satu kebaikan pun, maka orang mukmin itu diberi atas perbuatan baiknya (berupa) rizki di dunia, dan diganjar kebaikan-kebaikannya itu di akherat. Adapun orang kafir maka diberi (balasan) kebaikan-kebaikannya di dunia sehingga begitu habis (kebaikannya) lalu ke akherat tidak ada kebaikan lagi baginya yang akan diberikan sebagai (balasan) kebaikan. (HR Muslim dan Ahmad). (Al-Baghowi, Tafsir Al-Baghowi/ Ma’alimut Tanzil, Daru Thibah, Riyad, cetakan 4, 1417H/ 1997M, juz 4 halaman 166)

3. Kepribadian Orang Munafik (Munafiqun)

Munafik berasal dari kata nafaqa yang berarti melahirkan sesuatu yang yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam pengertian syara' munafik adalah orang yang secara lahir menyatakan beriman, padahal hatinya kufur. [21]

Ciri kepribadian orang munafik yang paling mendasar adalah kebimbangannya antara keimanan dan kekafiran serta ketidakmampuannya membuat sikap yang tegas dan jelas berkaitan dengan keyakinan bertauhid. Mereka ibarat orang yang menyalakan lampu /api tetapi tidak menerangi. Ibarat orang tuli, bisu, buta seperti saat hujan lebat gelap gulita disertai guruh dan kilat . sekalipun penampilan mereka menarik, tapi tetap bodoh dan tidak berbobot. [22]

Di antara sifat atau watak orang munafik yang tergambar dalam Al-Qur’an antara lain:

  1. Mereka adalah orang-orang yang pura-pura beriman, padahal mereka sangat benci kepada Islam.
  2. Mereka selalu berusaha mengadakan tindakan-tindakan permusuhan dan tipu daya untuk menghambat kemajuan Islam, namun usaha mereka sia-sia. Tindakan-tindakan itu lahir dari penyakit yang ada d dalam jiwa mereka, penyakit yang semakin lama semakin parah itu mengakibatkan penderitaan dunia akhirat.
  3. Mereka mengaku telah berbuat baik padahal sebenarnya mereka membuat kerusakan di muka bumi, karena usaha yang mereka lakukan selalu berujuang pada bagaimana memperoleh keuntungan materi.
  4. Mereka “lupa” dan menuhankan sesuatu atau seseorang selain Allah swt., Dalam berbicara mereka suka berdusta. Mereka menutup pendengaran, penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran. Mereka juga kepribadian yang lemah, peragu, dan tidak mempunyai sikap yang tegas dalam masalah keimanan dan mereka bersifat hipokrit, yakni sombong, angkuh, dan cepat berputus asa. [23]

Rasulullah Saw. bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَف وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya".(Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).

Dan diriwayatkan daripada Abdullah bin Amru r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Ada empat perkara jika barangsiapa yang mempunyai empat perkara tersebut, maka dia merupakan orang munafik. Barangsiapa yang bersifat dengan salah satu daripadanya berarti dia bersifat kemunafikan, sehingga dia meninggalkannya yaitu apabila berkata dia berbohong, apabila diberi amanat dia khianati, apabila berjanji dia menyalahi dan apabila bertikai dia melampaui batas (HR Bukhari,Muslim).

Dengan demikian, umat Islam sangat beruntung mendapatkan rujukan yang paling benar tentang kepribadian dibanding teori-teori lainnya, terutama diyakini rujukan tersebut adalah wahyu dari Allah swt. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., manusia teladan kekasih Allah. Oleh karena itu pula, Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. ke muka bumi untuk memainkan peran sebagai model insan kamil bagi umat manusia. Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari mengandung sifat-sifat manusiawi kita, alam pikiran, emosi, bagian interior kita yang berkembang melalui interaksi indra-indra fisik dengan lingkungan. Namun lebih dalam lagi, kepribadian sesungguhnya merupakan produk kondisi jiwa (nafs) kita yang saling berhubungan. Atau, dapat dikatakan pula bahwa kepribadian seseorang berbanding lurus dengan kondisi jiwanya (nafs).

Berangkat dari teori kepribadian di atas, maka kita dapat membagi kepribadian manusia menjadi dua macam, yaitu:

1. Kepribadian kemanusiaan (basyariyyah)

Kepribadian kemanusiaan di sini mencakup kepribadian individu dan kepribadian ummah. Kepribadian individu di antaranya melliputi ciri khas seseorang dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan intelektual yang dimiliki masing-masing secara khas sehingga ia berbeda dengan orang lain. Dalam pandangan Islam, manusia memang mempunyai potensi yang berbeda (al-farq al-fardiyyah) yang meliputi aspek fisik dan psikis. Selanjutnya, kepribadian ummah meliputi ciri khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa/negara) muslim yang meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda dengan ummah lainnya, mempunyai ciri khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan identitas tersebut dari pengaruh luar, baik ideologi maupun lainnya yang dapat memberikan dampak negatif.[24]

2. Kepribadian samawi (kewahyuan)

Yaitu, corak kepribadian yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci Al-Qur’an, sebagaimana termaktub dalam firman Allah sebagai berikut.

"Dan, bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-An’am/6 : 153)

Itulah beberapa gambaran mengenai psikologi dan kepribadian manusia dalam Al-Qur’an. Tentu gambaran di atas belum sepenuhnya berhasil meng-cover keseluruhan maksud Al-Qur’an mengenai manusia dengan segala kepribadiannya yang sangat kompleks. Sebab, begitu luasnya aspek kepribadian manusia sehingga usaha untuk mengungkap hakikat manusia merupakan pekerjaan yang sukar.

Seyogyanya seorang muslim sejati akan memiliki sifat; 1) atsbatuhum mauqiifan yang paling kokoh atau tsabat sikapnya, 2) arhabuhum shadran yang paling lapang dadanya, 3) a’maquhum fikran yang paling dalam pemikirannya, 4) ausa’uhum nazharan yang paling luas cara pandangnya, 5) ansyatuhum ‘amalan yang paling rajin amal-amalnya, 6)aslabuhum tanzhiman yang paling solid penataan organisasinya, 7) aktsaruhum naf’an yang paling banyak manfaatnya.

Walaupun demikian, paling tidak penjelasan di atas dapat memberikan gambaran bahwa manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan, yaitu potensi baik dan potensi buruk. Dua potensi ini lantas memilah manusia ke dalam tiga kategori, yaitu mukmin, kafir, dan munafik. Pembinaan kepribadian manusia lewat pendidikan yang baik akan menuntun manusia agar bisa memperkokoh potensi baiknya sehingga ia bisa memaksimalkan tugas utamanya untuk beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi. Sebaliknya, pembinaan kepribadian manusia yang kurang maksimal akan memerosokkan manusia ke dalam derajat yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari binatang.





D. Maraji'

Mujammaa' Al-Malik Fahd Li Thiba'at Al-Mush-haf Asy-Syarif, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Madinah Al-Munawwaroh Kerajaan Saudi Arabia).

Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta, LkiS, cet. I, 2009.

Baqir Sharif Al-Qarashi, Seni Mendidik Islami, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003,

Komarudin Hidayat, Psikologi Beragama, Menjadikan Hidup Lebih Ramah dan Santun, Bandung: Mizan, 2010,

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, edisi ketiga,.

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Tafsir Al-Aisar (terj.) Jilid 1, cet. 1, Jakarta: Darussunnah, 2006

A.Q. Sartain. Psychology. 1967,

Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Pustaka 2000,

Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004).

Rani Anggraeni Dewi, “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”, dalam www.pusakahati. com, 28 Desember 2009.

Choirudin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur'an Luzx I, Jakarta: Gema Insani.

Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid I (Juz 1-2-3), Jakarta: Lentera Abadi, 2010.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2009).

http://www.eramuslim.com , Rabu, 28/07/2010



[1] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta, LkiS, cet. I, 2009. hal 37.

[2] Baqir Sharif Al-Qarashi, Seni Mendidik Islami, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, hal. 5

[3] Hassan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Pada usia 12 tahun, Hasan al-Banna telah menghafal al-Qur'an. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin). http://www.hassanalbanna.org/

[4] http://www.eramuslim.com , Rabu, 28/07/2010

[5] Komarudin Hidayat, Psikologi Beragama, Menjadikan Hidup Lebih Ramah dan Santun, Bandung: Mizan, 2010, hal 156.

[6] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, edisi ketiga, hal. 884.

[7] A.Q. Sartain. Psychology. 1967, hlm. 34

[8] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Pustaka 2000, hlm. 359.

[9] Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 186.

[10] Ibid., hal. 381-382

[12] [H.R. Muslim, no. 2749, dari 'Abdullah bin Mas'ûd]

[13] Silsilah Shahihah, no. 1802

[14] HR. Bukhari, no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim

[15] Hadits Shahih. Riwayat Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499

[16] Hadits Hasan. Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no. 151

[17] [Hadist Hasan Lighairihi, sebagaimana di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 658, karya Syaikh Al-Albani]

[18] Rani Anggraeni Dewi, “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”, dalam www.pusakahati. com, 28 Desember 2009.

[19] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Pustaka 2000, hlm. 384

[20] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Pustaka 2000, hlm. 387-389.

[21] Choirudin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur'an Luzx I, Jakarta: Gema Insani, hal 96.

[22] Ibid.

[23] Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid I (Juz 1-2-3), Jakarta: Lentera Abadi, 2010, hal. 50

[24] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 263.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar