Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Segala
puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita,
dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam
selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu
‘alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.
Amma ba’du:
Sesungguhnya Allah telah berfirman:
“Artinya
: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama
bagimu.” [Al-Maidah :3]
“Artinya
: Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya
tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan
memperoleh adzab yang pedih.” [Asy-Syura' : 21]
Dari
Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi
wasallam, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan suatu
perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia
tertolak.”
Dalam lafazh Muslim: “Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak.”
Dalam
Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi pernah
bersabda dalam khutbah Jum’at: Amma ba’du, sesungguhnya sebaik- baik
perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan sejahat-jahat
perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah (yang
diada-adakan) itu adalah sesat.”
Masih
banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana
semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan
agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi
mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada
umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui
ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan
diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan
kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu
bid’ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama’
mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid’ah dan
memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang
mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti
Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.
Di
antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah
mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan pada
hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat
dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut
tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan
landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat
pada hari itu adalah maudhu’. Dalam hal ini, banyak di antara para
‘ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan
dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya’ban,
selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat
para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful
Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah dan
hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah
bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits
shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar
hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits-
hadits dhaif. Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan
menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga
masalahnya menjadi jelas; para ulama’ telah bersepakat bahwa merupakan
suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan
manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa
saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu
daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan
keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah
yang belum pernah disebutkan adalah bid’ah; tidak boleh dikerjakan
apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’:
“Artinya
: Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” [An-Nisaa': 59]
“Artinya
: Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah)
kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku.
Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”
[Asy-Syuraa: 10]
“Artinya
: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.”
[An-Nisaa' : 65]
Dan
masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat- ayat di
atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar
supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada
Al-Qur’an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum
yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur’an dan Hadits).
Demikianlah
yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang
hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga
pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.
Dalam
pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban Ibnu Rajab berkata dalam
bukunya “Lathaiful Ma’arif”, “Para Tabi’in dari ahli Syam (Syiria,
sekarang) seperti Khalid bin Ma’daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah
mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu
Sya’ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan
pengagungan itu dari mereka.
Dikatakan
bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya
cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia,
berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada
juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan
lainnya sedang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama
Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha’ dan Ibnu Abi Malikah dan
dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha’ Madinah, yaitu
ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka
mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah. Adapun pendapat ulama’
ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:
[1].
Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamah
adalah mustahab (disukai Allah). Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman
bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru
dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam
menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui
oleh
Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: “Menjalankan ibadah di masjid pada
malam itu secara jamaah tidak bid’ah.” Hal ini dicuplik oleh Harbu
Al-Kirmany.
[2].
Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya’ban di masjid untuk shalat,
bercerita dan berdo’a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika
menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza’iy
Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah
pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad
tentang malam tentang malam Nisfu Sya’ban ini,tidak diketahui.”
Ada
dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya’ban,
dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya
(Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa
memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak
disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain
berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin
Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi’in, begitu
pula tentang malam Nisfu Sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau
menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya
ketetapan
dari golongan tabi’in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh
Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia
mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu
Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun
pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat
pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab
dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan
syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar’iy, tidak
boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam
Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu
dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab
keumuman hadits Nabi:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”
Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam
Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, “Al-Hawadits wal Bida”,
“Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum
pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang
menghadiri perayaan malam Nisfu Sya’ban, tidak mengindahkan hadits
Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam
tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah
bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah)
pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah
menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada
tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah. Al-’Allaamah
Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu’ah, sebagai berikut:
Hadits:
“Wahai
Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100
rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad
sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya… dan
seterusnya.”
Hadits
ini adalah maudhu’, pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala
yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya
bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits
ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu’ dan
perawi-perawinya majhul.
Dalam
kitab “Al Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan
shalat Nisfu Sya’ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari
Ali radhiallahu ‘anhu: Jika datang malam Nisfu Sya’ban bershalat
malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku
Allaali’ diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada
malam Nisfu Sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat
Ad Dailamiy,
hadits
ini maudhu’ tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan
dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua
belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat,
maudhu’. Dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudhu’
(tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).
Para
fuqaha’ banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang
Ihya’ Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah
diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban
yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah
bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu’.
Anggapan
itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun
ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban untuk mengampuni dosa sebanyak
jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut
berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah
dan sanadnya munqathi’ (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah
disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa
shalat malam itu juga lemah dasarnya.
Al-Hafizh
Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu
Sya’ban maudhu’ dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam. Dalam kitab Al Majmu’, Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering
kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka’at
dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan
Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban. Dua shalat
itu adalah bid’ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua
hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan
Ihya’ Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil
(tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang
yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah
yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan
kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.
Syaikh
Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang
sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua
hadits (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan
Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku
tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli
ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan
memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan
tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat
sesuatu yang haq.
Dari
penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa
hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq)
bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan shalat atau
lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah
bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini
(Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah
masa hidupnya
para shahabat radhiallahu ‘anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur’an di bawah:
“Artinya
: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama
bagimu.”[Al-Maidah : 3]
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas.
Selanjutnya
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan
sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda:
“Janganlah
kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam-malam lainnya
dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang
hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika
(sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu.” [Hadits
Riwayat. Muslim]
Seandainya
pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh
Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik daripada malam-malam
lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari
matahari? Hal ini berdasarkan hadits-haditsRasulullah yang shahih.
Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk
mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu
menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan
dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang
mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul
Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan
bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan
menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga
mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
“Artinya
: Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan
penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni
dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat)
pada malam Lailatul
Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan
mengampuni dosanya yang telah lewat.” [Muttafaqun 'alaih]
Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab,
serta malam Isra’ Mi’raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara
atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika
memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para
shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka
adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat
setelah para nabi.
Dari
pendapat-pendapat ulama’ tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak
ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang
keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab.
Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut
adalah bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan
dengan ibadah tentang adalah bid’ah mungkar; sama halnya dengan malam 27
Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu
juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain
tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh
dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang
disebutkan tadi.
Demikianlah,
maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat
anda? Yang benar adalah pendapat para ulama’ yang menandaskan tidak
diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa
malam Isra dan Mi’raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil,
tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang
mengatakan;
“Dan
sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf,
yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama),
yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid’ah-bid’ah.”
Allahlah
yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan
kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan
konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan
dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.
Semoga
shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para
shahabat beliau. Amiin.
[Disalin
dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]
Sumber http://www.almanhaj.or.id
setahu saya bid'ah terbagi dua, ada yang hasanah dan ada yang dholalah. apabilamalam nisyfu sya;ban dirayakan ndengan sholat sunnah dan membaca yasin 3x dengan niat agar amal ibadah kita di terima dan dijauhkan dari tipu daya setan, apakah itu tidak termasuk hasanah ?
BalasHapusapalagi ketika yang merayakan meyakini akan diangkatnya amal setahun pada malam hari itu yang mereka niatkan agar pada waktu di laporkannya amalan mereka, mereka akhiri dengan membaca yasn dan berdo'a. salahkah .........?
selanjutnya, rasulullah lebih banyak berpuasa pada bulan selain bulan ramadhan yaitu di bulan sya'ban, apakah kita tidak boleh melakukan hal yang sama. tolong di kaji kembali antara satu pendapat dengan pendapat para ahli yang lain. terima kasih
Yang membagi bid'ah jadi 2 bagian itu siapa ya? mari perhatikan hadits Nabi "Wakullu bid'atin dhalalah... (setiap/semua bid'ah itu dhalal)...
HapusAda juga malah yang tersebut dalam hadits "Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi-ah"...