Minggu, 26 Juni 2011

IMPLEMENTASI KONSEP BERKEMBANG, BERJASA DAN MANDIRI DALAM KEHIDUPAN ALUMNI PESANTREN

IMPLEMENTASI KONSEP BERKEMBANG, BERJASA DAN MANDIRI DALAM KEHIDUPAN ALUMNI PESANTREN

Disajikan Menjelang MUBES Ikatan Alumni Daar el-Istiqomah Serang Banten
di Mercusuar C
ikoneng Anyer, Rabu, 29 Juni 2011

Perjalanan santri selama menjalani masa pendidikan di podok pesantren suatu saat akan berakhir. Menanggapi selesainya masa pendidikan di pesantren, timbul pertanyaan sederhana yang menyimpan sejuta makna, ungkapan apakah yang mesti diungkapkan? Menjawab pertanyaan yang terlihat gampang itu, hakekatnya menyimpan kesulitan tersendiri ketika sebentuk pertanyaan di letakkan dalam konteks tindakan.

Ungkapan yang paling tepat diucapkan pertama kali tiada lain seperti yang pernah dicontohkan Nabi Sulaiman; “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah bersyukur atau mengingkari (nikmatnya)? Dan barang siapa yang bersyukur sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, sedangkan barang siapa yang ingkar, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (Qs. 27;40).

Manusia dihadapakan pada dua alternatif; bersyukur atau kufur. Mereka dituntut memilih secara bijaksana di antara dua pilihan yang ada, disertai sebuah kesadaran guna mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Upaya aplikasi akan membuahkan hasil yang diinginkan bila memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap hakekat syukur.

Bekal Yang diperoleh Santri di Pondok

Selama di pondok pesantren -formal atau informal-, guru, Kiai dan santri berkumpul, bermuwajahah, saling memberi dalam KBM, dan bercakap-cakap penuh kekeluargaan. Hubungan antara mereka berlangsung secara harmonis, akrab dipenuhi rasa saling pengertian seperti orang tua terhadap anaknya. Berakhirnya proses pendidikan di pesantren, tidak membuat hubungan antara mereka terputus, malah senantiasa ditingkatkan dalam bingkai silaturrahmi. Pondok tetap memiliki kepedulian pada mereka, dengan tidak bosan-bosannya untuk mengulang-ulang kembali apa yang pernah disampaikan, dan berusaha menambah atau mengembangkan apa yang telah mereka terima. Tentu dengan bentuk, proporsi, dan suasana yang berbeda dengan sebelumnya. Ini dilandasi kepentingan pondok terhadap santri-santrinya yang dilandasi rasa tanggung jawab dan ikatan persaudaraan lillahi ta’ala. Orang tua yang sebenarnya tidak bosan guna mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya.

Ketika para santri menyelesaikan pendidikannya di sebuah pesantren, mereka memperoleh predikat, sebutan dan panggilan baru yakni Alumni. Suatu predikat yang agung, menjadi dambaan setiap orang yang merasakan pendidikan pesantren, tapi dibalik itu tersembunyi tanggung jawab yang berat. Salah satu penilaian keberhasilan suatu lembaga pendidikan ialah sejauh mana mereka mampu menghasilkan anak-anak yang berkualitas, atau sejauh mana alumni-alumni pesantren menerapkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat.

Banyak hal yang telah diterima santri dari pondok, al-faqier berupaya melakukan analogi terhadap apa-apa yang telah diperoleh santri, sehingga mereka mampu memanfaatkan secara maksimal.

Apa yang diperoleh santri baru berupa kunci yang akan bermanfaat multifungsi, bila digunakan sebaik-baiknya guna membuka berbagai macam lemari ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Akan sia-sia kunci yang dimiliki, jika dibiarkan tidak dipergunakan.

Ibarat sebuah bangunan, para santri hanya menegakkan fondasi dari sebuah bangunan, maka untuk menyelesaikan bangunan secara utuh diperlukan bermacam-macam bahan-bahan tambahan agar bisa berdiri tegak menjadi sebuah bangunan yang kokoh.

Ibarat tanaman yang diperoleh santri masih berupa benih yang perlu dipelihara dengan baik, untuk disemaikan di tanah yang subur dan produktif, sehingga menghasilkan sesuatu yang memuaskan bagi penanamnya. Benih sebagad apapun, tidak dirawat atau ditanam, tidak akan menghasilkan apa-apa.

Mereka baru mendapatkan modal awal begitu menyelesaikan pendidikannya, modal yang akan berkembang perlahan-lahan menjadi modal yang besar seandainya dikelola dengan baik, penuh perhitungan, dan diatur sedemikian rupa sehingga bermanfaat dalam kehidupannya.

Di hadapan para santri terdapat berjuta-juta langkah yang hendak diambil dalam mengarungi kehidupannya, apa yang diperoleh baru langkah pendahuluan yang memerlukan beribu-ribu, bahkan berjuta-juta langkah agar menghasilkan hal-hal yang memang diinginkan, dan menjadi manusia yang paling bermanfaat di antara umatnya.

Hanya itulah yang diperoleh santri, tidak lebih dan tidak kurang, sesuai jenjang waktu pendidikan yang singkat. Semua pihak dintutut menyadari apa yang mereka peroleh terlalu sedikit dibandingkan kebutuhan-kebutuhan yang mestinya dipersiapkan menghadapi tantangan di tengah-tengah masyarakat yang kompleks. Namun ini sudah cukup representatif mengingat tidak ada lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia sudah jadi atau paripurna.

Kemauan para santri untuk berusaha dengan sungguh-sungguh, tidak kenal kata menyerah, supaya apa yang telah diperoleh menjadi ilmu yang bermanfaat dan hikmah yang bisa digunakan demi kepentingan masyarakat dan dirinya pada masa mendatang, menjadi faktor yang amat penting. Maka perlu ditekankan bahwa segalanya tergantung pada pribadi masing-masing.

Bekal yang diperoleh diharapkan mampu ditangkap akal, pikiran, perasaan, imajinasi dan hati, diolah dengan menggunakan segenap potensi yang dimilki manusia, sampai menjadi nurullah yang dapa membentuk kepribadiannya. Pencapaian atas hal ini menjadi indikasi penting tercapainya tujuan pendidikan di pondok dalam upaya mencetak; santri yang beriman sempurna, berilmu luas, beramal sholeh dan muttafaqqih fiddien, benar-benar tercapai. Untuk itu diperlukan usaha yang optimal dari santri guna berkembang, berjasa dan mandiri.

Berkembang Merupakan Kodrat Manusia

Berkembang ditinjau dari aspek bahasa berarti; hidup bergerak, tumbuh, maju dan hdiup lebih baik, bermanfaat, lebih dewasa dalam arti sebenarnya. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW; “Barang siapa yang ( perbuatannya ) lebih baik dari kemarin dia beruntung, barang siapa yang ( perbuatannya ) sama dengan kemarin dia rugi, barang siapa yang (perbuatannya) lebih buruk dari kemarin dia tercela.”

Semua potensi, daya, kekuatan yang dimiliki manusia dikembangkan sedemikian rupa, jangan dibiarkan mengalami stagnasi. Melalaikan potensi yang dimiliki berarti kufur atau tidak mensukuri nikmat Allah yang dikaruniakan padanya. Tidak mensyukuri nikmat Allah akan membawa konsukwensi yang serius pada kehidupannya di masa mendatang.

Nikmat atau karunia Allah yang secara spesifik ada dalam diri manusia sangat banyak sekali. Menurut kalsifikasi al-faqier ialah: empat jenis hidayah; instink, panca indera, akal dan ajaran-ajaran agama, potensi manusia menjadi khalifah Allah di bumi, potensi yang bersifat individual dan sosial, pemberian langsung sebagai ( mawahib ilhamiyah ) yang berupa watak, sifat dasar pembawaan, atau sebagai ( mawahib ikhtiariyah ) yang merupakan hasil usaha dan reakyasa manusia secara sengaja, berhubungan dengan aspek; mental, akhlak ( affektif domain), berhubungan dengan aspek ilmiah; akal, pikiran, dan imajinasi ( cognitive domain ), berhubungan dengan tindakan; fisik, jasmani, keterampilan ( psychomotoric domain ). Semuanya harus dikembangkan dari hari ke hari sampai pada taraf yang paling optimal.

Banyak cara yang bisa ditempuh dalam rangka mengembangkan diri sesuai potensi-potensi yang dimiliki, sesuai keadaan, dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai ilustrasi dalam mengembangkan affective domain diperlukan kesadaran, pengalaman dan keberanian untuk tampil, dalam cognitive domain perlu banyak membaca, berimajinasi dan berpikir, dalam pengembangan psychomotoric domain diperlukan latihan yang rutin, usaha gigih, dan kerja keras. Ketiga bentuk pengembangan ini dikembangkan secara terpadu, karena dalam menjalani kehidupan tidak akan pernah lepas darinya.

Perwujudan dari ilustrasi tadi ialah; belajar sendiri di rumah, duduk tekun di hadapan guru, bergaul dengan masyarakat dari berbagai lapisan, rajin membaca buku, mendengarkan berita atau ceramah, bersikap rendah hati ( tawadhu’ ), banyak bertanya, magang, silaturahiem, mengikuti kelompok diskusi atau seminar, menghayati sunnatullah dan mengadakan percobaan atau penelitian. Ini bisa dilaksanakan bila ada kemauan yang kuat, keinginan untuk maju, dan adanya waktu atau kesempatan yang harus diciptakan sendiri oleh alumni pesantren.

Biasanya di saat seseorang berhasrat untuk mengembangkan diri timbul hambatan dan kendala, entah berasal dari dalam diri ( intern ) atau berasal dari luar ( ekstern ), secara langsung atau tidak langsung. Menghadapi kenyataan yang terhindarkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan: menghindari sikap malas; berpikir, berusaha, dan bertindak, hidupkan daya pikir yang mampu menghasilkan insiatif, gagasan, kreasi dan inspirasi, mengerahkan imajinasi seoptimal mungkin, menghilangkan perasaan pesimis atau minder, menjadikan kesuksesan sebagai sesuatu yang ingin diraih, kuasi diri dalam menghadapi berbagai permasalahan, berupaya berpikir logis, sitematis dan konstruktif, tumbuhkan perasaan sempitnya waktu berputar, sehingga waktu berputar bisa dikuasai dan dimanfaatkan secara efektif, menyelesaikan pekerjaan sebelum batas waktu yang direncanakan, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi diri, belajar dari orang lain tentang kesuksesan dan kegagalan, tidak melemparkan kesalahan pada orang lain, introspkesi diri, mengisi pikiran, imajinasi dan perasaan dengan sesuatu yang postif, dalam melaksanakan pekerjaan tidak boleh mengatakan tidak mungkin sebelum mencobanya, dan tawakkal pada Allah.

Proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap berbagai hal yang telah dilakukan dalam upaya mengembangkan diri, sehingga bisa dipahami tingkat perkembangannya. Evaluasi yang dilakukan meliputi tiga hal pokok yang akan dijelaskan berikut ini.

Pertama; tidak boleh merasa puas terhadap apa yang telah dicapai, sebab perasaan puas pada pencapain suatu usaha merupakan indikasi awal bahwa dirinya tidak berkembang, perasaan tidak puas akan membimbing pada upaya yang terus menerus untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik.

Kedua; seseorang yang mampu membedakan baik dan buruk, halal dan haram, salah dan benar, berarti dirinya termasuk orang awam yang berpikir, bila dia mampu membedakan di antara yang baik, halal, dan benar dengan memahami mana yang bermanfaat atau tidak berarti dia berkembang satu tingkat. Bila di antara yang berguna itu, dia memahami mana yang prinsip ( dhoruri ) dan sekunder ( kamali ) berarti meningkat ke satu tingkat. Bila dia mampu memilih di antara yang prinsip mana yang lebih penting ( prioritas ) berarti dia mengalami peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi. Skema dari bentuk ini adalah;

( ) Benar X salah ( )

( ) Berguna X membahayakan ( )

( ) Prinsip X Sekunder ( )

( ) Lebih penting X Penting ( )

Ketiga; instropeksi ( hisab ) diri sendiri. Sebagai ilustrasi; dalam satu hari berapa halaman buku yang dibaca, berapa halaman yang dibaca keesokan harinya, gagasan apa saja yang timbul hari ini, bagaimana dengan gagasan yang muncul keesokan harinya, apa saja yang telah dilakukan, sedang dan akan dilakukan? Intinya setiap orang yang ingin mengembangkan diri senantiasa melakukan introspeksi diri ( muhasabah ) dengan jujur dan penuh tanggung jawab. Dari itu bisa ditempuh langkah-langkah kongkrit yang positif dan konstruktif.

Berjasa Sebagai Investasi di Akhirat

Makna kata berjasa di tinjau dari aspek bahasa adalah menanam budi atau berbuat amal kebajikan untuk orang lain semata-mata untuk membantu, memberikan sesuatu yang menjadi hak seseorang pada orang lain tanpa pamrih. Maka frasa biro jasa mengandung makna berbeda dengan kata berjasa.

Dalam upaya mengembangkan diri, kemungkinan menghadapi kesulitan tidaklah lebih sulit dari pada berjasa. Upaya pengembangan diri bersifat fitri menyangkut keakuan ( egoisme/ananiah ) yang berhubungan dengan potensi-potensi dasar manusia dan kodrat manusia yang tidak menginginkan bersifat stagnan. Kesulitan yang paling berarti terletak pada usaha bersikap konsisten dalam mengembangkan diri. Sedang dalam berjasa dituntut mengorbankan egoisme itu sendiri demi kepentingan orang lain atau bersama. Maka tidak berlebihan bila dikatakan, untuk berjasa seseorang dituntut untuk berperang melawan egoismenya yang menjadi salah satu wataknya. Alasan inilah yang membuat berjasa lebih sulit dari upaya berkembang.

Setiap orang yang mengaku Muslim harus berjasa pada Allah ( vertikal ) dalam artian berjuang di jalanNYA, menegakkan agamaNYA, dan melaksanakan perintah serta menjauhi laranganNYA. Pada saat bersamaan dituntut berjasa pada makhlukNYA ( horizontal ) seperti; berjasa pada sesama muslim, pada yang berbeda agama, tumbuhan, binatang, dan bendak sesuai konteksnya masing-masing. Bentuk jasa pada makhluk adalah dengan berbuat baik, saling tolong menolong dan amal sholeh padanya. Realisasi dari hal ini akan menjadi implementasi dari univbersalitas Islam ( rahmatan lil’alamien ).

Kewajiban utama seorang santri adalah berjuang di jalan Allah, menegakkan kebenaran, berdakwah di tengah-tengah masyarakat dengan berpegang teguh pada falfasah hidup yang dajarkan Nabi Muhammad SAW; “Dimanapun menginjakkan kaki di atas bumi, maka kamu bertanggung jawab pada keislamannya.” ( fi ayyi ardin tatho’ anta masuulun ‘an islamihi ).

Berjasa tidak boleh mengulur-ulur waktu, mulai detik ini juga harus dilakukan. Jangan sampai menunggu kaya untuk bersedekah, menunggu menjadi pejabat untuk membantu orang lain, menunggu menjadi orang yang berhasil untuk menolong orang miskin, menunggu menjadi orang pintar untuk mengajar orang lain, dan menunggu jadi Ulama untuk berdakwah. Perbuatan baik tidak diukur dari aspek siapa yang melakukan, tidak diukur dari besar kecilnya kebaikan, paling penting sejauh mana seseorang berjasa tanpa memperhitungkan keuntungan diri. Tentu saja dalam berjasa disesuaikan kemampuan, kapasitas dan kesempatan yang dimiliki, tanpa perlu memaksakan diri. Amal sholeh tidak ditentukan kuantitas, tapi kualitas dan kadar keinglasannya. Uang seribu rupiah yang disumbangkan orang yang memiliki penghasilan seratus ribu rupiah, berbeda nilainya dengan orang yang menyumbangkan seribu rupiah, padahal penghasilan satu juta.

Pada waktu bersamaan tidak boleh memilih-milih sasaran, situasi, dan kondisi. Prinsip utama yang dipegang; santri tidak boleh malu menjadi Imam di desa, khotib di masjid, tidak patah semangat karena mengajar di desa terpencil atau murid yang diajarkan hanya sedikit, dan sungkan membela kepentingan rakyat kecil, fakir miskin dan yatim piatu.

Kendala utama untuk berjasa yaitu sifat kikir ( bakhil ). Suatu sifat manusia yang merasa eman untuk menyumbangkan sesutau pada orang lain, meski mereka benar-benar membutuhkan. Seseorang tidak akan suka berjasa, tidak senang menolong orang lain, tidak ingin meringankan kesusahan orang lain, bila sifat itu masih bercokol kuat dalam dirinya. Untuk mengilangkannya sedikit demi sedikit dengan cara berlatih menyumbangkan apa yang dimiliki pada orang lain, dimulai dari nilai yang diangga kecil. Sehingga menyumbang menjadi kebiasaan.

Orang yang senang berjasa senantiasa mendahulukan kepentingan orang lain dari dirinya, sekalipun dirinya sendiri dalam kesusahan. Ini sudah ditunjukkan oleh orang-orang kaum Anshor menyambut saudaranya kamu muhajirin pada masa hijrahnya Nabi Muhammad SAW: “Dan orang-orang yang menempati kota Madinah dan telah beriman ( Anshor ) sebelum ( kedatangan ) mereka ( muhajirin ), mereka mencintai orang yang berhijrah pada mereka. Dan mereka tidak memiliki keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan pada kaum muhajirin, dan mereka mengutamakan ( kaum muhajirin ) atas diri mereka. Sekalipun mereka memerlukan ( apa yang diberikan ). Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Qs Al-Hasr;9). Tumbuhkan kesadaran dalam diri bahwa seseorang akan memperoleh keberuntungan dalam hidupnya, jika membuang jauh-jauh sifat kikir dari dirinya.

Ketika seorang santri menyumbangkan sesuatu, diiringi dengan sikap yang gembira, sebaliknya dia menangis pilu bila tidak mampu membantu orang lain yang benar-benar membutuhkan pertolongannya. Sewaktu menerima pemberian atau pertolongan dari orang lain, diterima dengan penuh rasa syukur dan keprihatinan, serta bersabar kalau ternyata tidak ada yang memberikan pertolongan.

Syarat utama berjasa yakni bersikap ikhlas lillahita’ala, tanpa pamrih. Ini akan menjadi fondasi utama berjasa. Maksud dari ikhlas ialah memberi sesuatu, menolong, atau membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun, tidak ada pamrih apapun di balik bantuan yang diberikan, apalagi mengharap yang lebih besar. Masalah keikhlasan ini, Allah banyak menyerukan pada umatNYA lewat Al-Qur’an; “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ( ikhlas ) ketaatannya dalam menjalan agama dengan lurus, dan supaya mereka menunaikan shalat dan zakat; yang demikian itulah agama yang lurus,” (Q.s Al-Bayyinah;5)

Berjasa harus tegak di atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam yang suci, sehingga berjasa merupakan bentuk dari usaha menjalankan ajaran agama Islam. Berjasa dalam konteks beragama inilah yang benar-benar termasuk dalam kategori ikhlas. Itulah yang dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyerukan keikhlasan karena Allah dan agama. Tanpa ini semua apapun yang dilakukan atau yang didermakan, tidak memiliki arti sama sekali; “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatangi itu, dia tidak mendapatkan apa-apa ...” ( Q.s An-Nur;39 ).

Menerima imbalan atas jasa yang dilakukan seseorang; berupa tenaga atau pikiran, merupakan hal yang wajar, tidak menyalahi prinsip-prinsip keikhlasan. Sebab imbalan yang diterima tidak dijadikan tujuan dari pekerjaannya. Dalam melakukan pekerjaan imbalan menjadi yang nomor kesekian, sedang fokus utama pada upaya menjalankan sebaik mungkin. Bahkan imbalan yang diterima bisa dijadikan motivasi meningkatkan kualitas kerja dan karya yang dihasilkan.

Guna mengemban misi dakwah di jalan Allah, tidak boleh mengharapkan imbalan materi dalam bentuk apapun seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, kalau memang sudah memilki sumber rezeki yang memadai. “Dan kamu sekali-kali tidak minta upah pada mereka ( terhadap seruanmu ), itu tiada lain hanya pengajaran bagi semesta alam,” ( Q.s Yusuf;104 ). Dalam ayat lain; “Ikutilah orang-orang yang tiada meminta balasan padamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk ( Q.s Yasin;21 ) ayat-ayat tentang ini diulang sampai sembilan kali dalam Al-Qur’an. Wajar jika berdakwah di tengah-tengah masyarakat, tidak dijadikan sebagai sumber penghasilan.

Dalam berjasa tidak boleh setengah-setengah atau tanggung. Usahakan apa yang disumbangsihkan merupakan yang terbaik, yang bisa dilakukan seseorang, kalau bisa menyumbangkan sesuatu yang paling berarti dalam dirinya, bukan barang-barang rongsokan yang tidak berguna.

Jika berjasa dalam bentuk harta, berikan yang paling berharga dan bisa digunakan sebaik-baiknya, jika berupa ilmu atau pemikiran, berikan yang yang terbaik, jangan disembunyikan sedikitpun, jika berupa tenaga, kerahkan segenap daya yang dimiliki. Karena nilai-nilai Al-birru ( kebaktian atau kebaikan yang sempurna ) Allah yang akan memberikan penilaian.

Berjasa yang baik apabila sesuai kebutuhan. Misalnya; orang lapar membutuhkan nasi, jangan menyodorkan pakaian, masjid membutuhkan genting, jangan memberi pasir. Sesuatu yang diberikan lebik berharga bila disesuai dengan kebutuhannnya yang mendesak waktu itu. Ini memerlukan kepandaian pemberi jasa untuk mampu membaca keadaan. Sebagai perenungan, mengapa Rasulullah bersabda bahwa memberi hutang kadangkala lebih baik dari bersedekah?

Mandiri Merupakan Kebutuhan yang Tak Terhindarkan

Peneriman prinsip berkembang dan berjasa, tidak berjalan baik bila subyek yang melakukannya tidak memiliki kesiapan lahir dan batin untuk mandiri dalam mendapatkan penghasilan, guna memenuhi kebutuhan hidup. Susah berkembang secara optimal, tanpa didukung kesiapan materi yang dihasilkan lewat kerja mandiri. Bagaimana mungkin seseorang berjasa secara optimal, jika dirinya tergantung dari orang lain.

Prinsip utama melaksanakan kemandirian adalah berusaha melakukan suatu pekerjaan yang disenangi, tidak keburu terobsesi untung yang banyak, kembangkan usaha sedikitit-sedikit, tidak boleh malu untuk menjadi pedagang kaki lima dan petani, dalam pepatah orang Arab: “Pelajar tidak malu memegang cangkul sebagaimana mereka tidak malu memegang fulpen.”

Sudah menjadi rahasia umum, ada sebagian alumni pesantren merasa malu untuk membantu orang tuanya berjualan di pasar, malu berdagang di kaki lima, dan malu membantu orang tua di sawah. Padahal semua itu yang menghantarkan mereka ke pintu pesantren. Suatu ironi yang menggetirkan. Membiasakan diri bersikap malu melakukan hal-hal yang dianggap sepele ini, akan membawa akibat buruk dalam kehidupannya di masa mendatang.

Perasaan malu biasanya dibungkus dengan kata gengsi. Gengsi adalah hantu menakutkan bagi siapapun yang memiliki hasrat kuat untuk mandiri dalam usahanya. Tidak semua orang berasal dari kelurga kaya, yang kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan mudah, banyak keluarga yang dalam kondisi ekonomi kekurangan, sehingga inisiatif dari anaknya untuk mandiri menjadi penyangga kehidupan keluarga. Maka bila gengsi dijadikan pijakan hidupnya, selamanya dia dalam kondisi kekurangan, yang berarti menyulitkan untuk berkkembang dan berjasa.

Mandiri dalam pekerjaan, membiayai kebutuhan hidupnya, dan mandiri memenuhi kebutuhan keluarga kalau sudah berumah tangga, merupakan kebutuhan pragmatis yang tidak terhindarkan, jika alumni pesantren tidak mengantisipasi hal ini, mereka akan dipaksa keadaan untuk menyerah pada nasib, tanpa upaya untuk mewujudkan impian-impiannya.

Setelah memiliki usaha yang mandiri, berbentuk apapun; bertani, berdagang, menjadi pegawai, pengajar, teknisi, karyawan dan usaha lain yang halal, para alumni dituntut berupaya mengembangkannya. Kalau berawal dari pedagang kecil, kembangkan menjadi pengusaha, berawal dari petani luaskan lahan agar penghasilan bertambah, berawal dari penarik becak, kembangkan menjadi bos becak, berawal kernet angkot, kembangkan menjadi juragan angkot, dan seterusnya. Tentu merubah sesuatu secara radikal, membutuhkan waktu yang lama, kerja keras, optimalisasi pikiran, kesabaran, ketelatenan, kegigihan, dan tawakkal pada Allah.

Merumuskan Pilihan yang Tepat Bagi Alumni Pesantren

Setelah memiliki pemahaman yang memadai tentang konsepsi berkembang, berjasa dan mandiri, sekarang apa yang mesti dilakukan setelah tamat dari pesantren? Jawaban yang tepat untuk pertaan ini terletak dalam diri alumni pesantren yang bersangkutan. Mereka sendiri yang akan merasakan, mengalami dan menjalankan kehidupan, sehingga setiap pilihan yang dibuat mengandung konsekwensi tersendiri yang harus dipertimbangkan secara matang, bersikap bijaksana dan dipertanggung jawabkan, agar tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Bukankah tugas manusia di dunia hakekatnya memilih dan memilih?

Para guru dan Kiai hanya bisa memberikan bantuan dalam bentuk bimbingan atau arahan, sebagai pegangan awal al-faqier mencoba memberikan bantuan yang tepat dalam menentukan pilihan yang benar.

Sebelum menentukan suatu pilihan, alumni pesantren perlu memperhatikan hal-hal berikut: mengenali diri sendiri; bakat yang dimiliki, potensi yang bisa dioptimalkan, tantangan dari dalam diri, dan kelemahan-kelemahan diri, menyadari kondisi keluarga dan masyarakat, mengenali zaman; tantangan-tantangan dalam zaman sekarang, perkembangan teknologi super cepat, akselarasi kehidupan, dan putaran waktu yang berlangsung cepat.

Berdasarkan pedoman di atas, mulailah menentukan pilihan, apakah yang akan dilakukan kelak? Dalam bidang pekerjaan apa yang akan ditekuni sehingga bisa menjadi mandiri? Jalur manakah yang akan ditempuh agar bisa mengembangkan dii? Diri hendak memberikan sumbangsih di bidang apa, sehingga bisa berjasa.

Tahap ini merupakan langkah awal guna mewujudkan cita-cita yang ingin diraih pada masa depan, suatu tahapan penting yang harus dipikirkan secara logis, sistematis, realistis dan kongkrit, dengan tetap menyadari bahwa semua yang dilakukan merupakan usaha (ijtihad) manusia semata yang bersifat relatif, tidak mutlak, dan bukan harga mati. Ada faktor lain yang menentukan tercapainya cita-cita yakni kehendak Allah. Maka bertawakkal padaNYA merupakan langkah yang tidak bisa ditawar-tawar.

Dalam upaya menggapai cita-cita, hakekatnya semenjak menginjakkan kaki di pesantren persiapan diri dilakukan, sehingga ketika tamat segalanya telah diperhitungkan. Ini memudahkan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Bagaimana kalau gagal? Kegagalan bukan merupakan akhir siklus kehidupan, kegagalan menjadi langkah awal dari kesuksesan yang akan diraih, maka sikap putus asa harus dijauhi. Gagal dalam satu bidang, bisa menekuni bidang yang lain. Bumi Allah luas, alumni pesantren bisa menekuni bermacam-macam bidang, tidak fanatik dalam satu bidang. Kata-kata Thomas Edison tentang kegagalan bisa dijadikan inspirasi; “Kebanyakan orang gagal adalah orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka ke titik sukses saat mereka memutuskan untuk menyerah.”2 Hebatnya lagi, sebelum mencapai hasil mencengangkan sebagai salah seorang paling jenius di dunia di samping Enstein, dia mengalami berbagai cobaan yang gagal sampai mencapai 10.000 kali. Menghadapi ini dengan enteng menjawab bahwa dia telah mempelajari 10.000 cara yang akan mengalami kegagalan.

Apabila seorang alumni pesantren mengalami kegagalan dalam puluhan, ratusan dan ribuan langkah, belum seberapa dibandingkan Thomas Edison, maka kata kuncinya tidak boleh menyerah pada kegagalan yang berulangkali datangnya. Justru kegagalan bisa dijadikan cambuk menuju pintu kesuksesan.

Dengan adanya cita-cita yang kongkrit, memahami tantangan yang dihadapi, dan mempersiapkan mental, baru menentukan alternatif-alternatif langkah yang hendak diambil. Paling tidak seorang alumni pesantren menentukan satu di antara lima langkah berikut yang bisa ditempuh.

Pertama; berkiprah secara langsung di tengah-tengah masyarakat, menangani berbagai tugas kependidikan dan kemasyarakatan, sambil tetap berupaya mengembangkan diri dan mencari peluang hidup mandiri.

Kedua; mengabdikan diri di berbagai lembaga pendidikan; berlatih mengajar sambil belajar di hadapan murid, dengan tetap berupaya mengembangkan diri lewat jalur otodidak atau melanjutkan ke perguruan tinggi.

Ketiga; melanjutkan belajar di perguruan tinggi di dalam atau di luar negeri, diusahakan sampai tingkat paling tinggi doktoral misalnya, sambil berlatih hidup mandiri, memperluas wawasan ilmiah, dan berupaya membantu masyarakat menggunakan berbagai perangkat yang memungkinkan.

Keempat; menambah pengetahuan dan kemampuan lewat jalur kursus, training, magang, dan lain-lain, sambil berupaya berjasa di lingkungannya paling tidak, dan mencari celah hidup mandiri.

Kelima; mencari pekerjaan tetap atau berwiraswasta, dengan berusaha mengembangkan diri lewat jalur belajar otodidak, belajar di universitas sehari-hari, dan berjasa menurut kemampuan yang dimiliki.

Begitu seorang alumni pesantren menentukan pilihan dari beberapa alternatif yang ada, mulailah mengerjakan dengan penuh keyakinan, membulatkan tekad di dada, melangkah dengan tegar, menghadapi setiap tantangan, mengoptimalkan pikiran, konsentrasi pada tugas, tidak mudah menyerah, dan melaksanakan secara konsisten (Q.s 46;13) sambil bertawakkal pada Allah (Q.s 3;159). Insya Allah apa yang diinginkan dan dicita-citakan akan tercapai.

Berkembang, berjasa dan mandiri menjadi semboyan dan falsafah hidup alumni pesantren di manapun mereka berada dan dalam waktu bagaimanapun. Ketiganya dilaksanakan secara terpadu, seiring dan seirama. Dalam upaya mengembangkan diri menghadapi problembatika umat yang bermacam-macam, tidak lupa untuk berjasa dan mandiri dalam menghadapi kebutuhan pragmatis yang tidak terhindarkan. Sebab jika tidak berkembang hakekatnya mati, konsekwensinya menjadi pelanggaran serius pada kodrat manusia. Jika tidak berjasa, berarti melalaikan tugas manusia di sisi Allah, dimana kehidupan dunia bersifat fana, dan merupakan persinggahan sementara untuk mencari bekal demi kehidupan abadi di akhirat. Sedang kemandirian merupakan kebutuhan manusiawi manusia yang harus dipenuhi, kalau tidak bisa menggagalkan upaya berkembang dan berjasa.


A. ALUMNI PESANTREN SEBAGAI KADER MUNDZIRUL QOUM

Risalah merintis membuka jalan

Dakwah melanjutkan ....

Dari generasi ke generasi

Tanpa kenal berhenti

Bentuk Kaderisasi di Pondok Pesantren

Membahas masalah kaderisasi di Pondok Pesantren, merupakan bahasan paling mendasar dan sentral dari segala persoalan yang telah, sedang, akan berkembang di dunia pesantren, baik menyangkut nilai, substansi, sistem, sarana maupun sasaran yang akan dicapai lewat pendidikan pesantren. Padahal seperti yang dipahami bersama, bahwa Kiai pada umumnya memiliki otoritas penuh dalam menentukan semua itu, sesuai potensi dan obsesi masing-masing. Maka timbul asumsi, pembahasan masalah ini merupakan intervensi terlalu jauh dalam persoalan internal pesantren.

Didorong tawashi bil-haq dan tawashi bis-shabr (Q.s; Al’Asr ; 3) yakni upaya saling tolong menolong dalam kebenaran dan kesabaran, Al-faqier berusaha mengkaji masalah ini, secara sederhana dan sistematis.

Kaderisasi pada hakekatnya adalah usaha menuju kelangsungan dakwah Islamiyah. Dakwah Islam tidak akan berjalan mulus tanpa lewat jalur pendidikan. Kaderisasi, dakwah, dan pendidikan ibarat tiga sisi dari segitiga yang saling berhubungan, terjalin erat tak bisa dipisahkan. Ketiganya memiliki konotasi mempersiapkan, menawarkan gagasan dan meyakinkan serta mengajak orang lain seperti yang kita inginkan (to be like our purpose).

Dilihat dari sudut sasaran (objek) dan medan (scene), barangkali menurut Al-faqier ada dua bentuk kaderisasi di kalangan umat Islam. Kedua bentuk yang dimaksud akan dijelaskan dalam uraian berikut.

Pertama; usaha mepersiapkan kader-kader umat yang tangguh dalam rangka mempertahankan identitas khoira ummah yang telah Allah sematkan pada umat Islam. Usaha kaderisasi ini mengacu pada kriteria utama yang termaktub dalam Al-Qur’an; menyuruh amar ma’ruf, mencegah diri dan orang lain dari berbuat kemungkaran, dan beriman pada Allah (Q.s: 3;110). Tanpa implementasi kriteria utama ini, maka identitas yang disematkan Allah hanya akan menjadi kebanggaan semu, yang kehilamngan jiwa dan maknanya.

Tugas menyiapkan kader-kader khairo ummah ini dilakukan setiap Muslim tanpa kecuali, lewat berbagai cara yang memungkinkan. Baik secara individual dengan membentuk pribadi-pribadi Muslim yang tangguh, maupun secara kolektiof institusiunal; melalui keluarga, lembaga pendidikan (formal, informal, dan nonformal), jamaah, oragnisasi, pemerintahan, dan masjid.

Kedua; mempersiapkan kader-kader yang bertanggung jawab atas le;amgsungan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat sebagai Mundzirul Qoum. Mereka merupakan thaifah muttafaqqih fid-dien, yakni kelompok umat yang terdiri dari orang-orang yang bukan saja mengerti agamanya (scholar of religion), sekaligus memiliki jiwa agamanya (religius scholar), dan mampu mengamalkannya bagi kemalahatan diri dan umatnya, terutama dalam rangka indzalur qoum sebagai tugas utamanya (Q.s: 9;122).

Kedua kaderisasi ini bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien melalui jalur pendidikan pesantren. Berbicara konteks pendidikan pesantren yang luas, maka dalam kesempatan ini penulis membatasi pada peranan pondok pesantren yang berkaitan dengan kaderisasi khusus ( mundzirul qoum ).

Kaderisasi Mundzirul Qoum

Menganalisa kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat, terdapat dua kelompok mundzirul qoum; kelompok ilmuan, pemikir atau ulama dan kelompok pemimpin umat. Al-faqier akan mencoba membahas kedua bentuk ini.

Dalam kelompok pertama metode indzarul qoum yang dilakukan lebih berbentuk konsepsi-konsepsi, bersifat teoritis ketimbang bentuk pragmatis yang dirasakan langsung masyarakat. Mereka terdiri dari; cendikiawan, intelektual, penulis, filsuf, dan tokoh masyarakat, yang secara eksplisit, bila benar benar takut hanya pada Allah berhak menyandang predikat Ulama (Qs. 35;28).

Sebagai Ulama yang menjadi pewaris para Nabi, mereka dituntut berupaya mewarisi sifat dan sikap Nabi, dan melanjutkan tugas-tugasnya di tengah-tegah umat, yang antara lain disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dialah yang mengutus pada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, membacakan ayat-ayatNYA pada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan pada mereka kitab dan hikmah. Sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata.” (Qs: Al-jumu’ah;2)

Secara jelas disebutkan tugas-tugas seorang ulama yaitu; membacakan ayat-ayat Allah yang bersifat tanziliyah seperti Al-Quran dan yang bersifat kauniyah seperti sunnatullah, menyucikan jiwa-jiwa umat dari berbagai anasir yang mengotorinya, dan mengajarkan pada mereka tentang Kitab Allah dan hikmah.

Untuk merealisasikan tugas ini, mereka harus memiliki wawasan keilmuan yang luas, kemampuan memahami Al-Qur’an dan hadits dengan menguasai Bahasa Arab, ketajaman analisa menangkap hikmah, tetap berpijak di atas keimanan dan akhlak mulia yang tinggi, sehingga apa yang disampaikan pada umat tidak terlepas dari konteks masalah umat itu sendiri.

Kelompok kedua yakni pemimpin umat, yang termasuk dalam kategori yang memperdalam agamanya (muttafaqqih fid-dien), misi indzarul qoum mereka dalam hal-hal yang langsung menyentuk kepentingan umat. Mereka secara langsung terjun di tengah-tengah umat, membimbing, membina, berdakwah, dan mengarahkan pada hal-hal yang membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat. Pada umumnya mereka disebut pemimpin umat (formal atau nonformal), pekerja sosial, pemuka masyarakat, pemimpin lembaga pendikan, sosial, budaya dan politik.

Sebagai pemimpin umat Islam, mereka berusaha menerapkan cara-cara yang digunakan Rasulullah dalam memimpin kamu muslimin, antara lain dengan menyatukan sifat-sifat beliau dalam diri setiap pemimpin umat. Sifat-sifat tersebut ialah; merakyat ( min anfusikum ), rendah hati, tidak sombong, memiliki kepekaan sosial terhadap masalah-masalah umat (‘ azizun ‘alaihi ma ‘anittum ), tanggap pada penderitaan umat, memiliki wawasan ke depabn yang lebih baik, future oriented ( harisun ‘alaikum ), tidak mudah puas pada apa yang telah dicapai, memiliki solidaritas yang tinggi, kasih sayang pada sesama, bersikap lemah lembut pada ummat ( bil mu’miniena roufun rohiem ).

Untuk menjadi pemimpin yang memiliki multi sifat yang paripurna, diperlukan wawasan kepemimpinan dan kemasyarakatan yang luas, kemapuan managerial yang memadai. Setiap pemimpin dari kedua kelompok mundzirul qoum ini, diharapkan menyempurnakan dirinya dengan merangkum berbagai sifat-sifat mulia yang dijelaskan di atas..

Begitulah kira-kira dua sosok kader yang harus dipersiapkan lewat proses pendidikan di dunia pesantren. Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk memilah-milah kader mundzirul qoum, sehingga menimbulkan dikotomi dalam bentuk yang lain, sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan pembagian ini diharapkan antara kedua kelompok yang ada saling mengisi satu sama lain, dan sebagai upaya identifikasi kader-kader yang ada, agar mempermudah pembinaan dan penyiapannya, sesuai kecendrungan dan minta masing-masing.

Kaderisasi Pengasuh Pesantren

Untuk mempersiapkan kader-kader pengasuh pesantren, harus digarap secara serius dan khusus, dibandingkan mempersiapkan kader-kader lainnya. Setiap pengasuh pesantren dituntut memiliki kemampuan ganda; wawasan keilmuan sekaligus wawasan kepemimpinan yang memadai. Jadi seorang pengasuh pesantren adalah seorang ilmuan yang menjadi pemimpin umat.

Di pundak mereka terdapat tanggung jawab atas implementasi kaderisasi mundzirul qoum. Tanpa memiliki kemampuan tadi rasanya sulit bagi para pengasuh pesantren guna merealisasikan tugas kaderisasi sebaik-baiknya, hingga mencapai sasaran yang diinginkan3. Mungkin timbul pertanyaan, sejauh mana kesiapan pesantren menjadi pelaku utama dari kaderisasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya bila terlebih dahulu mengetahui misi dan fungsi pondok pesantren sebagai sebuah institusi.

Misi dan fungsi utama pesantren ialah pendidikan. Pendidikan yang menjadi jiwa sebuah pesantren merupakan kegiatan sentral dalam upaya menciptakan kader-kader yang diinginkan. Seluruh kegiatan yang dilaksanakan tidak luput dari konteks pendidikan. Maka apabila muncul pemikiran, obsesi, imajinasi dan tindakan di pesantren yang keluar dari konteks pendidikan, perjuangan dan pengabdian, jelas merupakan penyimpangan dari misi dan fungsi pesantren.

Dengan demikian secara institusional pondok pesantren adalah lembaga pendidikan, sekaligus lembaga pengabdian dan perjuangan dalam rangka mempersiapkan santri menjadi pemimpin umat. Karenanya seorang pengasuh pesantren bisa pula disebut sebagai pendidik ( murobbi ), pejuang ( mujahid ) dakwah, dan pembantu pondok atau umat ( khodimul ma’had wal ummah ). Apabila pesantren memiliki prasyarat ini, maka tidak diragukan lagi kesiapannya menjadi agen utama kaderisasi mundzirul qoum.

Kemampuan itu tidak boleh membuat puas diri, diperlukan upaya-upaya tambahan seperti usaha kolektif, inovatif dan kreatif yang terus menerus guna memperbaiki, menyempurnakan, sekaligus meningkatkan sistem, sarana, substansi, dengan tetap berpedoman pada prinsip awal menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik ( Al-muhafdhah ‘Alal Qodiemis sholeh wal-akhdzu bil jadidil aslah ).

Sebaliknya jika nilai-nilai di atas sudah mengalami erosi, sehingga pesantren tidak bisa lagi menjalankan atau paling tidak menyimpang dari fungsi utamanya, maka bukan saja tidak mampu menjadi agen kaderisasi mundzirul qoum, bahkan akan kehilangan identitas dirinya, kalau tidak akan disebut menafikan eksistensinya sebagai sebuah pondok pesantren. Kiranya sebuatan-sebutan “sekolah diasramakan atau asrama yang dipimpin Kiai, bengkel tenaga kerja pedesaan, atau laboratorium masyarakat,” menjadi indikasi awal dari fakta hilangnya misi dan fungsi utama sebuah pesantren.

Menghadapi berbagai permasalahan ini, pengasuh pesantren perlu mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar upaya menciptakan kader-kader mundzirul qoum yang mempuni bisa berhasil. Paling tidak ada delapan langkah yang perlu diambil mengatasi hal ini.

Pertama; selalu mengadakan retropeksi dan reorientasi terhadap segala langkah yang sudah dilaksanakan, turutama yang berhubungan dengan kaderisasi mundzirul qoum agar terhindar dari mispresepsi atau overlaping dalam arti terlalu asyik mengerjakan sesuatu yang sebenarnya menjadi tugas orang lain, sehingga sampai melupakan pada tugasnya sendiri.

Kedua; kesadaran pada kekeliruan diikuti dengan langkah yang lebih penting yakni keberanian moril untuk mengadakan renovasi, jika perlu koreksi total, sampai terhadap apa-apa yang selama ini dianggap mapan, baik menyangkut substansi, sistem, maupun tujuan yang ingin dicapai. Guna memuluskan langkah ini diperlukan sikap saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran ( tawashi bil haq watawashi bis-shabr ) antar sesama pengasuh pesantren, dan kebesaran jiwa menerima kritik yang paling pahit sekalipun demi kebaikan pesantren.

Ketiga; menetap skala prioritas dalam merencanakan ( planing ) dan melaksanakan ( organizing ) program-program pendidikan, dengan mendahulukan yang bersifat primer ( dharuri ) dari hal-hal yang bersifat sekunder (kamali).

Keempat; Menciptakan iklim yang kondusif bagi terlaksananya proses kaderasi secara mulus dan lancar tanpa hambatan. Segala sesuatu yang diperkirakan menghambat proses pendidikan sebaiknya dihindari.

Kelima; melakukan pemantauan semenjak dini terhadap bibit-bibit unggul yang potensial; intelegensia, emosional qoistion, religius quistion, dan mental, dalam berbagai bidang. Dengan tanpa paksaan bisa dilakukan bimbingan dan orientasi kontekstual ( muqtahal hal ) sesuai bakat, kecendrungan, potensi dan kondisi masing-masing.

Keenam; bagi santri-santri yang dianggap memiliki potensi besar menjadi mundzirul qoum, perlu ditumbuhkan rasa percaya diri ( self confidence ) lewat pendekatan pribadi, dengan memberikan peluang yang luas guna mengembangkan dan meningkatkan kemampuan dirinya.

Ketujuh; melakukan pembinaan yang seksama terhadap alumni pondok pesantren, khususnya yang memiliki potensi di atas, dengan memeberikan kesempatan yang memungkinkan, sehingga kemungkinan berubahnya orientasi mereka bisa diminimalisir.

Kedelapan; mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan dengan senantiasa melakukan evaluasi berkala; mingguan, bulanan, triwulan, semester, dan tahunan, menggunakan metode-metode yang benar dan parameter yang jelas, sehingga bisa dipertanggung jawabkan keakuratannya.

Mengingat kompleksitas masalah, cepatnya perubahan yang terjadi, kemajuan teknologi yang senantiasa berakselerasi, dan hantaman informasi dari berbagai sudut, sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan pesantren, mempersiapkan kaderisasi umat tidak hanya di tingkat SMU atau marhalah aliyah, sarjana S1, pasca sarjana S2, bahkan sampai tingkat doktoral S3. Sehingga mereka mampu bersaing, bisa mengoptimalkan seluruh kemampuan, menjadi manusia yang paling bermanfaat, dan mampu mencapai hikmah; makna dari segala makna kehidupan.

B. ALUMNI PONDOK PESANTREN SEBAGAI PEREKAT UMAT

Sebelum membahas lebih lanjut tentang alumni pondok pesantren sebagai perekat umat, terlebih dahulu al-faqier mencoba mencari istilah dalam Islam yang cocok, atau paling tidak bisa dianalogikan, dengan kata bersayap Perekat Umat. Agar dalam memahami masalah ini, pembaca berada dalam acuan yang sama ( frame of reference ) yakni Islam.

Secara etimologis kata perekat menunjukkan subyek dari kata kerja melekatkan, yang mengandung makna melengketkan atau menggabungkan dua kata benda atau lebih, sejenis atau bukan. Sedangkan kata umat padanan dari kata masyarakat atau sekelompok orang, yang biasanya khusus digunakan dalam lingkungan Islam. Karena itu kata perekat umat dikonotasikan pada upaya-upaya memadukan, menyatukan, mendamaikan umat Islam yang berada dalam kondisi berbeda ( ikhtilaf ) -pemikiran, latar belakang budaya, tindakan, dan interpretasi-, bertikai ( tanazu’ ), dan naudzubillah dalam kondisi perang ( iqtital ).

Konsep Al-Qur’an tentang Perekat Umat

Paling tidak ada tiga istilah di dalam Al-Qur’an yang barangkali tepat dikonotosikan dengan istilah Perekat Umat, sekaligus hal ini dihubungkan dengan fungsi perekat umat itu dalam konstalasi pergaulan antar manusia. Ketiga istilah ini adalah ta’aruf, silaturrahmi dan ishlah. Ketiganya disebut fungsi ta’aruf, fungsi silaturrahmi, dan fungsi ishlah.

Allah berfirman; “Hai manusia! Sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal.“ (Qs : Al-hujurat;13)

Ketika terjun di tengah-tengah masyarakat, alumni pesantren yang mengemban amanat sebagai perekat umat, belum mengenal latar belakang masyarakat, budaya setempat, tradisi yang ada, dan belum memahami kondisi riil mereka, kecuali pemahaman umum tentang aneka ragam etnis, agama, dan kelompok. Seorang perekat umat yang belum mengetahui hal ini, perlu mendalaminya, di sinilah urgensi fungsi ta’aruf memegang peranan penting.

Langkah awal mereka ialah berupaya berkenalan dengan sebanyak-banyaknya anggota masyarakat, berusaha mengenal keadaan mereka lebih mendalam; lahiriah atau batiniah, individual atau sosial, dengan tetap berpegang teguh pada kriteria orang yang paling bertakwa ( atqoqum ), dalam melakukan penilaian dan evaluasi terhadap kenalannya.

“Dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu saling meminta dengan menggunakan AsmaNYA, dan peliharalah hubungan Silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(Qs:An-nisa’;1).

Hanya Ulul Albab sajalah yang dapat mengambil pelajaran, yaitu orang-orang yang memenuhi janji Allah, tidak merusak perjanjuian, dan yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah agar menghubungkannya/hubungan silaturrahmi (Qs: Ar-Ra’ad;19-21).

Dalam menjalankan fungsi silaturrahmi ini seorang perekat umat mulai berada dalam posisi aktif dalam berbagai kegiatan yang ada di tengah-tengah masyarakat, bergabung dalam salah satu kelompok yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungannya. Bergabung dengan salah satu kelompok membawa konsekwensi berarti menyiapkan diri untuk berbeda dengan kelompok lain, perbedaan menyangkut masalah teknis dan bahkan prinsip, yang bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan efek negatif, sehingga mengagalkan tugasnya sebagai perekat umat.

Untuk memainkan peranan sebagai perekat umat yang benar, dia dituntut secara aktif dan kretatif untuk selalu menjembatani perbedaan yang ada lewat silaturrahmi antara dirinya dengan orang lain, antara kelompoknya denggan kelompok yang lain. Efektifitas silaturrahmi akan menciptakan saling pengertian menyangkut perbedaan masing-masing.

“Dan jika ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah (laksanakan Ishlah) antar keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya pada yang lainnya, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga kembali pada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan belaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, kaerna itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Qs: Al-Hujurat;9-10)

Realisasi fungsi Ishlah, seorang perekat umat harus berada dalam posisi netral, menjadi juru damai, wasit, mediator yang hanya berpihak pada kebenaran, keadilan dan dilandai taqwa. Pada penggalan ayat pertama Allah memerintahkan umat Islam agar melakukan ishlah “Ishlah bainahuma” yang bermakna perbaiki keduanya, manakala kedua kelompok orang-orang Mukmin dalam kondisi berperang ( iqtitatalu ). Malah Allah mengizinkan umat Islam untuk memerangi salah satu kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lainnya, sampai mereka tunduk pada ketentuan-ketentuanNYA. Perintah ishlah pada penggalan ayat kedua mengindikasikan situasi yang lebih umum, dengan penekanan awal pada fungsi persatuan (ukhuwah) antara orang-orang yang beriman.

Semua ini menjadi isyarat awal bahwa tugas ishlah merupakan tugas yang tidak boleh tidak, harus dilaksanakan secara proaktif dan terus menerus dalam situasi bagaimanapun; damai atau perang, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip adil dan taqwa seperti yang dijelaskan di akhir ayat.

Implementasinya di Tengah-Tengah Umat

Barangkali istilah ta’aruf, siturrahiem, dan ishlah yang mendekati arti yang tersirat di balik kata perekat umat ini. Aneka ragam kultur, etnis dan agama masyarakat menunjukkan seorang perekat umat harus mampu memainkan peran yang multi dimensional di tengah-tengah mereka, sesuai kapasitas diri, kontekstualitas, intensitas masalah yang dihadapi, dan sesuai situasi atau kondisi umat. Suatu saat seorang perekat umat memfungsikan diri sebagai pelaksana fungsi ta’aruf, pada situasi yang lain berfungsi sebagai penghubung ( wasilurrahiem), bahkan dalam situasi yang berbeda mungkin memfungsikan diri sebagai pendamai ( al-mushlih ) antara dua orang atau dua kelompok yang bertikai. Intinya seorang perekat umat senantiasa berupaya untuk melakukan sesuatu yang berguna dan bermakna ( useful and meaningful ) di tengah-tengah umatnya, baik berbentuk ta’aruf, silaturrahmi, maupun ishlah.

Setelah memahami sekilas tentang ketiga fungsi perekat umat, sekarang sampai pada upaya apa saja yang akan dilakukan guna mengimplementasikan nilai-nilai yang di kandung dalam ketiga fungsi tersebut di tengah-tengah umat. Dalam uraian berikut al-faqier mencoba menjelaskan implementasinya di tengah-tengah umat, yang secara garis besar dirangkum dalam; perekat umat sebagai mutaarif, perekat umat sebagai wasilurrahiem, dan perekat umat sebagai al-musleh.

1. Perekat Umat sebagai Mutaarif

Berpedoman pada surat Al-hujurat ayat 13, ada beberapa tahapan implementasi fungsi ta’aruf antar manusia ( ta’aruf bainan-naas ). Didahului dengan penegasan Allah pada kodrat penciptaan manusia yang beraneka ragam ektis, budaya, warna kulit, dan kelompok –kendati mereka berasal dari seorang laki-laki dan perempuan yakni Nabi Adam dan Siti Hawa- diakhiri dengan penegasan lain tentangn ketinggian derajat mereka di sisi Allah: “ ...Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” Dalam kaitannya dengan hal ini seorang perekat umat harus menyadari perbedaan-perbedaan yang ada, sekaluligus melakukan pengenalan-pengenalan terhadap berbagai perbedaan dan hal-hal yang melatar belakanginya atau memotivasinya.

Keragaman dan perbedaan yang ada di tengah-tengah umat, bersifat kodtrati yang tidak bisa dihilangkan dengan cara apapun. Maka seorang perekat umat berusaha secara aktif dan kreatif untuk berkenalan dengan sebanyak mungkin manusia dari berbagai etnis, budaya, dan kelompok, tanpa memperhitungkan untung ruginya terlebih dahulu. Persoalan untung rugi tidaklah bersumber dari adanya perkenalan itu sendiri, tapi tergantung bagaimana cara kita merekayasa sebuah perkenalan dalam kehidupan sehari-hari.

Perkenalan pada mereka dilakukan secara terus-menerus, sehingga timbul pengenalan yang mendalam terhadap mereka; lahir atau batin, dan sebagai perekat umat bisa melakukan seleksi pada mereka, sesuai kriteria yang ditentukan Allah Atqooqum. Khususnya ketika dirinya dituntut untuk mencari partner kerja. Tapi prinsip-prinsip dasar yang lain seperti keadilan ( al-‘adl ), persamaan ( al-musawah ), toleransi ( at-tasamuh ) dan solidaritas ( at-takaful ), juga dijadikan acuan.

Penghormatan pada seseorang tidak boleh didasarkan pada adanya kelebihan; fisik, harta, jabatan, dan ilmu, tapi berdasar prinsip-prinsip di atas. Seorang perekat umat harus pandai-pandai menilai seseorang dari aspek ketaqwaannya pada Allah, tentu dalam melihat seseorang dari aspek ini, dirinya hanya mampu melihat dari gejala-gejala yang bersifat lahiriah, sesuai kriteria taqwa yang banyak diterangkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Sekali lagi perlu ditekankan di sini, dalam aspek atqooqum ini, fungsi ta’aruf diimplementasikan di tengah-tengah umat.

2. Perekat Umat sebagai Wasilurrahiem

Kedua ayat tentang silaturrahmi tadi menjadi bukti betapa strategisnya fungsi silaturrahmi dalam Islam. Allah memerintahkan silaturrahmi setelah perintah taqwa, dan menetapkannya sebagai sifat yang harus dimiliki Ulul Albab ( Para pemilik akal dan hati, yang biasa disebut cendikiawan atau intelektual ). Masih banyak ayat atau hadits, baik berupa perintah maupun larangan, yang mengindikasikan betapa Islam, sebagai agama yang makna denotatifnya berarti damai, meletakkan siturrahiem sebagai sesuatu yang sanga penting bagi pemeluknya.

Kalau ta’aruf di antara manusia menjadi langkah awal dari tugas perekat umat, maka silaturrahmi merupakan langkah lanjutan sekaligus tugasnya yang utama. Perintah siturrahiem, sebagimana perintah ta’aruf, bersifat universal bagi seluruh manusia, dan belaku terhadap berbagai kelompok yang berbeda-beda. Baik perbedaan madzhab, pandangan politik, organisasi sosial, ideologi, budaya, ekonomi, pendidikan dan maupun perbedaan profesi.

Lewat silaturrahmi seorang perekat umat bisa menjadi penghubung antara setiap individu atau antara berbagai kelompok, paham, dan aliran yang berkembang di tengah-tengah umat, sebagai akibat logis dari beranekaragamnya visi, persepsi dan pemikiran mereka terhadap berbagai persoalan yang ada. Keragaman yang seringkali menjurus timbulnya perselisihan, miskomunikasi, dan naudzubillah perang. Tidak bisa ditawar lagi, silaturrahmi antara sesama umat Islam, secara individual atau kelompok, harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, dalam situasi bagaimanapun.

Dalam melaksanakan silaturrahmi, biasanya seorang perekat umat akan dihadapkan pada situasi; silaturrahmi dengan saudara seiman yang sekelompok ( kohesif ) dan silaturrahmi dengan saudara seiman yang berbeda kelompok ( adhesif ).

Silaturrahmi dengan saudara seiman yang sekelompok, misalnya teman sesama; satu organisasi, satu ormas, satu madzhab, satu profesi, satu kantor, satu club. Yang paling utama dalam proses ini ialah seorang berekat umat dengan saudara sekelompoknya memiliki kesamaan iman dan bingkai ukhuah islamiyah. Ini memudahkan untuk menciptakan kesatuan visi dan tujuan ( wihdatul taujih wal-ittijah ), daya ikat yang kokoh, solidaritas tinggi, loyalitas kuat, dan memudahkan dalam memecahkan berbagai problematika yang timbul.

Meskipun demikian, seorang perekat umat tidak boleh terjebak fanatisme kelompok yang berlebihan, kebanggaan semu yang tidak rasional, pola pikir sektarian ( ashobiyah ) yang menjurus pada tradisi jahiliyah ( hamiyatul jahiliyah ). Maka perlu ditimbulkan kesadaran bahwa organisasi atau kelompok yang diikuti hanya merupakan alat semata, sebuah sarana yang suatu saat akan ditinggalkan, jika ternyata seorang perekat umat membutuhkan sarana atau kendaraan lain yang lebih sesuai kebutuhan menurut situasi dan kondisi yang ada. Naif sekali bila seseorang terjebak dalam fanatisme buta, padahal yang dibela adaalah alat atau sarana semata dalam upaya mencapai tujuan yang ingin dicapai. Ini sama artinya merubah fungsi alat menjadi tujuan.

Perlu disadari suatu waktu mungkin timbul perbedaan pendapat dengan sesama teman sekelompok, suatu hal yang lumrah, tidak mesti ditanggapi berlebihan. Setiap perbedaan yang ada dikelola sedemikian rupa agar memudahkan mencapai tujuan, bukan justru melahirkan keretakan, perpecahan, apalagi sampai menimbulkan pertikaian. Seorang yang bijak, apabila mampu menjadikan perbedaan yang ada sebagai bahan intropesi dan evaluasi diri, demi kemaslahatan umat. Jangan sampai orang-orang yang terlinat dalam satu wadah, hakekatnya berpecah belah, persatuan hanya fatamorgana demi kepentingan jangka pendek. Ini telah disindir Allah dalam Al-Qur’an, tentang persatuan orang-orang munafiq dengan kaum Yahudi Bani Nadhir; “Kamu mengira itu bersatu padu, (sebenarnya) hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu, karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak berakal.” (Qs. Al-Hasyr;14)

Sedang silaturrahmi dengan saudara seiman yang berbeda kelompok (adhesif), tidak jauh berbeda dengan yang pertama, yakni berpegang teguh pada iman dan ukhuah islamiyah. Hanya perlu ditambahkan sebuah prinsip yaitu berbeda sah-sah saja. Seorang perekat umat harus menghargai mereka yang berbeda kelompok, organisasi dan kendaraan, karena berbagai faktor, memilih sesuatu yang berbeda dengannya. Perbedaan yang ada biasanya diakibatkan latar belakang mereka yang beraneka ragam, dan tidak mungkin menyeragamkannya.

Seseorang yang sepanjang hidupnya mengenyam pendidikan umum memiliki visi, persepsi dan pemikiran yang berbeda dengan mereka yang sejak kecil dibesarkan di dunia pesantren, walau mungkin berasal dari keturunan yang sama. Seorang fakir miskin yang tidak pernah merasakan hiduk yang layak seumur hidupnya, akan berbeda dalam melihat kehidupan ini dengan mereka yang sejak kecil bergelimang harta berlimpah, kendati mungkin pernah berteman dalam sebuah lembaga pendidikan yang sama.

Perbedaan-perbedaan ini terjadi dalam segala aspek kehidupan; politik, ekonomi, budaya, dan sosial, sehingga tidak mengherankan di kalangan umat Islam timbul berbagai macam kelompok yang berbeda-beda, baik yang timbul secara alamiah ( thobiiyah ) atau yang sengaja dibentuk karena adanya unsur adhesifitas di atas.

Tidak mungkin rasanya mengingkari ikhtilaf ini, apalagi berupaya menghilangkan secara tuntas. Tugas seorang perekat umat ialah menjaga agar perbedaan yabng ada tidak menimbulkan perpecahan, tapi justru mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya; memperluas wawasan berpikir umat, menumbuhkan jiwa berlomba-lomba dalam kebaikan, melakukan komunikasi dua arah yang efektif, dan menciptakan iklim dialogis yang sehat.

Selain itu diperlukan sikap proaktif melakukan berbagai upaya untuk menciptakan saling pengertian antar berbagai kelompok dengan cara-cara yang memungkinkan, formal maupun informal, dengan menyadari segala akibat dari berbagai kebijakan yang diambil. Sebab biasanya upaya menjempatani perbedaan kelompok menimbulan resiko tertentu; positif atau negatif, berhasil atau gagal, bahkan dicurigai dan dikecam.

3. Perekat Umat sebagai Al-Musleh

Dalam melaksanakan fungsi pendamai ( al-musleh ) antara dua kelompok umat yang bertikai, langkah awal seorang perekat umat harus bertindak sebagai out sider atau di luar kedua kelompok yang bertikai. Tindakan yang dilakukan sebagai mediator atau wasit, bukan pemain, sehingga dituntut bersikap netral, cermat, jeli, aktif, dan kreatif dalam memainkan peranannya, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip awal adil dan taqwa (al-adalah wat taqwa).

Untuk melaksanakan tugas ishlah, seoang perekat umat terlebih dahulu mengetahui, memahami dan menguasai segala permasalahan yang timbul secara mendalam; latar belakang pertikaian, sumber masalah, siapa saja yang bertikai. Semuanya harus dilihat menggunakan kaca mata keadilan ( ainul ‘adalah ) bukan dengan kaca mata keridhoan ( ainur ridho ) dan kaca mata keburukan ( ainus sukhti ), serta berupaya perpikir logis dan proporsional, melakukan diaqnosa dan prognosa secara obyektif, mencari beberapa pemecahan masalah yang memungkinkan, dan menetapkan alternatif terbaik yang paling tepat.

C. FUNGSI PESANTREN ALUMNI TERHADAP AL-MAMATER

Berbicara peran dan fungsi pesantren, baik yang pesantren Alumni atau bukan, tidak bisa dilepaskan dari latar belakang kesejarahan, misi, dan tujuan didirikannya pesantren pada awalnya yakni; kapasitasnya sebagai lembaga pendidikan dan lembaga dakwah penyambung risalah Nabi. Untuk membatasi bahasan, tulisan ini hanya membahas peran dan fungsi pesantren Alumni terhadap al-mamaternya.

Dengan catatan apa yang al-faqier sampaikan hanya merupakan hasil perenungan, pemikiran, imajinasi, dan pengalaman mengelola pesantren Al-Amien Madura selama kurang lebih tiga puluh tiga tahunan. Pembahasan yang disampaikan bersifat subyektif dan kasuistis, sehingga perlu didiskusikan lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

Pengertian Istilah

Secara etimologis kata alumni merupakan kata jama’ dari alumnus atau alumna yang mengandung makna; lulusan atau tamatan dari sebuah lembaga pendidikan. Dalam beberapa ungkapan kata-kata alumnus atau alumna diartikan; seseorang yang pernah mengecap pendidikan pada sebuah lembaga, walau tidak sampai selesai. Terkadang kata-kata tersebut tidak hanya dinisbahkan pada lembaga pendidikan, tapi dipergunakan pada seseorang yang pernah aktif, sebagai pengurus atau anggota, suatu organisasi, misalnya KAMMI ( Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam ).

Dalam kaitannnya dengan pokok bahasan di atas, perlu dipahami terlebih dahulu makna Pesantren Alumni. Apa saja kriteria sebuah pesantren bisa disebut Pesantren Alumni? Apakah sebuah pesantren yang didalamnya terdapat Alumni suatu pesantren, bisa diklaim sebagai Pesantren Alumni?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan ini, yang paling awal menentukan kebijakan, sebuah pesantren disebut Pesantren Alumni atau bukan, tergantung dari kearifan pimpinan Pesantren Pusat; pesantren yang menjadi induk dan tempat Alumni sebuah pesantren menimba ilmu. Sebab dalam konteks kepesantrenan, terdapat beberapa kriteria khusus yang berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain pada umumnya, yakni yang berhubungan dengan jiwa, nilai dan sunnah atau tradisi kepesantrenan, terutama yang menyangkut keterkaitan batin ( ‘alaqoh ruhiyah ) antara Kiai dan santri-santrintya.

Sebagai misal Pesantren Alumni Gontor, mengandung makna pesantren yang menjadi “milik” ( dalam tanda petik ) Alumni Gontor. Pesantren Alumni Al-Amien, mengandung makna pesantren yang menjadi “milik” Alumni Al-Amien, Pesantren Alumni Daar el-Istqomah, mengandung makna pesantren yang menjadi “milik” Alumni Daar el-Istqomah,. Kata milik harus dilihat dari berbagai sudut dan makna, ditinjau dari aspek etimologis atau terminologis, khususnya dalam arti hal-hal yang berhubungan dengan aspek penciptaan, kreatifitas, tanggung jawab, dan pemeliharaan. Artinya kriteria paling nominal untuk menetukan Pesantren Alumni atau bukan ialah; alumni sebuah pesantren harus menjadi figur sentral dalam pesantren tersebut, atau paling tidak menjadi salah seorang pembuat keputusan (policy maker) yang menentukan bagi pesantren.

Berdasarkan kriteria minimal ini, maka seandainya ada alumni pesantren yang tidak berfungsi seperti itu, rasanya kurang tepat pesantren tersebut disebut Pesantren Alumni. Walaupun sebagian besar guru-gurunya berasal dari pesantren yang sama. Untuk menentukan hal inipun sekali lagi diserahkan pada pimpinan pusat pesantren yang bersangkutan.

Kewajiban Alumni Terhadap Al-Mamater

Nabi Muhammad SAW bersabda; Man lam yaskurinnas, lam yaskurillah, Barang siapa yang belum berterima kasih pada manusia, dia belum berterima kasih pada Allah.” (HR. Ahmad dan Turmudzi).

Setiap alumni sebuah lembaga pendidikan, diakui atau tidak, pernah merasakan jasa dan menerima kebaikan ( ihsan ) dari almamaternya. Proses yang terjadi pada dirinya; jasmaniah, aqliah, dan khuluqiah bisa berlangsung dengan baik sebagian berkat jasa almamaternya. Lebih-lebih pada Alumni pesantren, yang mendapatkan bimbingan, arahan, dan pendidikan selama 24 jam siang malam, dalam suasana keikhlasan, kedamaian dan kebersamaan. Sudah sewajarnya untuk memberikan pengakuan, betapa besar jasa sebuah pesantren pada para Alumninya.

Mengingat besarnya peranan pesantren terhadap alumninya, timbul beberapa pertanyaan. Apa yang mesti diberikan alumni pada pondoknya? Bagaimana cara membalas jasanya? Sudahkah berbuat baik demi al-mamaternya? Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini, hadits tentang syukur di atas sangat tepat untuk dijadikan pijakan awal dalam memformulasikan tugas dan kewajiban alumni pesantren terhadap al-maternya, secara benar dan proposisional.

Kalimat bersayap dalam hadits di atas, nampaknya sederhana tapi menyimpan makna yang dalam dan luas, mencakup berbagai aspek kehidupan manusia; jasmani dan rohani, individual dan sosial. Istilah yaskurinnas bisa diartikan berterima kasih pada seseorang atau mensyukuri pemberian seseorang, suatu istilah yang berkonotasi pada tiga hal.

Pertama; mengakui kebaikan dan jasa atau ihsan seseorang, pengakuan yang disampaikan secara lisan, dikukuhkan dengan hati. Sehingga tidak menjadi pemanis mulut semata. Pengakuan ini, diupayakan untuk diimplementasikan dalam tindakan nyata seseorang.

Kedua; memerpergunakan setiap pemberian yang diterima, sesuai harapan dan keinginan pemberi, yang biasanya dalam bentuk himbauan moral dari Kiai atau pimpinan pesantren. Di sinilah yang memunculkan ikatan kuat anatara alumni pesantren dengan Kiainya, walau terpisah ruang dan waktu.

Ketiga; membalas jasa atau budi baiknya dengan apa saja yang memungkinan; harta, tenaga, pikiran, simpati, atau doa.

Inti dari ketiga hal ini, kewajiban para alumni suatu pesantren pada al-mamaternya dapat diungkapkan dalam satu ungkapan pendek bersyukur dan mensyukuri, segala sesuatu yang telah mereka terima dari al-mamaternya, menurut pengertian syukur di atas. Ini dapat dilakukan dalam berbagai cara yang memungkinkan, sesuai dengan kemauan, kemampuan, kondisi, dan profesi masing-masing di tengah-tengah masyarakat.

Masalahnya adalah cara apa yang akan digunakan dalam upaya memformulasikan implementasisi syukur dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang kongkrit dan realistis, khususnya sesuai tema pembahasan dalam tulisan ini. Bagaimana pondok-pondok Pesantren Alumni memainkan peranannya di tengah-tengah masyarakat? Apa perwujudan syukur pada al-mamater?

Peran dan Fungsi Pesantren Alumni

Sebagai alumni yang memilih bidang pengabdian yang serupa yakni bidang kependidikan kepesantrenan, pesantren pusat yang melahirkan para alumni diupayakan memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan alumni lain, dan memiliki kepedulian untuk melakukan pembinaan menurut kebutuhannya. Di pundaknya terdapat tanggung jawab sosial yang lebih berat dari rekan-rekannya sesama alumni pesantren. Sebagai Kiai dalam sebuah pesantren, kedudukannya sangat penting di tengah-tengah masyarakat, di samping kondisi masyarakat yang sentralistik dan paternalistik, menuntut Kiai guna selalu dalam posisi yang ideal dan prima, sesuatu yang wajar dilihat dari sudut yang berbeda, namun seringkali berlebihan.

Dari hasil penngamatan al-faqier dan berdasar kenyataan yang ada, paling tidak ada beberapa peran yang bisa dilakukan Pesantren Alumni sebagai implementasi dari makna hakiki Syukur.

Melanjutkan dan menyebarkan misi pesantren pusat ( Al-imad wan nasr atau fungsi Disseminatif ). Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berangkat dari idealisme, komitmen dan melanjutkan risalah Nabi, pondok pesantren pusat pasti memiliki misi dan tujuan dalam melaksanakan pendidikan umat, yang dasar-dasarnya telah ditentukan pendiri pondok. Pesantren Alumni meneruskan misi dan tujuan yang ada, menyebarkan di tengah-tengah masyarakat, dan mengembangkannya sesuai keadaan masyarakat setempat.

Menyokong dan mendukung Pesantren Pusat ( At-ta’yid wad-di’amah atau Fungsi Supportif ). Sebagai seseorang yang pernah di didik di sebuah Pesantren Pusat, sudah sewajarnya bagi para Kiai pengelola Pesantren Alumni berusaha membantu dan mendukung penuh antusias. Bentuk bantuan atau dukungan disesuaikan dengan kondisi obyektif masing-masing; bisa berbentuk materi, lembaga, sumbangan pemikiran, atau paling tidak dalam bentuk doa.

Membantu meningkatkan dan mengembangkan Pesantren Pusat ( At-tanmiyah wat-Tatwier atau Fungsi Inovatif ). Seiring perkembangan pesat di segala bidang dan tuntutan umat yang kompleks, dalam era postmodern ini, Pesantren Pusat memerlukan upaya-upaya inovatif dalam hal yang bersifat teknis komplementatif, tanpa menyentuh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang telah mengakar di pesantren.

Dalam upaya ini Pesantren Alumni bisa memberikan kontribusi yang positif, bersifat konstruktif bagi usaha meningkatkan dan mengembangkan pendidikan di Pesantren Pusat, sampai tingkat paling optimal. Tentu saja para pengasuh Pesantren Alumni dalam memberikan sumbangan pemikiran dalam bentuk ini, perlu memiliki pemahaman terhadap nilai dan prinsip dasar pesantren, sehingga sumbangsih mereka bisa diimplementasikan secara kongrit dalam menjabarkan program-program pendidikan.

Membantu membina keluarga besar Pesantren Pusat di daerah. Biasanya pesantren-pesantren besar memiliki berbagai organisasi yang menaungi seluruh alumni Pesantren Pusat, seperti Gontor dengan IKPM, Al-Amien Madura dengan IKBAL, dan pesantren lain dengan nama berbeda. Untuk organisasi tersebut yang kebetulan tidak berbasis di pondok pesantren yang dikelola para alumni, diperlukan perhatian khusus. Agar organisasi yang ada lebih aktif, efektif dan efisien, sehingga manfaatnya dirasakan masyarakat secara langsung atau tidak langsung.

Untuk mereka para Kiai Pesantren Alumni bisa bersikap sebagai motivator ( Al-muharridl ), penghubung ( Al-mutawassith ), pemberi peringatan ( Al-mudzakkir ), dan pemersatu atau integrator ( Muwahidut taujih wal-ittijah ).

Demikian sumbangan pemikiran al-faqier tentang peran dan fungsi Pesantren Alumni terhadap al-mamaternya, sebagai rasa syukur pada Allah. Mudah-mudahan dengan demikian kita digolongkan pada orang-orang yang pandai bersyukur terhadap nikmat-Nya.

SELAMAT MUBER... Semoga menghasilkan keputusan-keputusan yang progresif, perspektif demi kemajuan Pesantren dan Alumni ke depan.

Dikutif dari berbagai sumber

Oleh Abd. Wahid Al-Faqier (Alumni ke-2 PPMDI Serang Banten)

READ MORE - IMPLEMENTASI KONSEP BERKEMBANG, BERJASA DAN MANDIRI DALAM KEHIDUPAN ALUMNI PESANTREN
Baca Selanjutnya - IMPLEMENTASI KONSEP BERKEMBANG, BERJASA DAN MANDIRI DALAM KEHIDUPAN ALUMNI PESANTREN