Minggu, 30 Oktober 2011

Hakekat Pendidik dalam Pandangan Islam

Hakekat Pendidik dalam Persfektif Islam


A. Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi pendidik merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Hal ini dapat dipahami karena kehadiran faktor lainnya yang terkait dengan proses belajar mengajar tidak akan ada artinya tanpa kehadiran pendidik. Proses belajar mengajar tidak akan dapat berjalan tanpa hadirnya pendidik. Pendidik menjadi bagian terpenting dan menempati posisi kunci dalam proses belajar mengajar karena ia berinteraksi secara langsung dengan peserta didik, baik di jalur pendidikan formal maupun informal.

Kualitas pendidik dipandang sebagai penentu kualitas sekolah baik kualitas proses berupa kualitas proses pembelajaran maupun kualitas output berupa kualitas lulusan. Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia bahkan telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah diposisikan mempunyai peran ganda bahkan multifungsi.

Terkait dengan eratnya kaitan antara pendidik dengan perkembangan dunia pendidikan, muncul anggapan bahwa rendah dan merosotnya mutu pendidikan, sebagaimana sering disinyalir oleh banyak media massa, hampir selalu dinilai sebagai akibat dari rendahnya kualitas pendidik. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi pendidik itu sendiri. Jadi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas pelayanan pendidikan, diperlukan pendidik-pendidik ideal dan pendidik-pendidik berkualitas yang mampu mendidik dan mengajar sekaligus menghasilkan siswa dan lulusan berkualitas yang sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban. Untuk itu, perlu diidentifikasi bagaimana sesungguhnya pendidik ideal tersebut dalam perspektif filsafat pendidikan Islam sehingga bisa dijadikan pedoman dan patron bagi setiap pendidik muslim.

B. Hakekat Pendidik

Dari segi bahasa, pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidik. Kata tersebut seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi atau guru yang mengajar di rumah atau lembaga kursus atau lembaga pendidikan yang bukan sekolah/madrasah.

Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz yang berarti teacher (guru), professor (guru besar), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan ilmuwan. Adapun kata mudarris berarti teacher (pendidik), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (pendidik dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).

Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah pendidik, juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan mu’addib. Kata ”murabbi”, -misalnya- sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak terpuji. Hal ini bisa terlihat misalnya dari ajaran Islam tentang pemberian doa untuk orangtua sebagaimana yang tersebut dalam QS. Al-Isra / 17: 24 yang berbunyi :

Terjemah : Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil”.

Term “mu’addib” mengacu kepada pendidik yang memiliki sifat-sifat rabbany yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar yang memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi serta mempunyai jiwa kasih sayng terhadap peserta didik. Term “mu’addib” bahkan identik dengan pembentukan perilaku atau akhlaq sebagaimana yang tecermin dalam sebuah hadits ”addabani rabbi fa ahsana ta’dibi”. Jika pendidikan diistilahkan dengan ta’dib, yang berasal dari kata kerja “addaba” maka kata ta’dib tersebut diartikan sebagai proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah sebagaimana yang termaktub dalam hadits yang disebutkan di atas. Rasul merupakan pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak.

Sedangkan kata ”mu’allim” memberikan konsekuensi bahwa pendidik adalah seorang yang ‘alim (ilmuwan), menguasai ilmu pengetahuan, kreatif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu. Dalam pengertian ini maka seorang pendidik harus kaya dengan ilmu dan aktivitas keilmuan dan ia berusaha untuk memberikan pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya. Dalam Al-Qur’an setidaknya memuat 25 ayat yang mengandung kata “ ’allama”, beberapa dapat disebutkan di sini yakni QS. Al-Baqarah : 31, 32, 239, 251 dan 282, kemudian QS. An-Nisa : 113, QS. Al-Maidah: 4, QS.Yusuf : 37, 68 dan 101.

Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi an sich kepada peserta didik (transfer of knowledge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowledge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih.

Dengan demikian, kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dan memberikan pengetahuan, ketrampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa siapa saja dan dimana saja. Di rumah orang yang melakukan tugas tersebut adalah kedua orangtua. Karena secara moral dan kewajiban agama merekalah pertamakali yang diserahi tanggung jawab mendidik anaknya. Selanjutnya di sekolah atau madrasah tugas tersebut dilakukan oleh guru, dan di masyarakat dilakukan oleh tokoh masyarakat, ulama, organisasi-organisasi kependidikan dan sebagainya. Atas dasar ini, maka yang termasuk dalam kategori pendidik itu bisa kedua orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan sebagainya.

