MUQADDIMAH
Segala
puji milik Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam selalu
terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada
para kerabat dan para shahabat beliau seluruhnya, wa ba’du;
Sesungguhnya
bulan Allah bulan al Muharram adalah bulan yang agung dan penuh berkah, ia
adalah bulan yang pertama dalam setahun dan salah satu dari bulan-bulan suci
yang mana Allah berfirman tentangnya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي
كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Artinya:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu
menzhalimi diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. at Taubah: 36)
Diriwayatkan
dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Artinya:
“Satu tahun ada 12 bulan darinya ada 4 bulan suci: 3 bulan secara berurutan
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab Mudhar antara bulan Jumada dan
bulan Sya’ban”. Hadits riwayat Bukhari, no.2958.
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya:
“…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
Maksudnya
adalah jangan berbuat zhalim di bulan-bulan yang suci ini karena berbuat zhalim
di dalamnya lebih ditekankan dan lebih ditegaskan akan dosa dari bulan-bulan
lainnya.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya:
“…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
“Maksudnya
jangan berbuat zhalim di setiap bulan darinya, tetapi dikhususkan darinya 4
bulan maka Allah menjadikannya (4 bulan tadi) suci, mengagungkan
kehormatan-kehormatannya dan menjadikan dosa di dalamnya berlipat dan amal
shalih pahalanya di dalamnya lebih besar (dibanding dengan bulan-bulan
lainnya).
Qatadah
rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat;
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya
berbuat zhalim di bulan-bulan suci lebih besar kesalahan dan dosanya daripada
berbuat zhalim di selainnya, walaupun suatu kezhaliman apapun bentuknya
merupakan dosa besar tetapi Allah Ta’ala mengagungkan suatu perkara sesuai
dengan kehendaknya”.
Beliau
juga berkata: “Sesungguhnya Allah memilih yang suci dari makhluqnya; seperti Ia
memilih para malaikat sebagai utusan dan memilih dari manusia sebagai rasul,
memilih dari firman-Nya untuk mengingat-Nya, memilih bumi dijadikan sebagai
masjid-masjid, memilih dari bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang
suci, memilih dari hari-hari hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam
qadar, maka agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya
beberapa perkara karena pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi
orang-orang yang diberi kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir Ibnu
katsir, tafsir surat at Taubah ayat 36).
Keutamaan
memperbanyak puasa sunnah pada waktu bulan Muharram
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ.
(رواه مسلم:(
Artinya:
“Puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa bulan Allah
yaitu bulan Muharram.” (Hadits riwayat Muslim, no. 1982)
Sabda
beliau: ”شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini kepada Allah Ta’ala
sebagai penggandengan pengagungan, Al Qari rahimahullah berkata: “Bahwa
maksudnya adalah seluruh hari pada bulan Muharram.”
Tetapi
telah shahih riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan, maka hadits ini
dianggap sebagai pemotivasi untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan
untuk berpuasa satu bulan penuh.
Dan telah
benar riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin belum diwahyukan kepada
beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum
bisa mengerjakan puasa tersebut… (lihat kitab Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi
terhadap kitab Shahih Muslim)
Allah
memilih sesuatu dengan kehendak-Nya baik dari zaman atau tempat
Al-‘Izz
Bin Abdus Salam rahimahullah berkata: “Dan pengutamaan antara tempat dan zaman,
ada dua macam, yang pertama: berdasarkan dunia… dan yang kedua: pengutamaan
berdasarkan agama, hal ini kembali kepada bahwa Allah Ta’ala memberikan
kemurahan di dalamnya kepada hamba-Nya dengan mengutamakan pahala orang-orang
yang mengerjakannya, seperti pengutamaan pahala puasa Ramadhan atas puasa
seluruh bulan, dan demikian pula hari ‘Asyura-’… maka kemuliaan di dalamnya
kembali kepada kemurahan dan kebaikan Allah ta’ala kepada para hamba-Nya…
(lihat kitab Qawa’idul Ahkam 1/37)
‘ASYURA-’
DITILIK DARI SEJARAH
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ
تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا
يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى
قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. (رواه
البخاري:(
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ketika Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di kota Madinah, beliaupun melihat
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura-’, maka beliau bertanya: “Ada apa
dengan hari ini?”, mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik, hari dimana
Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa
pada hari itu”, Nabipun bersabda: “Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti)
Musa daripada kalian, beliaupun berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin )
untuk berpuasa”. (Hadits riwayat Imam Bukhari, no.1865)
Maksud
sabda beliau: هَذَا يَوْمٌ صَالِح,
didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ
وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ.
(رواه مسلم(
Artinya:
“Ini adalah hari yang agung, Allah Ta’ala telah menyelamatkan pada hari ini
Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya,
maka Nabi Musapun ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka
kamipun berpuasa pada hari ini.”
Dan di
riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ
فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
Artinya:
“Ini adalah hari dimana berlabuhnya kapal (Nabi Nuh ‘alaihissalam)diatas bukit
Judi (Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan berpuasauMesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh ‘alaihissalam
dan Musa karenanya sebagai tanda syukur.”
Hadits :
“وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk berpuasa karenanya), di dalam riwayat al Bukhari
rahimahullah juga terdapat lafadz:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ
أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا. (رواه البخاري(
Artinya:
“Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada para
shahabatnya: “Kalian lebih berhak untuk mengikuti Nabi Musa ‘alaihissalam
daripada mereka”. (Hadits riwayat Bukhari)
Dan berpuasa
pada hari ‘Asyura-’ telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman
kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah
senantiasa berpuasa pada hari itu…”,
Al
Qurthuby rahimahullah berkata: “Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan
dalam puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim
‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah sebelum hijrah
ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang
Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebab dan
merekapun menjawabnya sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam hadits diatas.
Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi
mereka di dalam peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah
diriwayatkan dalam hadits Abu Musa ‘alaihissalam, beliau bersabda:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا فَصُومُوهُ
أَنْتُمْ. رواه البخاري
Artinya:
“Hari ‘Asyura-’ dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka
hendaklah kalian berpuasa pada hari itu”.
Di dalam
riwayat Imam Muslim rahimahullah:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ
وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم
Artinya:
“Hari ‘Asyura-’ adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka
menjadikannya hari raya”.
Di dalam
riwayat yang lain milik beliau juga:
كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَتَّخِذُونَهُ
عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ وَشَارَتَهُمْ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه مسلم
Artinya:
“Penduduk Khaibar (dan mereka pada waktu itu orang-orang Yahudi-pent) berpuasa
pada hari ‘asyura-’ dan selalu menjadikannya sebagai hari raya, mereka
menghiasi wanita-wanita mereka dengan emas dan perhiasan mereka, lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka berpuasalah kalian pada
hari itu”. (Hadits riwayat Muslim)
Dan yang
terlihat dari perintah untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi
orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya
tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar
rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari)
KEUTAMAAN
BERPUASA HARI ‘ASYURA-’
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَا رَأَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ
فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا
الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ . (رواه البخاري
(
Artinya: “Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Tidak pernah Aku melihat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat puasa pada suatu hari, ia
utamakan dari yang lainnya kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura-’ dan bulan ini
yakni bulan Ramadhan”. (Hadits riwayat Bukhari, no. 1867)
Dan Makna
“yataharra” adalah bertekad untuk berpuasa pada hari itu agar
mendapatkan ganjarannya dan bersemangat untuk mengerjakannya.
Dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. (رواه مسلم :(
Artinya: “Berpuasa pada
hari ‘Asyura-’ aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dosa) tahun yang
sebelumnya”. (Hadits riwayat Muslim, no.1976)
Ini
adalah dari kemuliaan Allah bagi kita dengan Ia berikan kepada kita berpuasa
satu hari sebagai penghapusan dosa-dosa selama satu tahun penuh, dan Allah
Ta’ala Maha mempunyai kemuliaan yang sangat agung.
HARI
APAKAH HARI ‘ASYURA-’?
An Nawawi
rahimahullah berkata: “Kata ‘Asyura-’ dan Tasu’a-’ adalah dua nama yang
dipanjangkan, inilah yang masyhur di kitab-kitab bahasa. Para shahabat kami
berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari ke sepuluh dari bulan al Muharram dan Tasu’a-’
adalah hari kesembilan darinya… begitulah pendapat jumhur ulama … dan begitulah
maksud yang terlihat jelas dari beberapa hadits dan ketentuan dari muthlak lafadznya,
dan dialah yang dikenal oleh para ahli bahasa. (lihat kitab Majmu’ karya an
Nawawi)
Ia adalah
istilah yang ada dalam Islam tidak dikenal zaman jahiliyah. (lihat kitab
Kasysyaful Qina’ juz:2, puasa muharram ).
Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari kesepuluh dari bulan Al
Muharram, dan ini adalah pendapat Sa’id Bin Musayyib dan Hasan rahimahumallah,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ
عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ. (رواه الترمذي(
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa hari
‘Asyura-’ hari kesepuluh dari bulan Muharram”. Hadits riwayat Tirmidzi, beliau
berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Dianjurkan
puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قال: حِينَ
صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ
الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا
الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه مسلم:(
Artinya:
“Abdullah Bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata: “Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dan
memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa pada hari itu, mereka berkata: “Wahai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya ini adalah hari yang
diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Apabila datang tahun depan, jika Allah menghendaki maka
kita akan berpuasa pada hari kesembilan”, beliau (Abdullah Bin Abbas)
radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dan tidaklah datang tahun depan hingga datangnya
wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Hadits riwayat Muslim, no.
1916)
Imam
Syafi’ie rahimahullah , para shahabatnya, Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah
serta yang lainnya berkata: “Dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan
kesepuluh keduanya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa
pada hari kesepuluh dan telah berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Dengan
penjelasan diatas maka berpuasa pada hari ‘Asyura-’ ada beberapa tingkatan:
“Yang paling rendah adalah berpuasa 1 hari (kesepuluh saja), diatasnya berpuasa
pada hari kesembilan bersamanya dan tiap kali memperbanyak berpuasa pada bulan
Muharram maka itu yang lebih utama dan lebih baik.
HIKMAT
DARI PENGANJURAN BERPUASA PADA HARI TASU’A-’
An Nawawi
rahimahullah berkata: “Para ulama dari sahabat kami dan yang lainnya
menyebutkan hikmah di dalam penganjuran puasa hari Tasu’a-’, ada beberapa
macam:
1. Bahwa maksud darinya adalah menyelisihi orang-orang Yahudi ketika
mereka hanya mencukupkan hanya hari kesepuluh.
2. Bahwa maksud darinya adalah menyambung hari ‘Asyura-’ dengan
berpuasa (pada hari sebelumnya), sebagaimana dilarang untuk berpuasa pada hari
jum’at secara sendirian, kedua pendapat ini disebutkan oleh al Khaththabi dan
yang lainnya.
3. Benar-benar menjaga untuk berpuasa pada hari kesepuluh, karena
ditakutkan awal bulan terlalu kecil atau terjadi kesalahan (dalam penglihatan
awal bulan-pent), maka hari kesembilan di dalam jumlah sebenarnya hari
kesepuluh ketika itu.
4. Dan jawaban yang paling kuat adalah menyelisihi ahli kitab,
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam telah melarang untuk menyerupakan diri dengan ahli Kitab di dalam
hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:
لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
Artinya:
“Sungguh jika aku masih hidup pada tahun depan maka sungguh aku akan
benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.” (Lihat kitab al-Fatawa al-Kubra juz
6, saddudz dzra-I’ al Mufdiyah)
HUKUM
BERPUASA HARI ‘ASYURA-’ SAJA:
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ sebagai penghapus
dosa selama 1 tahun dan tidak dimakruhkan untuk mengkhususkannya dengan
berpuasa… (al Fatawa al Kubra juz 5). Dan di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya
Ibnu Hajar al Haitamy rahimahullah disebutkan: dan hari ‘Asyura-’ tidak mengapa
berpuasa pada hari itu saja… (lihat juz3, bab puasa sunnah).
BOLEH
BERPUASA PADA HARI ‘ASYURA-’ WALAUPUN HARI ITU HARI SABTU ATAU JUM’AT
Telah ada
riwayat tentang larangan berpuasa pada hari Jum’at secara tersendiri dan larangan
tentang berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, tetapi hilang
kemakruhannya jika ia berpuasa pada dua hari ini dengan menggambungkan satu
hari ke setiap dari keduanya atau bertepatan dengan kebiasaan yang
disyari’atkan seperti berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari atau berpuasa sebagai
nadzar atau puasa qadha-’ atau puasa yang dianjurkan oleh agama seperti puasa
hari Arafah dan hari ‘Asyura-’… (lihat kitab Tuhfatul Muhtaj, juz 3 bab puasa
sunnah dan kitab Musykilul Aatsar, juz 2, bab puasa hari Sabtu).
Al
Bauhuti rahimahullah berkata: “Dan dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari
Sabtu disebabkan oleh hadits Abdullah Bin Busyr dari saudara perempuannya:
لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
Artinya:
“Dan janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi
kalian”. Hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang baik dan Imam hakim, beliau
berkata: “Hadits ini berdasarkan syarat shahih Bukhari. Dan dikarenakan ia
adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi, karena pengkhususan
berpuasa pada hari itu saja ada persamaan dengan mereka… ( kecuali apabila
bertepatan ) hari Jum’at atau hari Sabtu (biasanya) seperti bertepatan dengan
hari Arafah atau hari ‘Asyura-’ dan merupakan kebiasaannya berpuasa pada kedua
hari itu maka tidak dimakruhkan, karena suatu adat mempunyai pengaruh di dalam
hal tersebut”. (Lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz2, bab Puasa sunnah)
APAKAH
YANG HARUS DIKERJAKAN APABILA HILAL (AWAL BULAN) BELUM JELAS??
Imam
Ahmad rahimahullah berkata: “Dan Jika awal bulan masih samar maka ia berpuasa
tiga hari, dan sesungguhnya ia kerjakan demikian agar ia yakin pada hari
kesembilan dan kesepuluhnya ( kitab al Mughni karya Ibnu qudamah juz 3, shiyam
– shiyam bulan ‘Asyura-’)
Barang
siapa yang belum mengetahui masuk awal bulan Muharram dan ia ingin berhati-hati
untuk hari kesepuluh maka hendaklah ia menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari
sebagaimana kaidah yang dikenal kemudian ia bepuasa pada hari kesembilan dan
kesepuluh. Dan barang siapa yang menginginkan berhati-hati pada hari
kesembilannnya juga maka ia berpuasa pada hari kedelapan dan kesembilan dan
kesepuluh ( kalau seandainya Dzulhijjah sebenarnya kurang (dari 30) maka ia
telah mendapatkan hari kesembilan dan kesepuluh dengan yakin). Dan mengingat bahwa
berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dianjurkan dan tidak diwajibkan maka manusia tidak
diperintahkan untuk benar-benar memperhatikan awal bulan sebagaimana mereka
diperintahkan untuk benar-benar awal bulan Ramadhan dan Bulan Syawwal.
PUASA
HARI ‘ASYURA-’, MENGHAPUSKAN APA??
An Nawawi
rahimahullah berkata: “Menghapuskan dosa-dosa kecil, dan taqdirnya adalah
menghapuskan dosa-dosa sipelakunya seluruhnya kecuali dosa-dosa besar”. beliau
rahimahullah berkata juga: “Puasa hari Arafah sebagai penghapus dosa dua tahun
dan puasa ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa satu tahun dan apabila pengucapan
“amin” nya bertepatan dengan para malaikat maka akan diampunkan baginya
dosa-dosanya yang telah… tiap dari perkara yang disebutkan ini bisa digunakan
untuk penghapus dosa, apabila ia mendapatkan sesuatu yang bisa ia hapuskan dari
dosa-dosa kecil maka ia menghapusnya dan apabila tidak mendapatkan dosa-dosa
kecil atau besar maka dituliskan dengan sebabnya berupa kebaikan-kebaikan, dan
diangkat untuknya beberapa derajat dengan sebab itu. Dan apabila ia mendapatkan
satu dosa besar atau beberapa dosa besar dan tidak mendapatkan dosa-dosa kecil
maka kita harapkan ia bisa meringankan dosa besar”. (lihat kitab al Majmu’
Syarah Muhadzdzab, juz 6, puasa hari Arafah)
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan penghapusan dosa (dari pahala)
bersuci, shalat, berpuasa bulan Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-’
hanya untuk dosa-dosa kecil saja. (lihat kitab al Fatawa al Kubra, juz 5 ).
JANGAN
TERPESONA DENGAN PAHALA PUASA!
Beberapa
orang terpesona dengan menyandarkan pahala puasa hari ‘Asyura-’ atau hari
Arafah, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: “Puasa hari ‘Asyura-’
menghapuskan seluruh dosa-dosa dalam satu tahun itu, dan tersisa puasa hari
Arafah bonus di dalam pahala.”
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang terperdaya ini tidak menyadari bahwa
puasa bulan Ramadhan dan shalat wajib lima waktu lebih agung dan lebih tinggi
dari berpuasa pada hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dan ia (shalat lima waktu dan
puasa bulan Ramadhan) menghapuskan dosa-dosa diantara keduanya apabila ia
menghindari dosa-dosa besar. Puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan, shalat Jum’at ke
shalat Jum’at tidak berfungsi untuk menghilangkan dosa-dosa kecil kecuali
dengan menggabungkan kepadanya penjauhan akan dosa-dosa besar dan akhirnya
gabungan dari dua perkara ini berkekuatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil.
Dan dari orang-orang yang terlena ada yang mengira bahwa keta’atannya lebih
banyak dari perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak menghisab dirinya
akan kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan dosa-dosanya, sedangkan
apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia akan menghapalnya dan
menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih di
dalam satu hari 100 kali, kemudian ia menggunjing kaum muslimin dan
merobek-robek kehormatannya dan ia
ridhai di sepanjang harinya, berbicara dengan sesuatu yang tidak
Allah maka orang ini selalu melihat
keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh kepada apa yang diriwayatkan
dari ancaman bagi orang-orang penggunjing, pendusta dan pengadu domba serta
selain daripada itu yang berupa penyakit-penyakit lisan, dan hal demikian itu
adalah benar-benar penipuan. (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah, juz 31, ghurur)
BERPUASA
HARI ‘ASYURA-’ DALAM KEADAAN MASIH PUNYA TANGGUNGAN DARI PUASA RAMADHAN
Para Ahli
Fiqh berbeda pendapat di dalam hukum mengerjakan puasa sunnah sebelum
mengqadha-’ puasa Ramadhan, Madzhab Hanafy berpendapat diperbolehkan berpuasa
sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan tanpa ada kemakruhan dikarenakan
menggantinya tidak wajib dengan segera dan madzhab Maliky dan Syafi’i
berpendapat diperbolehkan berpuasa dengan kemakruhan dikarenakan akan
menta’khirkan suatu yang wajib. Ad Dasuqy berkata: “Dimakruhkan berpuasa sunnat
atas siapa yang mempunyai tanggungan puasa wajib seperti orang yang bernadzar,
puasa qadha, puasa sebagai (kaffarah) penebus sesuatu, baik puasa sunnah yang
ia dahulukan dari puasa wajib itu tidak ditekankan atau ditekankan, seperti
puasa ‘Asyura-’, puasa tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah menurut pendapat yang
lebih utama. Dan Madzhab Hanbali berpendapat akan keharaman puasa sunnah
sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan dan tidak sahnya berpuasa sunnah waktu itu
walaupun masih panjang waktu untuk mengqadha-’. Dan diharuskan untuk memulai
dengan mengerjakan yang wajib sampai ia selesai mengqadha-’nya (lihat kitab al
Mausu’ah al Fiqhiyah juz 28 : puasa sunnah)
Maka dari
itu hendaklah seorang muslim bersegera mengqadha-’ setelah bulan Ramadhan agar
memungkinkannya untuk mengerjakan puasa Arafah Dan ‘Asyura-’ tanpa ada
kesulitan, dan apabila ia berpuasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dengan niat
dari malam hari mengqadha-’ maka hal yang demikian itu telah mencukupi di dalam
pengqadha-’an puasa yang wajib.
BID’AH-BID’AH
PADA HARI ‘ASYURA-’
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang perbuatan yang dikerjakan
manusia pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak, mandi, memakai pacar, saling
bersalaman, memasak biji-bijian dan memperlihatkan kesenangan serta yang
lainnya… Apakah yang demikian itu ada dasarnya atau tidak?
Dijawab:
“Segala puji milik Allah Rabb semesta alam, tidak ada di dalam hal ini satu
riwayat hadits shahihpun dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak
juga dari para shahabatnya, tidak dianjurkan pula oleh satupun dari para Imam
yang empat akan hal tersebut, tidak pula dari selain mereka dan para pengarang
kitab-kitab mu’tabar (terpandang) juga tidak meriwayatkan sesuatupun dalam hal
ini dan tidak dari riwayat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari
para shahabat, juga dari tabi’in, tidak ada dari hadits yang shahih, tidak juga
dari hadits yang lemah. Tetapi sebagian orang-orang generasi terakhir telah
meriwayatkan dalam perkara ini beberapa hadits, seperti apa yang mereka
riwayatkan bahwa; “Barangsiapa yang bercelak pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak
akan pedih matanya pada tahun itu”, dan “Barang siapa yang mandi pada hari
‘Asyura-’ maka ia tidak akan sakit pada tahun itu” dan yang semisal dengan itu…
dan bahkan mereka telah meriwayatkan sebuah hadits palsu mendustakan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bahwasanya barang siapa yang bermurah
atas keluarganya pada hari ‘Asyura-’ maka Allah Akan melapangkan rizqinya
sepanjang tahun”. Dan seluruh riwayat-riwayat ini tentang Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bohong.
Kemudian
beliau rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang telah terjadi pada awal
mula umat ini berupa kekacauan-kekacauan, kejadian-kejadian dan terbunuhnya
Husain radhiyallahu ‘anhuma serta apa yang dikerjakan oleh beberapa kelompok
disebabkan hal itu, beliau juga berkata: “Lalu timbullah kelompok yang bodoh
dan zhalim, baik itu kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang
berlebihan yang memperlihatkan kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait,
kelompok tersebut menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari berkabung, kesedihan
dan ratapan. Dan kelompok itu memperlihatkan di dalam hari itu syi’ar-syi’ar
orang-orang jahiliyah berupa pemukulan wajah, pengrobekan kantong-kantong baju,
dan bertakziyah bak layaknya orang jahiliyah… dan mensenandungkan
kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan riwayat-riwayat yang di dalamnya
terdapat penuh dengan kebohongan. Dan tidak ada kejujuran di dalam peringatan
ini kecuali saling berganti tangis, fanatisme, penyebaran kebencian dan
perperangan, menyebarkan fitnah diantara umat Islam, menjadikan hal yang
demikian itu untuk mencaci para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam…kesesatan
dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak bisa dihitung oleh orang yang fasih
di dalam berbicara, sedangkan yang menentang mereka ada beberapa kelompok, baik
itu dari orang-orang Nawashib yang sangat benci terhadap Husein dan Ahlu Bait
radhiyallahu ‘anhum atau dari orang-orang bodoh yang melawan kerusakan dengan
kerusakan, kebohongan dengan kebohongan, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah
dengan bid’ah maka mereka membuat kabar-kabar palsu di dalam syi’ar-syi’ar
kebahagian dan kesenangan pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak dan memakai pacar,
dan banyak memberikan nafkah kepada keluarga, memasak makanan-makanan tidak
seperti biasanya dan seperti yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan pada
hari-hari raya dan musim-musim bersejarah. Maka mereka (kelompok kedua-pent)
menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai musim hari raya dan kesenangan sedangkan
mereka (kelompok pertama) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari kesusahan,
mereka mendirikan di dalamnya kesedihan dan kesenangan dan keduanya telah
melakukan kesalahan keluar daripada sunnah… (al Fatawa al Kubra milik Ibnu
Taimiyah rahimahullah ).
Ibnu Hajj
rahimahullah menyebutkan termasuk dari perbuatan-perbuatan bid’ah hari
‘Asyura-’ adalah sengaja mengeluarkan zakat di dalamnya baik itu diakhirkan
atau di majukan (dari waktu asalnya) dan mengkhususannya dengan menyembelih
ayam dan juga para wanita memakai pacar. (al Madkhal juz 1, hari ‘Asyura-’).
Kita
memohon kepada Allah agar termasuk dari orang-orang yang berpegang teguh dengan
sunnah nabinya yang mulia, dan semoga kita di hidupkan di atas agama Islam,
diwafatkan di atas keimanan, semoga Allah memberikan kita taufik untuk
mengerjakan apa yang Dia cintai dan ridhai. Dan kita memohon kepada Allah agar
menolong kita untuk bisa mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, mengerjakan
ibadah kepada-Nya dengan baik, menerima (amal ibadah) dari kita dan menjadikan
kita termasuk orang-orang yang bertakwa dan merahmati kepada nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada para keluarga serta seluruh shahabat
beliau.
Sumber: muslim.or.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar