Rabu, 13 Februari 2013

Asal Usul Pesantren (Bag. I)



A.           Sejarah dan Asal Usul Pondok Pesantren
Diskusi tentang sejarah dan asal-usul pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren) di kalangan pengamat pendidikan Islam di Indonesia, dikatakan menarik, karena dalam pandangan mereka—seperti Karel A. Steenbrink dan Martin van Bruinessen—pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal Indonesia. Hasil pengamatan mereka, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. Jika Steenbrink memandang pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal dari Arab. Kedua-duanya memiliki argumen untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.
Misalnya Steenbrink,  menemukan 2 (dua) alasan yang dapat memperkuat pandangan bahwa pesantren diadopsi dari India, yaitu alasan terminologi dan alasan persamaan bentuk.[1] Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa istilah yang lazim digunakan di pesantren seperti mengaji dan pondok, dua istilah yang bukan dari Arab melainkan dari India. Selain itu, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Selain Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan istilah-istilah di atas kemudian diambil oleh Islam. Sementara itu, dari segi bentuknya ada persamaan antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Jawa. Persamaan bentuk tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh negara bagi kepentingan agama yang terdapat dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm) yang besar terhadap guru, dan para siswanya meminta sumbangan ke luar lingkungan pesantren. Selain itu, letak pesantren yang didirikan di luar kota juga membuktikan bahwa asal-usul pesantren berasal dari India.[2]
Di pihak lain, van Bruinessen mengemukakan alasan tentang posisi Arab—khususnya Mekah dan Madinah—sebagai pusat orientasi bagi umat Islam. Mengingat posisinya tersebut, Bruinessen berpendapat bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia besar kemungkinan berasal dari Arab. Ia memberi contoh salah satu tradisi 'kitab kuning' di pesantren. Baginya, 'kitab kuning' yang berbahasa Arab merupakan salah satu bukti bahwa asal usul pesantren dari tanah Arab. Tentang 'kitab kuning' ini, lebih lanjut beliau menulis sebagai berikut:
"Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari Indonesia (meskipun syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia sendiri)."[3]
Selain bukti tradisi 'kitab kuning', Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari tanah Arab. Bukti yang dimaksud adalah pola pendidikan yang diterapkan oleh pesantren. Menurutnya, pola pendidikan pesantren menyerupai pola pendidikan madrasah dan zâwiyah di Timur Tengah. Jika madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam di luar masjid, maka zâwiyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut masjid.[4] Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para calon ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. Mengingat kiai-kiai besar hampir semua menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka di tanah Arab, maka pola pendidikan yang mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah air dalam bentuk pesantren. Dengan demikian, mereka dapat dianggap sebagai perantara antara tradisi besar keilmuan Islam yang berskala internasional dengan variasi tradisi Islam yang masih sederhana di Indonesia.[5]
Pendapat Steenbrik dan Bruinessen yang menyatakan bahwa asal usul pesantren dari tradisi asing, yakni India dan Arab, perlu ditelaah kembali kebenarannya. Mengingat beberapa istilah Jawa yang digunakan di pesanten, pendapat bahwa asal-usul pesantren dari India atau Arab tidak dapat diterima. Dalam catatan Nurcholish Madjid ada 4 (empat) istilah Jawa yang dominan digunakan di pesantren, yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata "santri" yang digunakan untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru.Istilah lain untuk menunjuk guru di pesantren adalah kiai yang juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan kiai  untuk laki-laki dan nyai untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata kiai dan nyai dalam hal ini mengandung pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.[6]
Demikian juga kata ngaji yang digunakan untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai di pesantren berasal dari kata aji yang berarti terhormat dan mahal. Kata ngaji biasanya disandingkan dengan kata kitab; ngaji kitab yang berarti "kegiatan santri pada saat mempelajari kitab yang berbahasa Arab". Oleh karena santri banyak yang belum mengerti Bahasa Arab, maka kitab tersebut oleh kiai diterjemahkan kata demi kata ke dalam Bahasa Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat terjemahan kiainya dan mereka mencatatnya pada kitab yang dipelajari, yaitu di bawah kata-kata yang diterjemahkan. Kegiatan mencatat terjemahan ini di pesantren biasa dikenal dengan istilah njenggoti, karena catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada kata-kata yang diterjemahkan.[7] Penggunaan istilah Jawa di atas menunjukkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan khas Indonesia. Pada awalnya pesantren lahir di Jawa dan selanjutnya berkembang ke luar Jawa.
Adapun tradisi kitab kuning yang berbahasa Arab dan dijadikan sumber utama dalam pembelajaran di pesantren tidak dapat dijadikan alasan untuk menunjukkan bahwa pesantren dari Arab. Kitab kuning yang dijadikan materi ajar utama di pesantren menurut Mahmud Yunus baru terjadi pada tahun 1900-an. Sebelumnya para kiai menulis dengan tangan kitab-kitab yang dijadikan bahan dalam pembelajaran di pesantren. Setelah percetakan mulai dikenal secara luas di dunia Islam dan beberapa kitab dicetak secara massal, mulailah berdiri toko-toko kitab di Indonesia. Pada saat itulah, penggunaan kitab-kitab kuning di pesantren mulai mengambil peran. Kemudian, harus diakui bahwa beberapa kitab kuning yang dijadikan sumber belajar di pesantren ditulis oleh penulis Indonesia yang belajar dan menjadi syekh di Haramain, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Banjar.[8] Dengan demikian, sangatlah tidak logik jika dikatakan bahwa tradisi kitab kuning sebagai alasan untuk menyimpulkan bahwa pesantren berasal dari Arab.
Hal penting lainnya adalah bahwa penggunaan kitab-kitab berbahasa Arab di pesantren tidak dapat dihindari karena Mekah dan Madinah merupakan kiblat bagi umat Islam Indonesia sejak masuk ke Indonesia sampai sekarang ini. Hal ini sebagai petunjuk bahwa para kiai dalam mengembangkan Islam di pesantren mengacu kepada model yang dicontohkan Rasulullah Saw. Bagi para kiai, Rasulullah saw. dipandang sebagai model universal yang harus diikuti umat Islam seluruh dunia termasuk muslim santri Jawa itu sendiri. Selain Rasulullah Saw, para kiai, dalam mengembangkan pesantren juga mengacu kepada para wali yang berjumlah sembilan di Jawa. Bagi para kiai, Walisongo di daerah Jawa dipandang sebagai model domestik yang perlu dicontoh untuk pengembangan pendidikan di pesantren.[9] Hal ini berarti bahwa pesantren yang dikembangkan para kiai dengan mempertimbangkan akar budaya masyarakat setempat, merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia, sehingga dapat dianggap sebagai lembaga khas Indonesia.
Selanjutnya, bahwa asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu di India seperti yang dikemukakan oleh Steenbrink di atas ternyata tidak memiliki alasan yang kuat. Pandangan bahwa keberadaan pesantren di Jawa terpengaruh oleh tradisi India bisa dipahami. Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu. Tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan senantiasa memperbaharui kembali melalui sembernya sendiri. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sumber terpenting bagi Islam tradisional Indonesia adalah kota suci Mekah—pusat orientasi semua dunia Islam. Orientasi kedua adalah Madinah—dimana Nabi membangun masjid pertama dan wafat. Konsekuensinya adalah, hampir semua pengarang Islam dan ulama Indonesia menghabiskan banyak waktunya di Mekah, Madinah, dan pusat-pusat pengajaran di Timur Tengah.[10]
 Lalu, kapan kemunculan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia? Beberapa sumber rujukan tidak menyebutkan secara pasti tentang kemunculan pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) pada tahun 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura, yang didirikan pada tahun 1962.[11] Informasi ini dibantah oleh Mastuhu dengan alasan bahwa sebelum adanya Pesantren Jan Tanpes II, tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua, dan dalam buku Kementerian Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendiriannya. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Selain itu, Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.[12]
Informasi Departemen Agama tentang keberadaan pesantren tertua di Indonesia di atas juga ditolak oleh Martin van Bruinessen. Menurut Bruinessen, Pesantren Tegalsari (salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur) merupakan pesantren tertua di Indonesia yang didirikan pada tahun 1742 M. Sepanjang penelitiannya, Bruinessen tidak menemukan bukti yang jelas adanya pesantren (pada abad ke-19) sebelum berdirinya pesantren Tegalsari. Bahkan, sebelum abad ke-20 belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok.[13] Pada umumnya, pada tahun-tahun sebelum abad ke-20, kegiatan pendidikan Islam di Jawa, Banten, dan luar Jawa masih berbentuk informal  dengan pusat kegiatannya di mesjid. Pesantren Tegalsari ini sekarang tinggal kenangan dalam sejarah, karena secara fisik tidak ditemukan keberadaannya.
Sepanjang abad ke-18 sampai dengan abad ke-20, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan pesantren di tengah-tengah masyarakat selalu direspon positif oleh masyarakat. Respon positif masyarakat tersebut digambarkan oleh Zuhairini sebagai berikut:
"… bahwa pesantren didirikan oleh seorang kiai dengan bantuan masyarakat dengan cara memperluas bangunan  di sekitar surau, langgar atau masjid untuk tempat mengaji dan sekaligus sebagai asrama bagi anak-anak. Dengan begitu anak-anak tak perlu bolak-balik pulang ke rumah orang tua mereka. Anak-anak menetap tinggal bersama kiai di tempat tersebut."[14]
Ilustrasi Zuhairini di atas menunjukkan bahwa kehadiran pesantren merupakan kebutuhan masyarakat, mengingat keberadaan surau, langgar, dan mesjid sudah tidak memadai lagi sebagai lembaga pendidikan Islam. Dengan respon positif masyarakat tersebut, didirikanlah pesantren-pesantren di seluruh pelosok Indonesia, sehingga jumlah pesantren di Indonesia menjadi ribuan. Manfred Ziemek (salah seorang peneliti pendidikan Islam di Indonesia asal Jerman), mengutip temuan UNESCO bahwa pada 1954 tercatat ada 53.077 pesantren di seluruh Indonesia.  Data ini menurut Ziemek belum akurat, karena pada 1971 Bank Dunia memperoleh data bahwa jumlah pesantren di seluruh Indonesia ada 11.000 buah. Setelah dicek oleh Ziemek, ternyata UNESCO memasukkan pendidikan Islam di surau, langgar, dan masjid ke dalam hitungan jumlah pesantren. Data yang lebih baru dikemukakan oleh Departemen Agama, bahwa pada tahun 1982 jumlah pesantren di seluruh Indonesia sebanyak 5.373 pesantren.[15]
Bersambung ... 


[1] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Waktu Modern, (LP3ES, 1986), hlm. 20
[2] Ibid, hlm. 21.
[3] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 22.
[4] Ibid, hlm. 33-34.
[5] Ibid, hlm. 22.
[6] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 19-21.
[7] Ibid, hlm. 22-23.
[8] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1997), hlm. 53-55.
[9] Abdurrahman Mas'ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006). Hlm. 33-34.
[10] Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 22.
[11] Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi Pondok-pondok Pesantren Seluruh Indonesia (Jakarta: Depag RI, 1984/1985), hlm. 668.
[12] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 19
[13] Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 25
[14] Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992). Hl. 212.
[15] Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1996), hlm. 102.
READ MORE - Asal Usul Pesantren (Bag. I)
Baca Selanjutnya - Asal Usul Pesantren (Bag. I)

Kamis, 07 Februari 2013

VALENTINE DAY MENURUT PANDANGAN ISLAM



Valentine Day yang berarti hari berkasih sayang dirayakan oleh orang-orang Barat beberapa tahun terakhir ini, bukan saja orang-orang Barat yang merayakannya dan mempopulerkannya, orang-orang Islam pun ikut terbawa-bawa memeriahkannya.
Hari Valentine, jatuh pada tanggal 14 Februari setiap tahun, biasanya dirayakan oleh kaula muda tanpa kecuali, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Tradisi perayaan ini sudah mulai merebak kemana-mana mulai dari pelosok-pelosok kampung hingga tempat-tempat hiburan di diskotik-diskotik, hotel-hotel dan lain-lain. Ironisnya mereka tak mau tau apakah Valentine Day ini bersumber dari ajaran Islam atau tidak.
Valentine yang diartikan sebagai hari penyampaian atau pesan kasih sayang sebenarnya adalah seorang martir yang rela mati karena mempertahankan kepercayaannya (dalam Islam disebut syahid). Ia seorang dermawan dan bergelar Santo, karena berseberangan dengan penguasa Romawi pada waktu itu yaitu Raja Claudius II (268-270 M). Valentine dibunuh pada tanggal 14 Februari 270 M. Untuk mengenang St. Valentine ini, sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan, maka para pengikutnya merayakan hari kematiannya pada setiap tanggal 14 Februari sebagai upacara keagamaan. Akan tetapi sejak abad ke-16 M, upacara keagamaan tersebut sudah mulai pudar dan berangsur-angsur hilang dan berobah dari hari perayaan keagamaan menjadi hari pesta jamuan kasih sayang Romawi Kuno yang disebut “Supecalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.
Akhirnya setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani, hari pesta jamuan kasih sayang itu dihubungkan dengan upacara kematian St. Valentine sebagai hari kasih sayang, sesuai dengan kepercayaan orang-orang Eropa bahwa hari kasih sayang itu jatuh pada tanggal 14 Februari dan dilambangkan dengan “Sepasang burung jantan dan betina”.
Dalam bahasa Perancis Valentine mempunyai persamaan makna dengan Galentine yang berarti Galant atau cinta, dan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2003 Galant diartikan “Tahu sopan santun dan pandai bergaul”.
Oleh karena Valentine, Galentine, telah dipopulerkan lewat program pembaratan (westernisasi) atau karena gelombang globalisasi dan informasi tak dapat dibendung lagi, maka hari Velentine merebak kemana-mana dan masuk “ke rumah-rumah” orang Islam lewat “pintu”, “jendela” bahkan lewat “lobang angin” sekalipun, sehingga Valentine bergeser jauh dari makna dan pengertiannya, dari upacara keagamaan menjadi hari persaudaraan, kasih sayang, tukar menukar hadiah dan sebagainya.
Jika kita melihat kepada asal usulnya sejak 1700 tahun yang lalu, nampak jelas trik-trik untuk merusak aqidah muslim dan muslimah pun turut bergeser, dari animisme, (mempercayai benda dan mengkeramatkannya), menjadi cara hedonisme (menjadikan kelezatan sebagai standard kebaikan), yaitu dengan cara menampilkan dan memperkenalkan gaya hidup Barat, dengan kedok percintaan, kasih sayang dan lain-lain.
Islam agama yang konsisten tidak ikut-ikutan, meniru-niru keyakinan dan gaya hidup Barat bukan bagian dari ajaran Islam, meskipun berkedok kebaikan dan kasih sayang, karena Islam telah mengatur cara-cara untuk menanam kebaikan dan menyediakan fasilitasnya (wasilah). Rasul Saw. bersabda : Siapa-siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat suatu kebaikan, Allah berikan kepadanya kepahaman tentang agama Islam. (Al-Hadis). Ajaran kasih sayang yang diikuti lewat memperingati Valentine Day bukanlah ajaran Islam, Rasul Saw. melarang untuk meniru-niru cara agama lain : Siapa-siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) dia termasuk kaum (agama) itu.
Bukan berarti Islam tidak mengajarkan kasih sayang, malah Islam-lah agama yang paling konsisten menebarkan kasih sayang di permukaan bumi ini, sampai-sampai setiap langkah, perbuatan yang dimulai dianjurkan membaca Bismillâhirrahmânirrahîm (dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).
Rasul Saw. juga bersabda : Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga ia cinta kepada saudaranya seperti cinta kepada dirinya sendiri. Dalam konteks yang sama tapi lebih luas lagi Rasul Saw. memerintahkan untuk menyayangi makhluk di permukaan bumi ini tanpa membedakan agamanya. Beliau besabda : Sayangilah olehmu penduduk bumi, kamu akan disayangi oleh penduduk langit.
Ketika seorang wanita datang kepada Nabi Saw. melaporkan halnya bahwa ibunya belum menganut agama Islam, apakah dibolehkan dia hidup satu rumah dengan ibunya yang tidak bergama Islam tersebut. Rasul Saw. terdiam, tiba-tiba turun ayat Alquran memberi jawaban terhadap persoalan perempuan tersebut : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi karena agama, dan tidak pula mengusirmu dari negerimu, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agamamu dan mengusirmu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Mumtahanah : 8-9)
Jadi, cukup jelas bahwa agama Islam adalah agama kasih sayang dan menganjurkan untuk berkasih sayang, bahkan lebih sekedar itu, Nabi Muhammad Saw. diberi nama “Rauf” dan “Rahim” (amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin). Allah Swt. berfirman : Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah : 128)
Tapi, kasih sayang yang dimaksud oleh Islam adalah kasih sayang yang berada dalam koridor Islam, dan mengikuti cara-cara yang dibuat oleh Nabi Saw, yaitu dibungkus dengan iman, bukan kasih sayang yang dibingkai dengan syahwat dan nafsu. Kasih sayang yang permanen bukan kasih sayang satu jam untuk sehari, dan sehari untuk satu tahun.
Velentine Day yang dirayakan oleh orang-orang Barat dan orang-orang “kebarat-baratan” tersebut bukan kasih sayang itu, yang dimaksud oleh syariat Islam, Velentine Day pada hakikatnya adalah upacara keagamaan non muslim, yang telah bergeser menjadi hari persaudaraan dan kasih sayang yang pada akhirnya menjadi suatu modus untuk merusak akidah umat Islam, dan upaya untuk pembaratan (westernisasi), maka Islam dengan mengatas namakan kasih sayang kepada pemeluknya mengharamkan perayaan Velentine Day. Wallahua’lam
READ MORE - VALENTINE DAY MENURUT PANDANGAN ISLAM
Baca Selanjutnya - VALENTINE DAY MENURUT PANDANGAN ISLAM