BEBERAPA KIAT MENGHADAPI BULAN SUCI RAMADHAN
Agar Puasa Kita Lebih Berwarna
Bismillahirrohman nirrohim
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an
kepada Rasul-Nya Muhammad Saw. di bulan
Ramadhan, sebagai petunjuk (al-huda) bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan
yang bathil (al-furqon).
Alhamdulillah, tamu agung Ramadhan
sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Mungkinkah ini Ramadhan
terakhir kita sebelum menghadap kepada Allah Yang Maha Kuasa. Betapa saudara
kita yang pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat
tarawih dan Iedul Fithri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita
dan sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani
hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?
Dalam dua buah hadits, Rasulullah Saw. menggambarkan
dua golongan kondisi manusia yang saling bertolak belakang dalam menunaikan
ibadah berpuasa dan melewati bulan suci Ramadhan ini. Golongan pertama
digambarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya, yaitu :
مَنَ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang
siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala,
maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Golongan kedua digambarkan oleh beliau Saw.
dalam sabdanya, yaitu :
رُبَّ
صَائِمٍ حَظَّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ
“Betapa banyak orang
berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah).
Pertanyaannya, golongan manakah kita ini ? apakah
termasuk golongan yang pertama atau yang kedua. Tentunya sangat tergantung amal
dan usaha kita dan juga petunjuk, taufik dan inayah dari Allah Swt.
Bulan Ramadhan merupakan momentum agung
dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu even sebagai media
kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia yang senantiasa
berharap ampunan dan rahmat Allah Swt. Karena itu, agar kita benar-benar
merasakan indah dan nikmatnya bulan suci ini, seyogyanya kita memahami betul,
kiat-kiat apa saja yang harus kita persiapkan dalam menyongsong musim limpahan rahmat
dan kebaikan ini. Adapun kiat-kiat yang telah banyak diajarkan oleh para ulama
dan guru-guru kita itu, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Menunaikan Ibadah Puasa
Berdasarkan Ilmunya.
Dalam perspektif ajaran Islam, ilmu
pengetahuan adalah sesuatu yang sangat berharga yang menentukan kualitas
seseorang atau suatu bangsa. Suatu bangsa akan menjadi bangsa yang maju,
modern, dan berperadaban, manakala masyarakatnya mencintai ilmu, antara lain,
ditandai dengan kebiasaan bertanya dan menulis.
Orang yang diberi berkesempatan oleh Allah
untuk mencari ilmu, tetapi tidak mau memanfaatkannya, sehingga ia tetap berada
dalam kebodohannya, maka dianggap orang yang paling akan merugi kelak di kemudian
hari. Terlebih lagi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ibadah-ibadah
(khusus) yang kita lakukan dalam rangka melaksanakan kewajiban kita pada Allah
Swt. seperti shalat, puasa, zakat dan ibadah haji. Karena ibadahnya orang yang
bodoh (sama sekali tidak memiliki pengetahuan terhadap apa yang dikerjakannya)
bukan saja akan ditolak oleh Allah Swt. tetapi juga dianggap sebagai penyakit
agama yang sangat berbahaya.
Apalagi kesalahan yang dilakukannya secara
sadar dan sengaja, dan disebarkan kepada orang lain. Misalnya, khutbah Jumat
yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan mengatasnamakan persamaan gender
dan emansipasi, dan bacaan dalam shalat yang disertai terjemahannya dengan
mengatasnamakan untuk kekhusyukan dan kesyahduan, mencerminkan kebodohan para
pelakunya terhadap kegiatan ibadah khusus tersebut. Maka tugas kita dalam
bidang ibadah adalah sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami mena'ati)
dan ittiba' (mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Saw).
Dalam hal shalat misalnya, Rasulullah Saw.bersabda:
صَلُّوْا
كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
''Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat". (HR. Bukhari)
Jika seseorang atau sekelompok orang
mengerjakan ibadah khusus seperti shalat, menyalahi tata cara (kaifiyat) yang
telah diajarkan dan dicontohkan Rasulullah Saw, para sahabat Nabi yang mulia,
dan para Ulama Ahlussunnah yang terpercaya keilmuannya, maka dianggap telah melakukan
perusakan dan penyelewengan dalam agama, sebagaimana dinyatakan dalam oleh Bukhari dan
Muslim dari Siti Aisyah r.a. (istri Rasulullah Saw), bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda :
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
''Barangsiapa yang
membuat hal-hal yang baru dalam urusan ibadahku ini, maka hukumnya
tertolak".