C. Siapa Pendidik itu?

Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung-jawab adalah orangtua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya. Selain itu sukses tidaknya anak mereka juga sangat tergantung pada pola pengasuhan dan pendidikan yang diberikan di lingkungan rumah tangga. Inilah yang tercermin dalam QS. Al-Tahrim : 6 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Terjemah : “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”

Kemudian pendidik berikutnya dalam pandangan Islam adalah guru/dosen. Sederhananya guru bisa disebut sebagai pengajar dan pendidik sekaligus. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut pendidik, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen.

Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.

Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru / pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena pendidik selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.

Sebenarnya tingginya kedudukan pendidik dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon pendidik, dan yang mengajar adalah pendidik. Maka, tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan pendidik. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tidak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya pendidik. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang pendidik, kedudukan pendidik, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan..

Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai pendidik, yaitu pandangan bahwa ilmu (pengetahuan) itu semuanya bersumber pada Tuhan :

………………

Terjemah : “Tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami” (QS. Al-Baqarah : 32)

Ilmu datang dari Tuhan, pendidik pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit ini tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari pendidik, maka kedudukan pendidik amat tinggi dalam Islam.

Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Ini bisa dilihat misalnya pada contoh hadis berikut:

…..اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ اْلاَنْبِيَاءِ…..

Artinya : ……Para ulama (pendidik) adalah pewaris para nabi (Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn Majah)

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Kemudian ada pula hadits yang menjelaskan bahwa kedudukan orang ‘alim itu lebih unggul dibanding ‘abid. Juga hadits tentang pujian Nabi SAW terhadap orang yang belajar ilmu Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.

D. Hakekat Tugas Pendidik

Mengenai tugas pendidik, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas pendidik ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.

Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang tugas seorang pendidik atau pendidik. Al-Qur’an telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya. Isyarat tersebut, salah satunya terdapat dalam firman-Nya berikut ini :

Terjemah : Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran : 79)

Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang diemban oleh Rasulullah Saw. adalah mengajarkan al-kitab, hikmah dan penyucian diri sebagaimana difirmankan Allah berikut ini :

Terjemah : “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”. QS. Al-Baqarah : 129

Pendidik, jika ingin berhasil dalam dalam kegiatannya mendidik anak, harus mematuhi 8 adab atau etika yang bisa dimaknai juga sebagai tugas kewajiban selaku pendidik yang telah diatur pedomannya berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Al-Ghazali -sebagaimana dikutip Al-Abrasy- menjelaskan tugas dan kewajiban pendidik sebagai berikut :

Pertama, sayang kepada murid sebagaimana sayangnya kepada anaknya sendiri dan berusah memberi pelajaran yang dapat membebaskannya dari api neraka. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah lebih mulia daripada tugas kedua orang tua. Pendidik adalah sebab bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, sedang orang tua hanyalah sebab bagi kelahiran anak ke dalam dunia fana.

Kedua, mengikuti akhlak dan keteladanan Nabi Muhamad SAW. Oleh karena itu, seorang pendidik tidak boleh mengharapkan gaji, upah atau ucapan terima kasih. Ia mengajar harus dengan niat beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ketiga, membimbing murid secara penuh, baik dalam cara belajar maupun dalam menentukan urutan pelajaran. Ia harus memulai pelajaran dari yang mudah dan berangsur meningkat kepada yang sukar. Ia harus menjelaskan juga pada murid bahwa menuntut ilmu itu tidak boleh bercampur dengan niat lain kecuali karena Allah semata-mata.

Keempat, menasehati murid agar senantiasa berakhlak baik. Ia harus memualai nasehat itu dari hanya sekedar sindiran serta dengan penuh kasih sayang, tidak dengan cara dengan terang-terangan, apalagi dengan kasar dan mengejek, yang malah akan membuat murid menjadi kebal atau keras kepala sehingga nasehat itu akan menjadi seumpama air dalam dalam keranjang menetes ke dalam pasir.

Kelima, menghindarkan diri dari sikap merendahkan ilmu-ilmu lain di hadapan anak, misalnya pendidik bahasa mengatakan ilmu fikih tidak penting, pendidik fikih mengatakan ilmu tafsir tidak perlu dan sebagainya.

Keenam, menjaga agar materi yang diajarkanya sesuai dengan tingkat kematangan dan daya tangkap muridnya. Ia tidak boleh memberikan pelajaran yang belum terjangkau oleh potensi inteljensi anak didiknya. Pelajaran yang tidak disesuaikan malah akan membuat anak benci, merasa terpaksa dan akhirnya malah meninggalkan pelajaran tersebut.

Ketujuh, memilihkan mata pelajaran yang sesuai untuk anak-anak yang kurang pandai atau bodoh. Ia tidak boleh menyebut-menyebut bahwa di belakang dari ilmu yang sedang diajarkanya masih banyak rahasia yang hanya ia sendiri mengetahuinya. Kadang-kadang pendidik, dengan sikap menyembunyikan semacam itu, ingin memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya sehingga orang banyak harus berpendidik kepadanya .

Kedelapan, mengamalkan ilmunya, serta perkataannya tidak boleh berlawanan dengan realitas zhahir perbuatannya. Sebab, jika demikian halnya maka murid-murid tidak akan hormat kepadanya.

Ada beberapa hal penting yang perlu ditampilkan ke permukaan dari teori Al-Ghazali mengenai pendidik tersebut. Di antaranya adalah:

1. Mengajar dengan kasih sayang

Al-Ghazali telah mengemukakan teorinya pada abad 9, sedang di Eropa di zaman reformasi Martin Luther pada abad 15 –jadi 6 abad kemudian– anak-anak masih didik dengan kasar dan bengis berdasrkan teori bahwa mereka, karena dosa asal, benar-benar berkodrat jahat. Juan Luis Vives (1492-1540) mulai mengemukakan bahwa dalam kegiatan pendidikan, anak harus mendapatkan perhatian. Tetapi pendidikan anak dengan kasih sayang baru dimulai di Eropa pada abad 18.

2. Memperhatikan tingkat kemampuan anak.

Pelajaran harus dimulai dari materi-materi yang sesuai dengan tingkat kemampuan pemahaman anak. Oleh karena itu pelajaran harus dimuali dari yang konkrit dan mudah, lalu secara berangsur meningkat kepada yang abstrak dan sukar.

3. Memberi nasehat dengan kiasan/ kasih sayang.

Dalam memberi nasehat kepada anak (murid) tidak boleh langsung atau secara belak-belakkan, tetapi harus dimulai dengan sindiran atau kiasan dan menyampaikanya secara sopan dan lembut. Nasehat yang blak-blakkan hanya diberikan pada saat-saat tertentu yang dipandang sangat diperlukan.

4. Berakhlak mulia.

Pendidik akan ditiru dan diteladani oleh murid. Oleh karena, itu ia harus berakhlak mulia, berbudi tinggi dan memiliki sikap toleransi (tasamuh) dalam menghadapi murid-muridnya.

5. Bersikap sebagai motivator.

Setiap murid harus diusahakan berhasil memperoleh ilmu. Untuk itu pendidik harus bersikap motivator, merangsang murid agar mencintai ilmu dan dengan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Kecintaan tersebut tidak boleh diarahkan kepada satu atau dua macam ilmu saja. Oleh karena itu ia tidak boleh mengatakan ilmu yang dimilikinya lebih penting dari pada ilmu yang dikuasai oleh pendidik yang lain.

6. Memperhatikan perbedaan individual.

Anak-anak, termasuk yang kembar, berbeda antar yang satu dengan yang lainnya (individual differences). Pendidik harus memperhatikanya dan menyesuaikan pelajaran dengan kondisi anak agar benar-benar dapat diserap serta difahaminya dengan baik.

Al-Ghazali sudah mengemukakan apa yang kemudian pada abad 20 dikenal dengan individual differences yang olehnya diistilahkan dengan al-furuq al-fardiyyah (perbedaan individual). Berdasarkan teorinya itu, ia menganjurkan supaya pelajaran disesuaikan dengan kondisi individual masing-masing anak. Mungkin boleh jadi beliau lah orang pertama yang memasukan teori Ilmu Jiwa ke dalam Ilmu Pendidikan yang kemudian berkembang amat pesat di belakangnya terutama mengenai keharusan menyesuaikan pelajaran dengan pribadi anak didik, baik dilihat dari segi tingkatan umur, kematangan jiwa dan kemampuan memahami maupun tingkat intelejensi.

E. Pendidik yang Ideal

Pendidik ideal adalah dambaan peserta didik. Pendidik ideal adalah sosok pendidik yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya. Pendidik ideal adalah pendidik yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok pendidik ideal yang diperlukan saat ini?

Pendidik ideal yang diperlukan saat ini adalah pertama, pendidik yang memahami benar akan profesinya. Profesi pendidik adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Salam, Sapa, Senyum, Syukur, dan Sabar).

Kedua, Pendidik yang ideal adalah pendidik yang memiliki sifat nabi Muhammad SAW yaitu, Sidiq, Tabliq, Amanah, dan Fathonah (STAF). Pendidik yang memiliki sikap STAF tersebut adalah pendidik yang mampu memberikan keteladanan dalam hidupnya karena memiliki akhlak yang mulia. Selalu berkata benar, mengajarkan kebaikan, dapat dipercaya, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Sifat STAF harus dimiliki oleh pendidik dalam mengajar anak didiknya karena memiliki motto iman, ilmu, dan amal. Memiliki iman yang kuat, menguasai ilmunya, dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain.

Terakhir, Pendidik yang ideal adalah pendidik yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan prilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Kelima kecerdasan itu adalah: kecerdasan intelektual, moral, sosial, emosional, dan motorik. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, Mengapa? Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses, segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan.

Selain kecerdasan intelektual dan moral, kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh pendidik ideal agar tidak egois, dan selalu memperdulikan orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Dia pun harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar pendidik tidak mudah marah, tersinggung, dan melecehkan orang lain. Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar pendidik mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal. Kecerdasan motorik harus senantiasa dilatih agar pendidik dapat menjadi kreatif dan berprestasi.

Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang telah dibebankan Allah kepada Rasul dan pengikutnya dan agar dapat menjadi sosok pendidik ideal sebagaimana yang digambarkan di atas, maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini :

1. Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagaimana dijelaskan Allah. Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan anak didiknya sebagai generasi rabbani yang senantiasa berorientasi mengusung jejak keagungan-Nya dan mencintai ajaran Islam dengan sepenuh raga, hati dan jiwa.

2. Seorang pendidik hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktifitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhaan Allah serta mewujudkan kebenaran.

3. Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.

4. Ketika menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.

5. Seorang pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan dan kajiannya.

6. Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran.

7. Seorang pendidik harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.

8. Seorang pendidik dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan memperlakukan anak didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologisnya.

9. Seorang pendidik dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap anak didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.

10. Seorang pendidik dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.

Dari karakteristik di atas dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW.

F. Beberapa Permasalahan Seputar Pendidik di Indonesia

Salah satu masalah Pendidikan Nasional saat ini adalah rendahnya pembinaan dan pendidikan moral yang diperoleh peserta didik, pendidikan lebih berorientasi pada kemampuan akademik supaya siswa sukses dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dan ke dunia kerja. Pendidikan belum mampu menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan akademik dan kemampuan non akademik secara proporsional. Padahal tujuan Pendidikan Nasional mengarahkan pendidikan untuk menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan akademik yang mumpuni sekaligus memiliki moral yang baik. Kesenjangan antara kedua kompetensi tersebut menandakan bahwa telah terjadi distorsi dalam proses pembelajaran baik di sekolah, rumah, dan masyarakat. Selama ini pelaku pendidik terutama guru dan orang tua bukan tidak melaksakan tugas, tetapi guru dan orang tua belum menjadi teladan bagi anak.

Proses pendidikan selama ini menghasilkan generasi yang kurang peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial, padahal hampir setiap kurikulum yang pernah digunakan dalam pendidikan di Indonesia selalu ada mata pelajaran yang berbasis moral/ahklak/karakter seperti Pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) Pendidikan Agama, dan Pendidikan Moral Pancasila (sekarang pendidikan kewarganegaraan). Tidak efektifnya muatan kurikulum tersebut mengangkat moral bangsa, dikarenakan proses pembelajaranya cenderung pada penanaman dogma-dogma penguasa dan pembelajaran hanya sekedar transfer teori tentang moral dari guru kepada peserta didik tanpa disertai pembiasaan dan keteladanan guru.

Peserta didik sering dihadapkan pada nilai-nilai yang bertentangan, pada suatu sisi siswa dididik untuk bertingkah laku yang baik, jujur, hormat, hemat, rajin, disiplin, sopan dan sebagainya, tetapi pada saat bersamaan, mereka dipertontonkan (oleh orangtua, lingkungan bahkan oleh gurunya sendiri), hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang mereka pelajari, misal hukuman atau sanksi pelanggaran tata tertib sekolah hanya berlaku untuk siswa sementara guru kebal hukum/sanksi, siswa dilarang melakukan kekerasan tetapi banyak guru melakukan kekerasan terhadap siswa, guru perokok melarang anak didiknya merokok dan masih banyak peristiwa yang merusak citra profesi guru. Hal-hal yang bertolak belakang inilah yang menyebabkan peserta didik kesulitan dalam mencari figur teladan yang baik (uswatun hasanah) di lingkungannya, termasuk sekolah.

Keteladanan dan pembiasaan orang tua di rumah dan guru di sekolah adalah metode yang paling efektif untuk menumbuhkan akhlaqul karimah pada anak-anak. Guru harus menjadi model dalam pembelajaran pendidikan moral, baik pada pendidikan moral kebangsaan (nasionalisme) maupun pendidikan moral agama (akhlak). Kegiatan pembiasaan dapat diintegrasikan pada proses pembelajaran di sekolah misalnya; gotong royong, bhakti sosial, shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan tersebut wajib diikuti oleh warga sekolah termasuk guru, tidak hanya sebagai “penganjur yang baik” kepada anak didiknya.

Salah satu penyebab rendahnya moral/akhlak generasi saat ini adalah rendahnya moral para guru dan orangtua. Kecenderungan tugas guru hanya mentransfer ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam ilmu pengetahuan tersebut, apalagi kondisi pembelajaran saat ini sangat berorientasi pada peroleh angka-angka sebagai standarisasi kualitas pendidikan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepribadian guru yang “kurang hidup“ saat ini, antara lain: 1) Proses rekrutmen guru yang mengedepankan kemampuan teknis (hardskills) tanpa memperhatikan kemampuan non teknis (softskills) seperti kepribadian (akhlaqul karimah), kemampuan memanajemen diri dan orang lain. Malahan tidak sedikit lembaga pendidikan merekrut guru dengan tidak memperhatikan kedua keterampilan tersebut. 2) Pendidikan dan Pelatihan guru yang menekankan pada kemampuan guru menguasai kurikulum, dan 3) Tidak dipahaminya profesi guru sebagai profesi panggilan hidup, artinya guru merupakan pekerjaan yang membantu mengembangkan orang lain dan sekaligus mengembangkan guru tersebut sebagai pribadi mumpuni.

G. Penutup

Dalam makalah ini telah dibicarakan : (1) hakekat pendidik, (2) siapa pendidik itu, (3) hakekat tugas pendidik, (4) bagaimana pendidik yang ideal menurut pandangan Islam dan sepintas beberapa permasalahan seputar dunia pendidikan dan guru di Indonesia. Secara sederhana dapat disimpulkan beberapa hal pokok di sini yakni bahwa guru ialah pendidik yang mengajar di sekolah atau madrasah. Islam mendudukkan pendidik pada martabat yang tinggi, setingkat di bawah martabat nabi dan rasul. Tugas pendidik ialah mendidik dengan cara mengajar, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain. Syarat pendidik ialah dewasa, sehat lahir batin, ahli (memiliki kompetensi) dan berkepribadian muslim. Sifat pendidik ialah semua sifat yang mendukung (melengkapi) syarat tersebut. Di antara sifat-sifat itu sifat kasih sayang (adil, sabar dan jujur), dedikasi tinggi (keikhlasan), dan profesionalitas (keluasan wawasan, cerdas dan terampil) amat diutamakan.

Dalam dunia pendidikan, pendidik merupakan faktor penting dan utama, karena pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik, terutama di sekolah atau madrasah, untuk mencapai kedewasaan peserta didik sehingga ia menjadi manusia yang paripurna dan mengetahui tugas-tugasnya sebagai manusia yakni hamba Allah (‘abd) dan khalifah fi al-ardh. Di sini dapat dipahami bahwa pendidik merupakan posisi sentral dalam dunia pendidikan, berarti di pundak pendidik lah perkembangan peserta didik dilanjutkan secara kontinyu, maka pendidik semestinya mengetahui makna pendidikan sejati agar peserta didik dapat berkembang dengan sempurna untuk mendapat kebahagian hidup dunia dan akhirat. Beranjak dari ini, sepatutnya pendidik menyadari terhadap hakekat tugas yang diemban untuk mencerdaskan dan menyucikan hati dan perilaku peserta didik, pada akhirnya tugas yang mulia tersebut apabila dilakukan dengan baik akan memperoleh kebahagiaan dalam diri seorang pendidik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2006).

Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta : Gema Insani Press, 1996).

Abuddin Nata, M.A. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Pendidik-Murid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001).

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994).

Al-Ghazali, I, Ihya Ulumuddin, (Mesir : Darul Ihya al-Kutub, t.t.).

Ali Audah, Konkordansi Qur’an : Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996).

Fathiyah Hasan Sulaiman Madzahibu fi Al Tarbiyah, Bahtsun fi Al Madzahibi Al Tarbawi ‘inda Al Ghazali. (Al Qahirah : Maktabah Nahdah, 1964).

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003).

Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993).

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002).

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001).

Y.B. Suparlan, Aliran-Aliran Baru dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984).

1 komentar: