Selasa, 06 Desember 2011

Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam


FUNGSI MADRASAH DALAM PENGEMBANGAN

ILMU PENGETAHUAN ISLAM

A. Muqaddimah

Membicarakan pendidikan Islam tidak akan pernah ada habisnya. Demikian, karena proses pendidikan Islam telah, sedang dan akan terus berjalan mengikuti perkembangan zaman. Begitulah pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam sejarah masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan merupakan transpormasi besar. Sebab pada dasarnya masyarakat Arab pra Islam tidak mempunyai sistem pendidikan formal. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan lebih bersifat informal, dan ini pun lebih berkaitan dengan upaya dakwah islamiyah, penyebaran dan penanaman dasar kepercayaan dan ibadah lain. [1]

Proses pembelajaran agama Islam pada saat itu diselenggarakan di rumah-rumah sahabat tertentu dan yang paling terkenal adalah Darul Arqam.[2] Namun ketika masyarakat Islam telah terbentuk, maka proses pembelajaran agama Islam diselenggarakan di masjid yang dikenal dengan bentuk halaqah. Kebangkitan madrasah merupakan awal dari bentuk perkembangan Islam secara formal. [3]

Sepanjang sejarah Islam, madrasah diabdikan terutama kepada al-uluum al-Islamiyah atau biasa juga disebut al-uluum ad-diniyyah dengan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir dan hadits. Meskipun ilmu-ilmu ini juga memberikan ruang gerak kepada akal untuk melakukan ijtihad, dalam pengertian bukan ijtihad yang dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Dengan demikian, ilmu-ilmu non agama (profan) sejak awal perkembangan madrasah sudah dalam posisi yang marjinal.

Meski Islam pada dasarnya tidak membeda-bedakan nilai-nilai ilmu agama dan ilmu umum, namun dalam prakteknya supremasi lebih diberikan kepada ilmu agama. Terlepas dari semua itu, jika dipandang semata-mata dari sudut keagamaan dalam pengertian terbatas, supremasi dan dominasi ilmu-ilmu keagamaan dalam batas tertentu agaknya mengandung implikasi positif. Supremasi ini membuat transmisi syari'ah yang merupakan inti Islam, dari generasi awal muslim kepada generasi berikutnya menjadi "lebih terjamin", walaupun supremasi tersebut tidak berlangsung dengan cara yang lebih dinasmis.[4]

Karena itu tak heran ketika Charles Michael Stanton tidak berhasil membuktikan kaitan yang jelas antara lembaga penidikan tinggi Islam dengan kemajuan berbagai cabang sains dalam peradaban Islam. Ini tidak aneh karena seluruh madrasah yang pernah diteliti sepenuhnya bermuatan ilmu-ilmu agama. Hanya terdapat beberapa madrasah saja, khsususnya di Persia yang mengajarkan beberapa bidang ilmu yang "diharamkan" pada madrasah-madrasah Sunni. [5]

B. Madrasah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam

1. Madrasah pada Masa Dinasti Umayyah di Spanyol

Kurikulum madrasah di masa klasik, tidak banyak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru diperbolehkan mempelajari materi yang lain atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya, pada tahap awal siswa diharuskan belajar baca tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena belum adanya koordinasi antar lembaga-lembaga dengan pemerintah seperti pada saat ini. Meskipun pada kasus tertentu penguasa turut mengendalikan pelaksanaan pengajaran di madrasah-madrasah sedangkan proses belajar mengajar sepenuhnya tergantung kepada guru yang memberikan pelajaran.

Di bagian Barat wilayah Islam, Dinasti Umayyah [6] mengembangkan banyak jami'ah di kota Seville, Cordova, Granada dan di kota-kota lain. Di Spanyol perkembangan pendidikan tinggi di mulai pada abad kesepuluh. Bangsa Moor dan berikutnya bangsa Arab, memasuki sepanyol pada tahun 712. Meskipun tahun 756, pangeran dari Dinasti Umayyah, Abdul Rahman telah ditaklukkan oleh tentara dari Abbasiyah, Khalifah Al-Mansyur dan mengangkat Amir di Cordova. Inisiatif lain abad keemasan Islam di Spanyol bagian Selatan, di bawah Umayyah ini, terus berjalan abad kesebelas. Sementara itu pada abad kesepuluh adalah puncak perkembangan intelektual muslim di Spanyol dengan Cordova sebagai pusatnya. Universitas-universitas tersebut menjadi simbol yang cemerlang bagi kepentingan pendidikan muslim dan memberikan sumbangan khusus bagi kemajuan Eropa abad pertengahan. [7]

Umat Islam di Spanyol telah mencapai kejayaan yang gemilang, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan juga dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks, terutama dalam hal kemajuan intelektual. Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks.

Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.

2. Madrasah pada Masa Dinasti Abbasiyah. [8]

Keadaan yang sama juga meliputi pendidikan tinggi di wilayah Dinasti Abbasiyah. Sejarah mencatat bahwa kemajuan Islam zaman klasik dalam keilmuan mencapai puncaknya pada zaman Dinasti Abbasiyah khsususnya masa kekhalifahan Al-Ma'mun. [9]Seluruh lembaga menawarkan pendidikan univesitas dalam cakupan yang lebih luas, seperti bahasa Arab, astronomi, kedokteran, hukum, logika, metafisika, aritmetika, pertanian dan lain-lain. [10] Namun seiring dengan berdirinya madrasah, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami penurunan ketika mu'tazilah [11] yang semula menjadi madzhab resmi negara dibatalkan oleh Mutawakkil. [12] Ketika madrasah mulai berdiri, ternyata perkembangan itu tidak menggunakan madrasah sebagai media tranmisi, bahkan filsafat dan ilmu pengetahuan itu dipelajari secara individual dan mungkin di bawah tanah, karena dikawatirkan mengganggu supremasi ilmu-ilmu agama. Sehingga pada saat itu terdapat beberapa mudarris yang menawarkan program studi khusus dan lain-lain. Kekhususan itu dapat dilihat dari nama sekolahnya. Misalnya madrasah Nahwiyah, sebagai lembaga yang mengkhususkan diri dalam studi Islam tentang gramatikal bahasa Arab. Atau ada juga madrasah Qur'aniyah yang mengkhususkan pendidikan Al-Qur'an dengan saja.

Biasanya madrasah mempunyai perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama, walaupun perpustakaan telah lama terdapat di istana dan rumah-rumah bangsawan dan hartawan, perpustakaan sebagai bagian dari madrasah adalah hal yang jarang.[13] Untuk menyediakan manuskrif bagi mahasiswa, madrasah mencontoh praktek halaqah-halaqah gerakan nasional yang telah terpenuhi oleh budaya Hellenistik [14] dan berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Tersedianya berbagai karya bukan hanya sekedar buku-buku pelajaran, meningkatkan belajar mahasiswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam-macam pandangan dan juga kepada sejumlah tulisan tidak hanya sekedar kebutuhan langsung perkuliahan.

Madrasah yang didirikan Nizham Al-Mulk merupakan salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahuan menjadi begitu cepat. Abu Usamah menulis: "sekolah-sekolah Nizham Al-Mulk termasyhur di dunia. Tidak ada satu negeri pun yang di situ tidak berdiri Nizham Al-Mulk.[15]

Demikianlah Nizhamiyah memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu aritmetika misalnya, sedangkan madrasah-madrasah yang lain mengajarkan ilmu nahwu, tafsir, hadits, fiqh, bahkan ada pula yang mengajarkan ilmu kedokteran. Walau pun memang secara umum madrasah-madrasah mengajarkan ilmu keislaman. Seperti terlihat dari topik-topik utama dalam kurikulum mereka mempelajari Al-Qur'an, fiqh, teologi dan lain-lain. [16]

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa Nizhamiyah mempunyai potensi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan memperhatikan kepada pengajaran aritmetika, seperti juga terdapat di madrasah Muntansyiriyah. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, karena dahulu mereka tidak menyukai ilmu-ilmu seperti itu, tetapi pada gilirannya ternyata ilmu tersebut mereka butuhkan. Bahkan, ditemukan sebuah masjid dan madrasah yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan Yunani, misalnya masjid Mustansyiriyah di Baghdad yang telah mengajarkan ilmu-ilmu murni, seperti obat-obatan, farmasi dan geometri.[17]

Berikut ini kronologi Keahlian para pelajar pada Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah Al-Ma'mun.[18]

No

Nama Mahasiswa

Masa Hidup

Keahlian

1

Jabir Ibn Hayyan

( 721-815 M )

Kimia

2

Abu Nawas

( 747-815 M )

Syair

3

Imam Syafi'i

( 767-820 M )

Fikih

4

Muhammad Ibn Ummar Al-Waqidi

( 748-823 M )

Sejarah, Fiqh, Hadits

5

Ibn Hisya

( w. 832 M )

Sejarah

6

Al-Nazzam

( 801-835 M )

Teologi

7

Ahmad bin Hanbal

( 780-855 M )

Fikih

8

Ibn Sai'd

( w. 834 M )

Sejarah

9

Muhammad Ibn Sa'i

( 784-845 M )

Sejarah, Hadits

10

Al-Khawarizmi

( 780-847 M )

Astronomi, Matematika

11

Abu Al-Huzail Al-'Allaf

( 752-849 M )

Teologi Mu'tazilah

12

Ashaq Al-Mawshilli

( 767-850 M )

Sya'ir Penyanyi

13

Al-Jahizh

( 776-869 M )

Sastrawan

14

Imam Bukhari

( 810-870 M )

Hadits

15

Hunayn Ibn Ishaq

( 809-873 M )

Fisika dan Kedokteran

16

Ar-Razi

( 865-925 M)

Kedokteran

17

Al-Bakhli Ibn Khardazbah

( 934 M)

Geografi

18

Ibna Sina

( 980 -1037 M)

Kedokteran

3. Madrasah Akhir Periode Klasik Islam

Ba'da berakhirnya periode klasik Islam, ketika Islam mulai mengalami masa kemunduran, Eropa bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitan ini bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan kemajuan di bidang ilmu dan tekonologi itulah yang mendukung keberhasilan politik Eropa. Kemajuan Eropa ini tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Spanyol itulah Eropa banyak menimba ilmu. [19]

Pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan peradaban Islam yang sangat penting menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu orang-orang Eropa Kristen banyak menimba ilmu di perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi "guru" bagi Eropa. [20] Banyak prestasi yang diperoleh Spanyol Islam, bahkan dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dilihat pada bidang-bidang sebagai berikut: kemajuan dalam bidang intelektual, filsafat, sains, musik dan kesenian, bahasa dan sastra, bahkan juga dalam bidang arsitektur. Kemajuan Eropa terus yang berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi pada khasanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang pada periode klasik. [21]

Kontribusi khasanah ilmu pengetahuan Islam pada kemajuan Eropa, antara lain di misalnya bidang pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taqlid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.

Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M. Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Venessia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke 17 M di Jenewa. Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim.

Bidang Matematika, para ilmuan Islam telah berhasil menemukan struktur angka yang diambil dari struktur angka India, dari usaha menerjemahkan buku-buku India. Struktur angka yang lebih praktis dibanding struktur angka yang diciptakan orang-orang Romawi. Dalam struktur ini setiap digit mempunyai arti satuan, puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya. Bandingkan dengan struktur angka Romawi yang untuk menuliskan 383 harus ditulis CCCLXXXIII.

Dalam perkembangan berikutnya, sarjana-sarjana muslim menemukan angka nol (shifir). Penemuan angka nol ini merupakan penemuan paling berharga dalam bidang ilmu hitung. Selain itu umat Islam juga menemukan ilmu Al-Jabar. Di antara pakar Al-Jabar adalah Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi yang menyusun sebuah buku Kitabul Jama wat Tafriq dan Hisab al-Jabar wal Muqabla. Buku ini akhirnya dijadikan buku wajib di sekolah-sekolah dan universitas di Eropa sampai akhir abad ke 16. Selain Al-Khawarizmi juga ada Al-Bani dan Al-Baruni (973-1048).

Di bidang kedokteran, karya Ibnu Sina Al-Qanun merupakan rujukan terpenting dan terlengkap di dunia kedokteran. Bahkan orang-orang Eropa menamakan kitab ini sebagai ensiklopedia kedokterab karena mencakup penyakit TBC, penyakit kaki gajah, penyakit cacing dan bahayanya. Al-Qanun dicetak di Eropa pada tahun 1593, dicetak ulang sebanyak lima belas kali dalam bahasa latin yang kemudian menjadi buku utama di fakultas-fakultas kedokteran di Eropa hingga akhir abad ke 16 Masehi. [22]

C. Fungsi Madrasah dalam Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan Agama

Ada semacam degree agreement bahwa madrasah dipandang sebagai lembaga yang khusus mentransmisikan ilmu-ilmu agama dengan memberikan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadits dan tidak memasukan ilmu-ilmu umum dalam kurikulumnya. Menurut Azyumardi Azra, hal ini disebabkan karena 3 alasan:

1. Ini berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian ilmu-ilmu keagamaan (al-'uluum ad-diniyyah) yang danggap mempunyai supremasi lebih dan merupakan jalan 'tol' menuju Tuhan.

2. Secara institusi madrasah memang dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang agama.

3. Berkenaan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh madrasah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf dari penguasa politik Muslim atau dermawan karena didorong adanya motivasi kesalehan. [23]

Madrasah dapat diterima di kalangan masyarakat banyak karena kurikulum yang terfokus pada bidang keagamaan, seperti pelajaran fiqih misalnya dianggap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat diberikan pada anggota masyarakat dalam segala tingkatan umur. Di samping itu pula kerena pengajar madrasah adalah para ulama yang notebene merupakan panutan masyarakat serta pembela kepentingan mereka dan memiliki keududukan khusus dalam pemerintahan [24]

Karena, dapat kita simpulkan bahwa madrasah memiliki fungsi dan peran yang besar dalam mentransmisikan ilmu pengetahuan Islam. Adapun jenis pentranmisiannya adalah sebagai berikut:

1. Ilmu Pengetahuan yang Ditransminsikan Madrasah

Para ahli telah banyak melakukan penelitian tentang hal ini, bahwa ilmu-ilmu yang ditransmisikan oleh madrasah adalah; Al-Qur'an dan tafsirnya, hadits dan ilmu haditsnya, fiqih dan ushul fiqihnya, ilmu kalam dan bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharaf, balaghah sebagai penunjangnya.

2. Cara Madrasah Mentransmisikan Ilmu Pengetahuan Islam

Di antara madrasah yang cukup populer di masanya adalah madarasah Nizhamiyah. Bagaimana cara madrasah ini mentransmisikan ilmu pengetahuan Islam, yaitu dengan menyelenggarakan ujian. Namun pernanan guru masih sangat mendominasi oleh karena besarnya pengaruh guru secara individual. Misalnya, ijazah yang seharusnya dikeluarkan atas nama madrasah, tapi dikeluarkan atas nama guru. Namun demikian dalam hal ini tidak berarti bahwa madrasah tidak mempunyai fungsi strategi terhadap tansmisi ilmu.

Seperti pendapat Fazlur Rahman, bahwa mayoritas ulama termasyhur pada awal abad pertengahan bukan produk madrasah melainkan alumni murid-murid informal dari guru individual tidak dapat dibenarkan semuanya, sebab besar kemungkinan pengkajian disiplin ilmu yang dilakukan antara peserta didik dengan syaikhnya di luar jam pelajaran ini juga boleh jadi dimasukan ke dalam bagian kegiatan secara keseluruhan.

Adapun alur transmisi ilmu pengetahuan di madrasah secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian:

a. Transmisi Lewat Lisan

Dunia pendidikan Islam zaman klasik berkeyakinan bahwa belajar kepada syaikh secara pribadi dan langsung mendengar uraian (bayan) dari syaikh tidak hanya membaca karya-karya tulisnya dianggap sebagai metode transmisi yang paling baik. Seorang murid tidak dianggap cukup hanya membaca teks karya gurunya sendiri. Metode ini dilaksanakan dengan cara guru membaca teks kemudian mensyarahnya dan murid mendengarkan dan menyimak dengan seksama.

b. Transmisi Lewat Tulisan

Upaya transmisi lewat tulisan ini dilakukan karena pada masa itu harga kitab/buku sangat mahal, sehingga seorang murid yang berkeinginan memiliki sebuah buku/kitab maka tidak ada jalan lain kecuali ia harus menyalin dari kitab gurunya. Usaha keras ini menjadi alasan dan bukti akan adanya transmisi ilmu pengetahuan lewat tulisan.

D. Peranan Ulama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam

Lembaga pendidikan Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam transpormasi ilmu pengetahuan. Kegiatan intelektual dalam sejarah peradaban Islam merupakan mata rantai dari serangkaian perjalanan sejarah lembaga pendidikan Islam pada masa nabi dan khulafa'ur rosyidin dengan adanya syufah dan dilanjutkan pada masa Bani Umayyah dan mencapai puncak kejayaannya adalah pada masa Bani Abbasiyah yang ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan seperti madrasah Nidzamiyah dan Al-Azhar. Maka pengaruh ulama dalam mengembangkan tradisi keilmuan Islam tidak terlepas dari lembaga pendidikan tersebut.

Adapun di antara ulama yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, baik selama mendalami ilmu di lembaga madrasah maupun selama menjadi tenaga pengajar di lembaga tersebut adalah Al-Ghazali. Beliau merupakan alumni sekaligus sebagai salah satu tenaga pengajar pada madrasah Nidhamiyah. Ia dikenal sebagai seorang filosof, ahli fiqih, ahli sufi dan juga seorang negarawan. Ia tidak kurang menulis 400 buku besar dan risalah. Ia juga dikenal sebagai ilmuan Islam yang ensiklopedis. Banyak peneliti yang mengaitkan perkembangan keilmuan dengan peran yang dimainkannya, khususnya selama ia menjadi syaikh di madrasah tersebut.

Al-Ghazali berasal dari Tus Persia, setelah menyelesaikan pendidikan dasar di negerinya, ia menuntut ilmu di Jurjan pada syaikh Abu nasr Al-Islami. Setelah itu meneruskan pendidikannya ke Naisabur. Di sana ia menjadi pengikut tetap pengajian imam Al-Haramain Al-Juwaini yang menjadi syaikh madrasah Nizhamiyah. Ia menguasai berbagai cabang ilmu, seperti fiqih Syafi'I, perbandingan madzhab, debat, ushul fiqih, ushuluddin dan mantiq. Sementara itu, ia pun menulis buku-buku, di antara karyanya; Ihya Ulumuddin, [25] Maqasid, dan Tahafatul Falasifah, al-Mustafz, al-Basit, al-Wasit serta Al-Wajiz. Walaupun sudah kurang luas peredarannya, tetapi sebagian besar fiqih yang menjadi buku daras atau ulama syafi'iyah sekarang adalah turunan dari kitab-kitab itu.

E. Kesimpulan

Keberadaan madrasah dalam pendidikan Islam turut mewarnai pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Hal ini terbukti dari banyaknya ilmu pengetahuan yang berkembang baik yang dikembangkang pada masa Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah.

Ada juga madrasah yang mengkhususkan diri mempelajari satu disiplin ilmu tertentu, misalnya madrasah nahwu, madrasah tafsir atau madrasah hadits yang pada gilirannya membawa perkembangan pada ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian madrasah merupakan media atau wadah pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para alumnus yang dihasilkan madrasah turut pula menjadikan ilmu pengetahuan Islam berkembang. Mereka mengembangkan ilmu-ilmu tersebut dalam karirnya di berbagailembaga maupun kehidupan bermasyarakat.


[1] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 171

[2] Di tempat ini sahabat Nabi saw berkumpul mempelajari agama dan shalat bersama secara sembunyi-sembunyi. Jumlah orang yang masuk islam pada saat itu ada 40 orang. Di tempat tersebut Umar bin Khathab ra. masuk Islam. Dinamakan Darul Arqam berasal dari nama rumah sahabat Nabi saw Al-Arqam bin Abi Al-Arqam bin Asad Al-Makhzumi ra. Pada tahun 171 H Darul Arqam yang terletak kurang lebih 36 m di luar Timur Bukit Sofa, dibangun sebuah masjid oleh Khaizuran, ibu Harun Ar-Rasyid. Kemudian pada tahun 1375 H tempat tersebut dibongkar untuk perluasan Haram. Sekarang Darul Arqam sudah disatukan menjadi tempat Sa’i dan untuk mengenang sejarah ini didirikan sebuah pintu yang diberi nama dengan pintu Darul Arqam. Lihat: http://hasansagaf.wordpress.com/2010/06/20/darul-arqam/, diakses tgl. 25 Oktober 2011.

[3] Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).

[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999).

[5] Lihat http://www.tarbiyah-iainantasari.ac.id/artikel_detail.cfm?judul=159. diakses tanggal 25 Oktober 2011

[6] Dinasti Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Umayyah Al-Andalus. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I. Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Dinasti_Umayyah, diakses tgl 25 Oktober 2011.

[7] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 23.

[8] Dinasti Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut Amir atau Sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad. Lihat: Muhammad Syu'ub, Sejarah Bani Abbasiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang). Periksa juga: Ibn Katsir, Al-Bidaayah Wan Nihaayah.

[9] Al-Ma'mun ar-Rasyid (lahir 14 September 786 atau 15 Rabiul Awal 170 H dan meninggal pada 9 Agustus 833) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813 sampai 833, ia meninggal pada usia 48 tahun. Al-Ma'mun adalah putera dari putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin

[10] Deden Makbuloh, dalam Sejarah Sosial Peradaban Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal. 53

[11] Aliran yang memisahkan diri muncul di Basra, Irak, di abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. http://id.wikipedia.org/wiki/Mu%27tazilah, diakses tgl. 25 Oktober 2011

[12] Al-Mutawakkil (821-861) adalah khalifah ke-10 Bani Abbasiyah (847-861), http://id.wikipedia. org/wiki/Al-Mutawakkil, diakses tgl. 25 Oktober 2011.

[13] http://www.scribd.com/doc/23430579/Metode-Pendidikan-Islam-Klasik, diakses pada tgl. 05 Nop. 2011.

[14] Istilah Hellenistik (berasal dari kata Héllēn, istilah yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan nama etnik mereka) mula-mula dipakai oleh ahli sejarah Jerman, Johann Gustav Droysen merujuk pada penyebaran peradaban Yunani pada bangsa bukan Yunani yang ditaklukkan oleh Aleksander Agung. Menurut Droysen, peradaban Hellenistik adalah fusi/gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban Timur Dekat. Pusat kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antioch dan Aleksandria/Iskandariyah.

[15] Ahmad Syalabi, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta: Bintang Bulan, 1973), hal. 111

[16] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 176.

[17] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, ibid, hal. 177.

[18] Deden Makbulah, Kehidupan Murid dan Mahasiswa pada Masa Khalfah Al-Ma'mun; dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 75

[19] Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002) hal. 49

[20] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Press, 1991) cet. I, hal 67.

[21] http://jejaksejarahislam.blogspot.com/2011/04/andalusia-jejak-sejarah-islam-yang.html, diakses tanggal 25 Oktober 2011

[22] Nasim, Madrasah dan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 206.

[23] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; hal. vii

[24] Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, hal. 77

[25] Kitab yang menjadi salah satu rujukan terpenting kajian tasawuf ini banyak yang mengaguminya tetapi juga tidak sedikit yang memberikan keritik yang cukup tajam. Di antaranya adalah Buya Hamka yang menuturkan: " ... sebagai seorang ahli pikir yang bebas dan besar, beliau membebaskan pikirannya dari pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu daripadanya, tetapi hadits-hadits yang dijadikannya dalil, kerapkali tidak memperhatikan ilmu sanad hadits, sehingga sebagaimana ditulis oleh ayahku dan guruku Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya' musti hati-hati, karena banyak hadits yang lemah dan palsu. Itulah menjadi bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang failasoof yang besar tidaklah melengkapi ilmunya dalam segala -bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits, tetapi dia besar dalam penciptaan fikiran. Kunjungi: http://www.darulkautsar.net/, diakses tgl. 25 Oktober 2011.

4 komentar:

  1. KENAPA LAMPIRANNYA TIDAK DI MUNCULKAN

    BalasHapus
  2. Gpp sih... cuma malez aja... yang jelasnya waktu buat nampilinnya ga keburu... biasa kejar tayang bu.
    Usulin dong ke temen2... biar pada punya blog n semua tugas makalah yang sudah dipresentasikan di depan dozen dan temen2 bisa diposting n belajar berbagi ilmu dengan yang lain... semoga usulannya bisa diterima...

    BalasHapus
  3. جزاك الله خير الجزاء

    BalasHapus