Begitu juga dalam menunaikan ibadah puasa,
maka ilmu tentang 'seluk beluk' puasa harus kita pelajari dan pahami terlebih
dahulu. Sahabat Nabi Mu’adz bin Jabal r.a. pernah mengatakan:
اَلْعِلْمُ
إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin
amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Lihat kitab Qawaidul
Muhimmah Fii al Amru bi al- Ma’ruf wan Nahyu ‘an al-Mungkar, karya Dr. Hamud
bin Ahmad Ar-Rahily, 1/15)
Ulama di bidang hadits terkemuka, Al-Imam
Al-Bukhari pernah berkata, “Al-‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu itu Sebelum
Berkata dan Berbuat)”.
Perkataan ini merupakan kesimpulan yang
beliau ambil dari firman Allah Swt. yaitu:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka
ilmuilah (ketahuilah) ! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad/47 : 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan
‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah
perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah
amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Imam Ibnul Munir rahimahullah
berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al-Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya
suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak
teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu
didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Sedangkan
niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Lihat kitab Fathul Bari Syarah Shahih
Bukhari, karya Ibnu Hajar Al-Ashqalani, 1/108)
"Saha jalma-saha jalma ibadah teu
jeung elmuna, eta tangtu-eta tangtu amalna moal ditarima", uangkapan orang
tua kita dengan bahasa sunda ini ternyata sangat dalam maknanya. Dengan
pengertian 'tidak ada amal tanpa ilmu'. Namun sangat kita sayangkan, jika kita
cermati dengan jujur, hampir semua tatacara ibadah masyarakat kita –khususnya masyarakat
awwam- termasuk di dalamnya ibadah puasa Ramadhan dari hulu sampai ke hilir,
sarat dengan berbagai kesalahan yang sudah mendarang-mendaging menjadi fenomena
setiap bulan Ramadhan tiba.
Contoh dari kekeliruan itu misalnya jika
tiba waktu shalat tarawih, bacaan fatihahnya cepat sekali, bahkan seringkali
satu tarikan napas, kemudian bacaan 'amin'nya kencang dan teriak keras sekali.
Jika 'amin'nya tidak kencang dan teriak keras, tidak dianggap shalat tarawih
namanya, tetapi dianggap shalat biasa. Tidak lucu kalau tarawih 'amin'nya
lembut seperti shalat biasa. Pada gilirannya, shalat tarawih itu identik dengan
shalat main-main dan senang-senang. Sampai ada anak remaja yang berkata kepada
temannya: "kamu mah tarawih kaya shalat aja, serius amat...."
Maksudnya koq tarawihnya ga sambil bercanda… (subhanallah).
Padahal shalat tarawih merupakan
ibadah yang sangat besar pahalanya.
Pahala akan kita dapatkan, makanala dalam pelaksanaannya kita mengikuti dan
mencontoh tuntunan Rasulullah Saw, bukan 'malah' menyalahi atau menyelesihinya.
Karena tidak pernah ada keterangan dari beliau Saw. yang menyuruh para sahabatnya
yang mulia melaksankan tarawih seperti itu. Oleh karena itu, tidak ada jalan
yang paling selamat dalam beribadah kepada Allah selain kembali kepada ajaran, tuntunan
dan contoh dari Rasulullah Saw. para sahabat rahimakumullah maupun
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (para ulama Ahlussunnah).
Di sinilah haad (batas) agama Islam yang
tidak boleh diusik dan ditoleransi oleh unsur luar manapun yang menyimpang dari
risalah (agama) Allah Swt. dan Rasul-Nya. Semoga kita semua terus-menerus mau
belajar menambah ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Agama (Ilmu Syari'at), sehingga
kita terhindar dari pekerjaan dan ibadah yang dianggap sia-sia dan ditolak oleh
Allah Swt. dan membahayakan kita, keluarga kita, dan kehidupan kaum Muslimin-muslimat
secara luas.
2.
Bertawakal kepada
Allah Swt.
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah
memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat, salah satu indikasi taufik Allah Swt.
kepada hamba-Nya adalah pertolongan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Dan
sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya
kepada kemampuan diri sendiri.
Maka menghadirkan rasa tawakal kepada Allah
Swt. adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong
musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan
tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan
taufik dari Allah Swt. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah Swt. agar
dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan dan supaya Allah Swt. berkenan membantu
kita dalam memperbanyak amal sholeh di dalamnya.
Ini semua merupakan amalan yang paling
agung yang dapat mendatangkan taufik dari Allah Swt. dalam menjalani bulan suci
Ramadhan. Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah Swt. ketika
akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai
makhluk yang lemah:
وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا
“Dan manusia dijadikan
bersifat lemah.”(Q.S.
An-Nisaa/4:28)
Maka jika kita bertawakal kepada Allah dan
memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.
Di saat mengerjakan amalan ibadah, hal yang
perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan ittiba' (mengikuti
petunjuk Rasulullah Swt. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya
suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di
antaranya: Firman Allah Swt.
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidaklah diperintahkan
melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan
kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah/98 : 5)
Dan sabda Rasulullah Saw.
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ
“Barang siapa yang
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan
itu akan tertolak.” (HR. Muslim)
Demikian pula setelah usai beramal, kita
membutuhkan banyak istigfar atas kurang sempurnanya dalam beramal, dan juga
butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah
memberinya taufik sehingga bisa beramal.
Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istighfar,
maka dengan izin Allah Swt. amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal ini perlu diperhatikan betul-betul,
karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai
amal sekalipun. Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan:
“Hai fulan, kau telah berbuat begini dan
begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan suci… Kau
telah mengeluarkan banyak shadaqah/infak dan telah menunaikan amalan ini dan
itu dengan sempurna…”
Dan terus menghias-hiasinya terhadap
seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan
takjub kepada diri sendiri) yang mengantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga
akan berakibat terkikisnya rasa tawadhu' (rasa rendah diri) dan rasa
tunduk dan takut kita kepada Allah Swt.
Seharusnya kita tidak terjebak dalam
perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa
begini dan begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan
kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya. Maka berhati-hatilah
dengan tipu daya setan yang telah bersumpah dan Allah Swt. abadikan dalam
firman-Nya:
قَالَ
فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأقْعُدَنَّ لَهمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ
وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab:
"Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, Kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri
mereka.
(QS. Al-A’raf/7 : 16-17)
3.
Bertaubat Sebelum
Ramadhan Tiba
Banyak sekali keterangan yang shohih dari
agama (dalil) yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya:
firman Allah Swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً
نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan
kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim/66
: 8)
Kita diperintahkan untuk senantiasa
bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari
dosa-dosa. Rasul Saw. pernah mengingatkan dalam sebuah sabdanya:
كُلَّ بَنىِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرَ
الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap
keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa
adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Ketahuilah, bahwa dosa hanya akan
mengasingkan seorang hamba dari taufik dan hidayah Allah Swt., sehingga dia
tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari
segudang dampak buruk dosa dan maksiat. Namun apabila ternyata seorang hamba
mau bertaubat kepada Allah Swt. maka prahara itu akan sirna dan Allah akan
menganugerahi taufik, inayah dan hidayah kembali kepadanya.
Adapun hakikat dari Taubat Nasuha atau
taubat yang sebenar-benarnya, adalah: bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis
dosa. Imam Nawawi rahimahullah menjabarkan taubat yang sempurna adalah
taubat yang memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
-
Meninggalkan maksiat.
-
Menyesali kemaksiatan yang telah ia
perbuat.
-
Bertekad bulat untuk tidak mengulangi
maksiat itu selama-lamanya.
-
Seandainya maksiat itu berkaitan
dengan hak orang lain (haqqul adamiy), maka dia harus mengembalikan hak
itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat kitab Riyaadhush Shaalihiin,
karya Imam an-Nawawi, hal. 37-38).
Ada suatu kesalahan
yang harus diwaspadai, sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan
bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja,
setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya
para artis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu
kembali ‘pamer aurat’ sehabis Hari Raya Iedul Fithri (Na'udzubillah).
Seharusnya, tekad bulat untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa dan melepaskan diri dari maksiat, harus tetap menyala
dan berkobar baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.
4.
Membentengi Puasa
Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Kesempurnaan Puasa dan Keutuhan
Pahalanya.
Sisi lain yang harus mendapatkan perhatian
kita adalah bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor
yang dapat mengurangi kesempurnaan puasa dan keutuhan pahalanya. Seperti
menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini mengandung konsekueansi yang sangat berkategori
bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.
Rasulullah Saw. mengingatkan kita melalui sabdanya:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ
وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ
فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang
tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak
akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman. (Maksudnya: Allah tidak
membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)
Orang yang menahan lisannya dari ghibah
(berkata dusta) dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika menunaikan
puasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik
daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah,
namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi. Diakui atau tidak, inilah
realita mayoritas masyarakat; kita yang ketaatannya kepada Allah Swt. bercampur
dengan kemaksiatan.
5.
Memprioritaskan
Amalan yang Wajib
Hendaknya orang yang berpuasa itu
memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh
Allah Swt. adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah Saw. pernah menjelaskan
dalam suatu hadits qudsi, yaitu:
وَمَا
تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan
tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih
Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari).
Di antara aktivitas yang paling wajib
dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi
kaum pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Kemuliaan
ini telah diuraikan dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ صَلَّى ِللهِ
أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ اْلأُولَى كُتِبَتْ
لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ
“Barang
siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan
selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’ bebas
dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi)
Seandainya kita termasuk orang-orang yang
amalan sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha
untuk memelihara shalat lima
waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha
sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya
menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah
dan taqarrub yang paling agung kepada Allah Azza wa Jalla.
Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita
dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan
hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak
menjaga shalat lima
waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan
dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih. Ini jelas-jelas merupakan
suatu kekeliruan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban.
Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi shalat tarawih satu
malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun
berdampak menyia-nyiakan shalat lima
waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah mata shalat tarawih, akan tetapi
seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian
khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju
amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih. (Pembahasan secara
tuntas hal ihwal Shalat Tarawih, apakah
bilangannya yang 11 raka'at atau yang 23 raka'at dan atau bahkan ada yang 36
raka'at, telah dibahas dengan disertai dalil-dalilnya dari para ulama di buku Mutiara
Ramadhan, karya Abd. Wahid Al-Faqier, 2010).
6.
Berusaha untuk
Mendapatkan Lailatul Qadar
Di bulan Ramadhan yang penuh berkah kita
harus berusaha sekuat tenaga untuk bisa meraih lailatul qadar. Betapa informasi dari Allah Swt. dan
Rasul-Nya juga para sahabat yang mulia—yang
sampai ke pendengaran kita—, terdapat segunung keutamaan yang dimiliki
malam mulia ini, sepantasnya kita memanfaatkan kesempatan emas ini untuk
meraihnya.
Di malam ke berapakah lailatul qadar akan
jatuh? Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan
Ramadhan. Demikian sabda Rasulullah Saw. menjelaskan. Kemudian Rasulullah Saw.
menambahkan bahwa lailatul qadar terdapat di malam-malam yang ganjil.
Tapi di malam manakah di antara malam-malam
yang ganjil itu ? Apakah di malam 21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam
29. Untuk mendapatkan jawaban yang tuntas berikut penjelasan-penjelasan dari
para ulama tentang masalah tersebut, kita akan mendapatkannya di buku Mutiara
Ramadhan sebagaimana telah disebutkan di atas.
7.
Menjadikan Ramadhan
Sebagai Madrasah
Bulan suci Ramadhan ibarat madrasah
keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan
harapan setelah kita menjadi alumni madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah
akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada Allah Swt. Allah
Subhanahu wata'ala memerintahkan:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan
sembahlah Rabbmu sampai keyakinan (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr/15 :
99)
Ketika seorang ulama besar bernama al-Hasan
al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,
إِنَّ
اللهَ لَمْ يَجْعَلْ لِعَمَلِ الْمُؤْمِنِ أَجَلاً دُوْنَ الْمَوْتِ
“Sesungguhnya Allah
tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”
Maka jangan sampai amal ibadah kita turut
berakhir dengan berakhirnya Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat
lima waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an,
doa dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan
suci ini, kita budayakan dan tingkatkan di luar bulan suci Ramadhan. Perhatikan
hadits Nabi Saw. di bawah ini :
كاَنَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ, وَكَانَ
أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan, dan beliau
lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang ulama terdahulu pernah ditanya
tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan
suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun
menjawab:
بِئْسَ
الْقَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ إِلاَّ فِي رَمَضَانَ
“Alangkah buruknya
tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!”
Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita
di bulan Ramadhan dan tanda terbesar keberhasilan meraih lailatul qadar adalah:
berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.
Wallahu 'alam bishshowwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar