Senin, 04 Juli 2011

Quo Vadis Pendidikan Karakter

Perbincangan mengenai pendidikan karakter di Indonesia belakangan semakin menghangat. Hal ini dilandasi realitas, betapa pendidikan yang kita jalani saat ini salah urus dan keliru orientasi.

Pendidikan kita belum mampu melahirkan pribadi-pribadi unggul, yang jujur, bertanggung jawab, berakhlak, mulia serta humanis. Arah pendidikan kita sengaja diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan industri atau pangsa kerja belaka. Meski demikian, dalam kenyataan justru berbicara lain. Hasil lulusan pendidikan kita kurang laku di pasaran. Buktinya, jumlah pengangguran terdidik jauh lebih besar ketimbang pengangguran tak terdidik.

Kekeliruan orientasi ini menjadi kendala bagi upaya mewujudkan pembangunan karakter bangsa (character building) melalui pendidikan. Sejak bertahun-tahun lamanya, pendidikan kita belum memberikan proporsi yang besar bagi bersemainya nilai-nilai kebajikan (virtues). Pendidikan kita hanya melahirkan ahli matematika, biologi, ekonomi, teknologi, dan sebagainya, tetapi minim etika dan integritas.

Hal itu misalnya bisa dibaca dengan adanya sekolah menengah kejuruan (SMK) yang belakangan kerap diiklankan di televisi. SMK sering diplesetkan sebagai sekolah mencetak kuli. Bagaimana tidak, kurikulum yang dipakai pada jenjang ini sengaja menyiapkan para pekerja di berbagai sektor perusahaan, dengan kata lain menjadi kuli. Pada level ini, para siswa ditempa tiga tahun untuk kemudian siap dijadikan "sekrup-sekrup" para kapitalis.

Padahal, semestinya pendidikan dapat menumbuhkan rasa keingintahuan intelektual (intellectual curiosity) yang tinggi. Pendidikan idealnya membuat orang semakin haus akan ilmu pengetahuan. Belajar dan terus belajar karena pada dasarnya ilmu tak akan pernah habis meski digali terus-menerus. Namun, sistem pendidikan kita justru mengerutkan semangat itu, untuk kemudian dipaksa menggadaikan diri demi menjadi pekerja rendahan.

Pendidikan karakter menemukan signikansinya di tengah sistem pendidikan kita yang salah urus dan keliru orientasi tersebut. Pendidikan karakter berupaya mengembalikan hakikat pendidikan sesuai khittah-nya. Peserta didik diberi keleluasan menjadi dirinya sendiri, berkepribadian unggul, serta mampu memberi kemanfaatan bagi orang lain sebanyak mungkin. Selain itu, pendidikan karakter juga sebagai jawaban atas kemerosotan moral, mental, spiritual bangsa yang begitu hebat yang sulit dibendung lagi.

Jalan terjal Upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia tampaknya akan menemui jalan terjal nan berliku. Meski wacana ini telah lama digulirkan, namun belum muncul solusi inovatif dan aplikatif. Wacana-wacana yang bergulir masih berkutat pada tahap idealisme-teoritis, belum menyentuh tataran praktis.

Dari segi filosofi tujuan pendidikan nasional, tampak Indonesia belum berhasil merumuskan model pendidikan yang berkelanjutan, mampu merespons gemuruh globalisasi dan modernisasi, serta mampu membentengi peserta didik dari dampak buruk globalisasi. Sialnya, setiap pergantian menteri, berganti pula kebijakan pendidikan nasional sehingga membuat pendidikan kita tak memiliki tujuan pasti.

Sistem pendidikan yang kita jalani pun hanya terpaku pada aktivitas guru, dosen, dan pendidik. Sistem demikian hanya membatasi kreativitas siswa karena menempatkan siswa pada posisi lemah, perlu dididik, tak tahu apa-apa, dan bergantung pada figur guru. Sistem pendidikan yang indoktrinatif ini-yang dikemas dalam ungkapan -guru wajib digugu dan ditiru-memosisikan siswa seperti burung beo yang harus tunduk dan patuh apa pun "sabda" sang guru.

Sekolah alternatif

Di tengah kerumitan pendidikan kita, sebetulnya banyak muncul ide pendidikan yang kreatif dan inovatif dari sekelompok masyarakat. Kelompok-kelompok ini tak hanya pandai mengkritik, tetapi menawarkan solusi konkret. Sebut saja kemunculan sekolah alternatif Qoryah Tayyibah (QT), Kalibening, Salatiga, yang digagas pria bernama Bahruddin.

Model pendidikan yang dipakai sekolah ini cukup unik dan revolusioner. Di sini siswa tak dibebani kurikulum sebagaimana di sekolah formal. Siswa menentukan sendiri ingin belajar apa, kemudian mencari materinya sendiri, juga mencari teman belajar pun sendirian.

Tegasnya, siswa diberi kebebasan meminati bidang apa dan mengusahakannya sendiri. Bahkan, kedudukan guru di sekolah ini nyaris tak dibutuhkan karena perannya yang kecil. Sekolah ini juga tak menerbitkan ijazah karena ijazah yang sesungguhnya adalah kompetensi yang dirasakan sendiri oleh siswa.

Sekolah ini punya laboratorium belajar sendiri yakni kehidupan nyata. Misalnya, saat petani setempat kebingungan menangani masalah hama sawah, maka siswa QT berduyun-duyun ikut memecahkan persolan itu. Kemudian diciptakanlah alat pengusir hama yang langsung bisa dipakai. Atau misalnya ada pedagang makanan yang kesulitan membuat inovasi makanan, maka siswa QT "turun gunung" membantu. Singkatnya, sebagaimana moto Buya Syafii "Alam terkembang menjadi guru". Karena itu, sekolah ini tak memiliki gedung tersendiri, melainkan terintegrasi dengan masyarakat.

Perpustakaan di sekolah ini yakni jaringan internet yang bisa dinikmati 24 jam yang langsung terhubung ke jurnal-jurnal ilmiah internasional dan perpustakaan virtual seluruh dunia. Internet inilah yang menyediakan miliaran informasi dan referensi untuk menunjang keilmuan siswa.

Berbicara karya, prestasi anak-anak QT sungguh luar biasa. Di sekolah ini, anak-anak umur belasan tahun sudah bisa buat film sendiri. Setiap akhir pekan atau akhir bulan ada pemutaran film untuk ditonton ramai-ramai. Tak hanya itu, buku-buku dari beragam disiplin ilmu karya anak-anak QT baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris telah banyak diterbitkan. Padahal, umur mereka rata- rata masih belasan tahun.

Inilah pendidikan karakter yang telah lama kita idam-idamkan. Pendidikan karakter tak melulu meliputi serangkaian teori-kebanyakan diadopsi dari Barat-yang sering kali tak sejalan dengan budaya lokal. Pendidikan karakter haruslah bermuara pada potensi lokal untuk kemudian menjalar dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa.

MUHAMMAD SAFRODIN Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar