Abd. Wahid Al-Faqier
Qiyamul lail adalah shalat yang dilakukan pada malam
hari, hukumnya sunnah muakkadah,
shalat ini merupakan satu bentuk ibadah
shalat yang paling disukai setelah shalat fardhu berdasarkan hadits Nabi
Muhammad Saw. Anjuran shalat lail ini
terdapat dalam Firman Allah Swt.
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ
يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
"Dan pada sebagian malam hari
bershalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan
Rabmu mengangkat kamu ketempat yang terpuji." (Q.S. Al-Isra/17 : 79)
Qiyamul
Lail (shalat malam) ini disebut shalat tahajjud bila didirikan di luar
bulan Ramadhan dan disebut shalat taraawih bila didirikan pada bulan
Ramadhan.
1. Pengertian
Shalat Tarawih
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk
jamak dari تَرْوِيْحَةٌ yang berarti
waktu sesaat untuk istirahat, dan تَرْوِيْحَةٌ pada bulan Ramadhan
dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap ba'da
rakaat.
Menurut
riwayat jumhur hadits, Rasulullah Saw. shalat tarawih di mesjid bersama-sama
dengan orang banyak, hanya tiga kali selama hidup beliau, yaitu pada malam
tanggal 23, 25 dan 27 Ramadhan. Sesudah itu beliau tidak shalat berjamaah lagi,
karena beliau khawatir shalat tersebut dijadikan wajib atas mereka di kemudian
hari. Jumlah rakaat yang beliau
kerjakan bersama-sama dengan orang-orang pada waktu itu adalah 8 (delapan)
rakaat ditambah dengan witir 3 (tiga) rakaat.
2. Hukum Shalat
Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab
(sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
ketika menjelaskan tentang sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.
مَنْ
قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah
ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (HR. Muttafaqun
‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan dalam
hadits ini adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat
tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” Dan beliau menyatakan pula tentang
kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini (Lihat Kitab Syarah
Shahih Muslim, Karya Imam An-Nawawi, 2/101).
Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan
dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud
dengan qiyamur Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja
(dan meniadakan amalan lainnya).” (Lihat Kitab Fathul Bari, 6/289)
3. Mana yang
lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di
rumah ?
Pendapat pertama, yang utama adalah
dilaksanakan secara berjamaah. Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan
sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad dan
disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah, Al-Mirdawi serta sebagian pengikut Al-Imam
Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
dalam Syarh Shahih Muslim di atas tadi.
Adapun dasar pendapat pertama ini adalah
sebagai berikut:
a. Hadits ‘Aisyah Ra.
beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ
فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ
الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُـرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي
خَشِيْـتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti
shalat beliau Saw., kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau Saw. shalat
maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi Saw) kemudian mereka
berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah Saw. tidak
keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau Saw, bersabda: ‘Sungguh
aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang
mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan
diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (HR.
Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah)
secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali
pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana
serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.”
Dengan demikian menurut hemat kami
'kudu'-nya shalat tarawih dilaksanakan secara berjamaah oleh karena dalam hal
ini tidak adanya pengingkaran Nabi Saw. terhadap para shahabat yang shalat
bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan.
b. Hadits Abu Dzar
Ra.beliau berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
إِنَّ
الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى
يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya seseorang apabila shalat
bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam
penuh.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)
Maka menurut pendapat kami apabila
permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan
malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara
sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena
terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.”
c.
Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab Ra. dan para shahabat
lainnya Ra. ketika ‘Umar bin Al-Khaththab Ra. melihat manusia shalat di
masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat
sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau
mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b Ra. sebagai
imam.
d.
Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang
tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied.
e.
Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam
lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat.
Pendapat kedua, yang utama adalah
dilaksanakan sendiri-sendiri. Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik
dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan
pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Lihat Kitab Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Adapun dasar pendapat kedua adalah hadits
dari shahabat Zaid bin Tsabit, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:
“Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian!
Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang
dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (HR. Muttafaqun
‘alaih)
Hadits inilah yang dijadikan dasar oleh
sebagian yang berpendapat akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di
rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah.
Pendapat mana yang paling rajih (kuat) ?
Menurut kami maka pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama
karena hujjah-hujjah yang telah disebutkan di atas.
Adapun jawaban pemegang pendapat pertama
terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah: Bahwasanya Nabi
Saw. memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan
Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti
shalat malam secara berjamaah bersama Nabi Saw). karena kekhawatiran beliau
Saw. akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah.
Seandainya tidak karena kekhawatiran ini
niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara
berjamaah) Dan sebab ini (kekhawatiran
beliau Saw. akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya beliau. Karena
dengan wafatnya beliau Saw. maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.
Dengan demikian maka pemegang pendapat
pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. (Lihat
Kitab Fathul Bari, 3/18)
1. Waktu Shalat
Tarawih
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat
‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
إِنَّ
اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ
الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah
telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah
shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Imam Ahmad)
2.
Jumlah Rakaat
Shalat Tarawih
Mengenai salat tarawih ini, di tengah-tengah masyarakat kita pelaksanannya
ada bermacam-macam cara, yaitu:
a.
Ada yang mengerjakan 11 rakaat dengan bilangan rakaat 4 rakaat x 2 + 3
rakaat witir, sesuai dengan hadits yang datang dari 'Aisyah radhiyallahu
'anha, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
b.
Ada yang mengerjakan 11 rakaat dengan bilangan rakaat 4 rakaat x 2 + 2
rakaat witir + 1 rakaat witir. Ini mengikuti hadits yang datang dari 'Aisyah radhiyallahu
'anha, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
c.
Ada yang 11 rakaat dengan bilangan 2 – 2 – 2 – 2 – 3, ini sesuai dengan
mengikuti hadits yang datang dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu,
d.
Ada yang mengikuti riwayat Ibnu
Hibban yang mengatakan 8 rakaat + witir.
e.
Ada juga yang shalat tarawih 23 rakaat dengan bilangan 2 – 2 – 2 – 2 – 2 –
2 – 2 – 2 – 2 – 2 – 3 mengikuti hadits yang datang dari Abu Syaibah.
f.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menyebutkan perbedaan
riwayat mengenai jumlah rakaat yang dilakukan pada saat itu: ada yang
mengatakan 11 rakaat, ada yang mengatakan 13 rakaat, ada yang mengatakan 21
rakaat, ada yang mengatakan 23 rakaat. Khusus rakaat shalat tarawih, ada juga yang
mengatakan 36 rakaat plus 3 witir, ini diriwayatkan pada masa Umar bin Abdul
Aziz. Ada juga yang meriwayatkan 41 rakaat. Bahkan ada yang meriwayatkan 40
rakaat plus 7 rakaat witir. Bahkan riwayat dari imam Malik beliau melaksanakan
36 rakaat plus 3 rakaat witir. (Lihat Kitab Fathul Bari, Li-ibnu
Hajar Al-Asqalani, 4/118)
Dari beberapa periwayatan dapat di atas, menjadi bagian dari tugas kita
sebagai kaum terpelajar untuk menelusuri, menelaah dan mengadakan perbandingan (muqaranah)
manakah di antara pendapat tersebut yang paling rajih (kuat) dan
yang paling mendekati sunnah Rasulullah Saw.
Tentunya hal ini tidak dapat dilakukan dengan semena-mena tanpa
memperhatikan pendapat para ahli ilmu khususnya mereka yang menggeluti bidang
ini. Berikut ini sekilas penjelasannya.
Pendapat dengan jumlah 11 rakaat
mendasarkan pendapatnya kepada:
1. Hadits
yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman. Beliau –Abu Salamah-
bertanya pada ‘Aisyah Ra. tentang sifat shalat pada bulan Ramadhan, beliau
–'Aisyah- menjawab:
مَاكَانَ
يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ...
“Tidaklah Rasulullah
Saw. melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain
bulan Ramadhan lebih dari 11 rakaat.” (HR. Bukhari)
‘Aisyah Ra. dalam hadits di atas
mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah Saw. yang telah
beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan
lainnya. Tentunya beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi Saw. di
malam hari dari lainnya karena memang beliau adalah istri Rasulullah Saw.
2.
Dari Saayib bin Yazid Ra. beliau berkata:
أَمَرَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ
يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Umar bin Al-Khaththab
Ra. memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat
berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Imam Malik).
Pemahaman kita terhadap hadits di atas
adalah bahwa nash ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar Ra. dan
(perintah itu) sesuai dengannya Ra. karena beliau termasuk manusia yang paling
bersemangat dalam berpegang teguh dengan As-Sunnah, apabila Rasulullah Saw.
tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar
Ra. akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” Demikian
dikatakan Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya
Asy-Syarhul Mumti’.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa
shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang berdasarkan kepada
hadits-hadits yang dha'if (lemah). Di antaranya adalah:
1. Dari
Yazid bin Ruman beliau berkata:
عَنْ مَـالِك عَنْ يَزِيدَ
بْنِ رُومَـانَ أَنَّهُ قَـالَ كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan
(shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab Ra. 23
rakaat.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa dalam Ma Ja'a Fi Qiyamir
Ramadhan. No. 233).
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah
memberikan komentar mengenai hadits di atas dan beliau mengatakan:
... يَزِيدُ بْنُ
رُومَانَ لَمْ يُدْرِكْ عُمَرَ
“Yazid bin Ruman tidak
menemui masa ‘Umar Ra. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah Fi Takhriji Ahaditsil
Hidayah, 2/220) (dengan demikian sanadnya munqothi/ terputus).
2. Dari
Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas Ra.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi Saw. shalat di bulan
Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath,
2/309)
Tetapi Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah
mengatakan dalam kitabnya Al-Mu’jamul
Awsath:
لَمْ يَرْوِ هَذَا
الْحَدِيْثِ عَنِ الْحَكَمِ إِلاَّ أَبُوْ شَيْبَةِ وَلاَ يَرْوِىْ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ إِلاَّ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ
“Tidak
ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah bin Utsman dan
tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Lihat
Kitab Al-Mu’jamul Ausath, No. 810).
Juga terdapat dalam kitab Subulur Rasyad, Abu Syaibah bin Utsman ini
haditsnya dilemahkan oleh Ahmad Ibnu Muin, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu
Daud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i dan yang lainnya. Dan Syu’bah mengatakan:
bahwa dia seorang pendusta, Ibnu Mu'in mengatakan: dia tidak bisa dipercaya dan
hadits ini mungkar. Al-Adra’i dalam kitabnya Mutawasit berkata: Hadits ini mungkar.
Berkata juga Az-Zarkasyi: Hadits ini tidak sah.
Demikian pula
dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman
adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits
yang shahih riwayat Abu Salamah, 'sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah
Ra.: “Bagaimana shalat Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama
dari pendapat yang pertama).” Bahkan Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (Silsilah Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560).
Tampaknya sudah jelas bagi kita setelah mempertemukan beberapa pendapat
para ahli ilmu dalam permasalahan ini, maka pilihan yang paling selamat dalam
upaya mengabdi kepada Allah Swt. dengan tetap setia memelihara dan
mengikuti sunah Rasulullah Saw, adalah kembali kepada hadits nabi yang
shahih.
Namun demikian,
pada akhirnya ini semua hanyalah sebuah pendapat. Sangat diharapkan, perbedaan
itu tidak kemudian membuat kita tidak saling sapa antara satu sama lain, saling
berburuk sangka terlebih saling bermusuhan. Namun justeru menjadi bahan kajian
yang saling menghormati dan menghargai pandangan lain yang berbeda.
Bukanlah dalam tradisi ulama fikih sendiri,
ada semacam community agreement (kesepakatan bersama) yang senantiasa
menjaga mereka untuk selalu bersikap terbuka dan tasamuh (toleran) dalam
menghadapi perbedaan. Salah satu bentuknya adalah seperti yang pernah
diungkapkan oleh Imam al-Syafi’i:
رَأْيُنَا
صَوَّابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَاءَ وَرَأْيُ غَيْرِنَا خَطَاءٌ يَحْتَمِلُ
الصَّوَّابَ
Pandangan yang kita yakini benar,
mengandung kemungkinan salah. Dan pandangan orang lain yang kita duga salah,
mengandung kemungkinan benar.
Apakah shalat
tahajud lagi setelah tarawih ?
Cara Petama: Bila kita
perhatikan keumuman dalil hadits yang diriwayatkan Aisyah Ra. yang
mengatakan bahwa:
“Tidaklah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan
Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan lebih dari 11 rakaat.” (HR. Imam Bukhari)
Maka ini berarti
tidak ada shalat malam lagi (tahajud), karena tidak ada setelah witir
dan tidak ada 2 witir dalam satu malam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Imam yang lima kecuali Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ”Tidak ada
dua witir dalam satu malam.” juga hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah
kecuali Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
اِجْعَلُوْا آخِرَ
صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
”Jadikanlah
akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir.” (HR. Muttafaq
‘alaih).
Maka amalan yang
paling utama setelah shalat tarawih adalah dengan memperbanyak dzikir, membaca,
mengkaji dan memahami Al-Quran atau yang lebih masyhur dikenal dengan istilah “tadarusan”.
Cara
Kedua:
Bagi siapa yang telah melakukan shalat tarawih dan witir bersama imam lalu
bermaksud melakukan kembali shalat malamnya maka hendaklah dia melakukan shalat
qiyamullail-nya saja (genap) tanpa melakukan witir lagi, demikian menurut para
ulama Hanafi, Maliki, Hambali dan pendapat yang masyhur dari para ulama
Syafi’i. Dalil lainnya yang dipakai mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi dari Ummu Salamah bahwa Nabi Saw. melakukan shalat dua rakaat setelah
witir.” Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan dari Abu
Umamah, Aisyah dan sahabat lainnya dari Rasulullah Saw.
Cara Ketiga: yang merupakan
pendapat para ulama Syafi’I, yaitu hendaklah orang itu mengawalinya dengan
melakukan shalat sunnahnya satu rakaat untuk menggenapkan witir yang telah
dilakukan sebelumnya kemudian melakukan shalatnya yang genap sekehendaknya
kamudian ditutup dengan witir. Hal ini diriwayatkan dari Utsman, Ali, Usamah,
Sa’ad, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sebagaimana ditegaskan oleh Imam
Nawawi dan Ibnu Qudamah. Dan dalil yang bisa jadi digunakan mereka adalah
hadits, ”Jadikanlah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir.” Sebagaimana
telah disebutkan di atas tadi.
Sebagai upaya
memenuhi harapan menjadi generasi yang bahrul ulum (kaya ilmu), tidak
asal ikut-ikutan khususnya dalam masalah ibadah, berikut ini kami cantumkan
hadits-hadits Rasulullah Saw. yang menerangkan tentang pelaksanaan shalat
tarawih (qiyamul lail).
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ
صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي
ثَلاَثًا فَقُلْتُ يَارَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ: يَا
عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي
"Dari
Abi Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah tentang shalat
Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan, Aisyah menjawab, "Tidaklah
Rasulullah Saw. (menegakkan shalat malam) di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan
lainnya lebih dari sebelas raka’at. Ia shalat empat raka’at maka jangan engkau
tanyakan bagusnya dan panjangnya. Kemudian
Ia shalat lagi empat raka’at maka
jangan engkau tanyakan bagusnya dan panjangnya. Kemudian Ia
shalat lagi tiga raka’at. Berkata Aisyah: Saya bertanya Ya Rasulullah
apakah engkau tidur sebelum witir? Sabdanya: Wahai Aisyah
sesungguhnya dua mataku terpejam tetapi hatiku tidak tidur". (HR. Bukhari
dan Muslim).
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَ يُصَـلِّي مِنَ اللَّيْـلِ عَشْرَ
رَكَعَاتٍ وَيُوْتِرُ بِسَجْدَةٍ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَى الْفَجْرِ فَتِلْكَ
ثَلاَثَةََ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Dan menurut riwayat keduanya (Bukhari dan Muslim) dari ‘Aisyah
adalah Rasulullah shalat di malam hari sepuluh raka’at dan ia witir dengan satu
raka’at dan Ia shalat dua raka’at (sunnah) fajar, maka yang demikian itu adalah
tiga belas raka’at.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوْتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ
لاَ يَجْلِسُ فِي شَيْءٍ اِلأَ فِي أَخِرِهِ
"Dan dari’ Aisah berkata: Adalah Rasulullah saw. shalat malam tiga
belas raka’at, Ia witir dari padanya dengan lima raka’at. Tidaklah
Ia duduk di dalam (yang lima itu) kecuali di akhirnya (HR.
Muttafaq ‘Alaih).
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ اَوْتَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَانْتَهَى وِتْرُهُ اِلَى السَحَرِ
Dan diriwayatkan
dari ‘Aisyah, ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam berwitir tiap-tiap malam dan witirnya itu berakhir di waktu sahur. (HR.
Muttafaq ‘Alaih).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Diriwayatkan dari
Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "seutama-utama shalat setelah shalat fardlu adalah shalat malam.
(HR. Muslim).
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي شَهْرِ
رَمَضَانَ ثُمَّ اَْنتَظَرُوْهُ مِنَ الْقَابِلَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ وَقَالَ:
إِنِّي خَشِيْتُ أَنْ يُكْْتَبَ عَلَيْكُمُ الْوِتْرُ
Diriwayatkan dari
Jabir bin Abdullah, "Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
mendirikan shalat di bulan Ramadhan, kemudian mereka (para sahabat) menunggu
Rasul di malam berikutnya tetapi Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam tidak keluar. Dan ia bersabda: Sesungguhnya
aku takut akan diwajibkan atas kamu shalat witir itu (Tarawih dan Shalat Witir). (HR. Ibnu Hibban).
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَي
مَثْنيَ فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّي رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ
لَهُ مَا قَدْ صَلَّي
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia
berkata, 'Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Shalat
malam itu dua raka’at dua raka'at, maka apabila seorang dari kamu khawatir datangnya shubuh, shalatlah satu
raka’at (witir) yang mengganjilkan baginya shalat yang telah ia kerjakan. (HR.
Muttafaq ‘alaih).
عَنْ خَارِجَةَ بْنِ
حُذَافَةِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ
اللهَ أَمَدَّكُمْ بِصَلَاةٍ هِيَ خَيْرُ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ. قُلْنـَا: وَمَاهِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : الوِتْرُ مَا بَيْنَ
صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَي طُلُوْعِ الْفَجْرِ
Diriwayatkan
Kharijah bin Hudafah berkata: Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Sesungguhnya Allah membantu kamu dengan shalat yang ia
itu lebih baik dari onta merah. Kami bertanya, shalat apa itu ya Rasulullah?
Sabdanya, "shalat witir yaitu antara isya sampai terbit fajar. (HR. Khamsah
kecuali Nasa'i dan disahkan oleh Hakim).
عَنْ اَِبى أَيُوْبَ
الأَنْصَارِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
الوِتْرُ حَقٌّ عَلَي كُلِّ مُسْلِمٍ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِخَمْسٍ
فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ
أَنْ يُوْتِر بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
Diriwayatkan Abi
Ayub Al-Anshary: “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda, “Witir itu hak bagi setiap
muslim. Barang siapa yang senang berwitir dengan lima raka’at kerjakanlah. Barang siapa yang
senang berwitir dengan tiga raka’at kerjakanlah dan barang siapa yang senang
berwitir dengan satu raka’at kerjakanlah. (HR. Empat kecuali Tirmidzi dishahehkan oleh Ibnu Hibban
dan dirajihkan oleh An-Nasa’i
ke-maukuf-annya).
عَنْ عَلِيِّ اِبْنِ أَبِي
طَالِبٍ قَالَ: لَيْسَ الوِتْرُ بِحَتْمٍٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوْبَةِ وَلَكِنْ
سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib radiyallahu 'anhu, ia berkata: "Bukanlah
witir itu satu keharusan sebagaimana shalat yang diwajibkan, tetapi ia adalah
satu sunnah yang disunnahkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam".
(HR. Tirmudzi. Nasa’i dan hakim membaguskan dan membenarkannya.).
عَنْ عَلِيِّ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوْتِرُوْا يَا أَهْلَ
الْقُرْآنِ فَإِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
Diriwayatkan
Ali bin Abi Thalib radiyallahu 'anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Berwitirlah kamu sekalian
wahai ahli Qur’an, karena sesungguhnya Allah itu witir (ganjil) Allah
suka pada shalat witir. (HR. Lima
dan dibenarkan oleh Ibnu Hiban)
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ
عَمْرُوَ بْنِ العَاصِ قَالَ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْـلَ فُلَانٍ
كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
Diriwayatkan
Abdullah bin Amru bin ‘Ash, ia berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda kepada saya: "Hai Abdallah: Janganlah engkau
seperti si Fulan , ia bangun
di satu malam tapi dia tinggalkan shalat malam. (HR.Muttafaq
“alaih)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ
مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرُ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ
فَلْيُوْتِرُ أَخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرَ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ
وَذَلِكَ أَفْضَلُ
Diriwayatkan dari
Jabir, ia berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barang siapa khawatir untuk tidak bangun pada akhir malam maka boleh ia witir pada awalnya dan barang siapa yakin bahwa ia bisa bangun di akhir malamnya, maka
hendaklah dia witir diakhirnya karena Shalat akhir malam itu disaksikan dan yang demikian itu lebih utama (HR. Muslim).
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ عَنِ
النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَ وَقْتُ كُلِّ صَلاَةِ
اللَّيْلِ وَالْوِتْرِ فَاُوْتِرُوْا قَبْلَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ
Diriwayatkan dari
Ibnu Umar dari Nabi Shalallahu
'alaihi wa Sallam Beliau bersabda, “Apabila terbit Fajar maka habislah semua waktu shalat malam dan
witir, oleh karena itu berwitirlah kamu sebelum terbit fajar (HR. Tirmidzi).
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ أَنَّ
النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِجْعَلُوْا آخِرَ صَلاَتِكُمْ
بِاللَّيْلِ وِتْرًا
Diriwayatkan dari
Ibnu Umar dari Nabi Shalallahu
'alaihi wa Sallam Beliau bersabda, “Jadikanlah akhir shalat kamu pada
malam hari itu witir. (HR. Muttafaq ‘alaih).
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لاَ
وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
Diriwayatkan
dari Thalqin bin Ali berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada dua witir dalam satu malam. (HR. Ahmad dan tiga
perawi dan dibenarkan oleh Ibnu Hibban).
عَنْ أُبَي اِبْنِ كَعْبٍ
قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْتِرُ بِسَبِّحِ
اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَي وَقُلْ يَا أَيُّهـَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهِ
أَحَدُ
Diriwayatkan
dari Ubay bin Ka’ab berkata: “Adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
berwitir dengan membaca "Sabbihisma
Robbikal’ala" dan "qulya ayyuhal kafirun" dan "qul huwallohu ahad". (HR.
Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i dan ditambahkan tidaklah memberi salam kecuali diakhirnya.).
وَِلأَبِي دَاوُدٍ
وَالتَرْمِذِي نَحْوَهُ عَنْ عَائِشَةَ وَفِيْهِ: كُلُّ سُوْرَةٍ فِي رَكْعَةٍ
وَفِي الأَخِيْرَةِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدُ وَالْمَعُوْذَتَيْنِ.
Dan
diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi begitu pula dari Aisyah dan di dalamnya
tiap-tiap surah pada satu raka’at dan diraka’at yang terakhir "qul
huwalloh", "qul a’udubirobbil falaq" dan "qul a’udzu birobbinnas".
Adapun dalil yang
menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melaksanakan
shalat lail (shalat malam) lebih dari sebelas
raka’at, kami cantumkan beberapa keterangan di bawah ini:
عَنْ أَبِي شَيْبَةَ
إِبْرَاهِيْمُ بْنِ عُثْمَانَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ مُقَسَمِ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ
رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ. قَالَ فِي سُبُلِ
الرَشَادِ: أَبُوْ شَيْبَةَ ضَعَفَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مُعِيْنُ وَالْبُخَارِي
وَمُسْلِمُ وَأَبُوْ دَاوُدُ وَالتَرْمِذِي وَالنَسَائِي وَغَيْرُهُمْ وَكَذَّبَهُ
شُعْبَةُ. وَقَالَ ابْنُ مُعِيْنُ: لَيْسَ بِثِقَةٍ. وَعَدَ هَذَا الْحَدِيْثُ مِنْ
مُنْكَرَاتِهِ. وَقَالَ الأَذْرَاعِي فِي الْمُتَوَسِطِ: وَأَمَّا مَا نَقَلَ
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّي فِِي اللَّيْلَتَيْنِ اللَتَيْنِ
خَرَجَ فِيْهِمَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةً فَهُوَ مُنْكَرٌ. وَقَالَ الزَرْكَشِي فِي
الْخَادِمِ : دَعْوَي أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّي بِهِمْ فِي
تِلْكَ اللَّيْلَةِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لَمْ تَصِحْ.
Diriwayatkan dari
Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakam dari Muqosam dari Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhum bahwa sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
shalat di bulan Ramadhan dua puluh raka’at dan witir. Berkata
Pengarang kitab Subulurrosyad. "Abu Syaibah dilemahkan oleh Imam
Ahmad, Imam Ibnu Mu’in, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam
At-Tirmidzi, Imam Nasa’i dan selain mereka dan Syu’bah mendustakannya. Dan
berkata Ibnu Mu’in: Dia tidak dipercaya dan terhitung hadits ini dari kemungkarannya.
Berkata Al-Adzra’i dalam kitab Al-Mutawassit: Adapun apa yang dinukilkan
bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam di dua malam yang beliau
keluar (untuk Shalat malam) dua puluh raka’at, hadits itu mungkar. Berkata
Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Khadim: Pengakuan bahwa Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam shalat dengan mereka di malam itu dua puluh raka’at tidak
sah.
عَنْ يَزِيْدِ بْنِ
رُوْمَانَ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِي زَمَانِ عُمَرَبْنِ الْخَطَابِ
بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
Diriwayatkan
dari Yazid bin Ruman berkata, "adalah manusia mendirikan (shalat malam) pada masa Umar bin Khottab dua
puluh tiga raka’at. (HR. Imam Malik).
عَنْ دَاوُدِ ابْنِ قَيْسٍ
قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِيْنَةِ فِي زَمَانِ عُمَرَ ابْنِ عَبْدِ
الْعَزِيْزِ وَأَبَانَ ابْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّوْنَ سِتًّا وَثَلاَثِيْنَ رَكْعَةً
وَيُوْتِرُوْنَ بِثَلاَثٍ
Diriwayatkan dari
Daud bin Qois berkata, "Aku melihat manusia di Madinah pada masa Umar
bin Abdul Aziz dan Aban bin Utsman,
mereka shalat tiga puluh enam roka’at
dan mereka berwitir dengan tiga rska’at. (HR. Ibnu Abi Syaibah).